Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah II menjadi narasumber dalam kegiatan diskusi dengan tema “Penyelesaian Sengketa Pajak” di Sukoharjo (Sabtu, 26/3). Acara yang digelar oleh Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia Kota Surakarta bekerjasama dengan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta diikuti oleh 10 peserta.  

Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta dalam sambutannya mengatakan terima kasih atas kerja sama antara Kanwil DJP Jawa Tengah II dan UIN Raden Mas Said Surakarta.

Tim Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jawa Tengah II yang terdiri dari Timon Pieter dan Surono menjadi narasumber dalam kegiatan ini menyampaikan materi teknik penyelesaian sengketa pajak secara bergantian.

“Hukum pajak memiliki lingkup jangkauan pengaturan dan kewenangan yang berbeda, yang meliputi  pajak pusat, pajak daerah, pajak bilateral, dan pajak internasional, serta  daerah kabupaten/kota di mana pajak tersebut dipungut,” ungkap Timon mengawali kegiatan tersebut.

Timon selanjutnya menjelaskan definisi sengketa pajak menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. "Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UndangUndang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,” jelasnya.

Surono pada kesempatan selanjutnya menjelaskan sengketa pajak yang terdiri dari beberapa jenis. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat diajukan ke Dirjen pajak dalam bentuk permohonan keberatan (Pasal 25), permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar (Pasal 36 ayat (1) huruf b), Permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar (Pasal 36 ayat (1) huruf c), dan permohonan pembatalan hasil pemeriksaan/ verifikasi (Pasal 36 ayat (1) huruf d). Sedangkan untuk sengketa yang di ajukan ke Pengadilan Pajak adalah permohonan banding, permohonan gugatan. Untuk ke mahkmah Agung hanya permohonan  peninjauan kembali.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sengketa pajak bisa saja disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, adanya kebijakan perpajakan yang dikeluarkan Ditjen Pajak berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang. UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menjadi jaminan wajib pajak untuk mengajukan upaya hukum bila merasa ketidakpuasan terhadap kebijakan pajak yang berlaku. Kedua, adanya perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan Ditjen Pajak mengenai aturan perundang-undangan. Ketiga, perbedaan cara perhitungan jumlah pajak soal jumlah yang harus disetorkan wajib pajak kepada negara. Keempat, keberatan wajib pajak atas penetapan sanksi denda pajak.

“Jadi memang, untuk saat ini penyelesaian sengketa pajak yang dikenal adalah upaya banding atau gugatan kepada pengadilan, yakni Pengadilan Pajak. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi yang telah dilakukan di negara lain, belum dikenal di hukum Indonesia,” pungkas Surono.