Oleh: Yogi Bayu A., pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“The Marketization of Tax Sovereignty”, begitulah judul sebuah bab buku yang ditulis Tsilly Dagan dari Universitas Oxford. Buku antologi interdisipliner ini berjudul “Forms of Pluralism and Democratic Constitutionalism” yang diterbitkan oleh Columbia University Press. Judul bab itu sangat menggelitik. Bagaimana Tax Sovereignty yang selama ini saya pahami sebagai kekuatan otonom yang dimiliki negara dalam mengatur pajak, disandingkan dengan marketisasi. Istilah yang sangat dekat dengan ilmu ekonomi pemasaran.  

Dalam perspektif tradisional, negara dianggap berkuasa dalam membuat hingga menegakkan peraturan perpajakan. Segala kebijakan yang dibuat negara (termasuk tentang perpajakan) dianggap sebagai sebuah “sovereignty”. Kebijakan dibuat mutlak berdasarkan kedaulatan negara.

Artikel yang ditulis Tsilly hendak memotret keadaan terkini. Sebuah negara nyatanya tidak pernah memiliki memiliki kekuatan penuh untuk mengatur kebijakan perpajakan di negaranya. Alasannya adalah karena negara itu juga harus memikirkan kebijakan negara lain di sekitarnya supaya dapat bersaing mencari “potential customer” yang sudi menginvestasikan uangnya.

Globalisasi mengubah peta kedaulatan yang dimiliki suatu negara untuk mengatur sendiri wilayahnya. Setidaknya di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) terdaftar 195 negara. Artinya setidaknya terdapat 195 kedaulatan yang bersaing atau setidaknya beririsan satu sama lain. Negara kemudian berubah menjadi satu dari sekian banyak pemain pasar yang berebut pelanggan potensial. Dalam irisan-irisan kebijakan antardaulat yang saling sengkarut, kebijakan perpajakan menjadi satu instrumen yang penting. Bisa dibilang bahkan yang paling penting untuk bisa bersaing dengan pemain pasar lain.

Negara wajib hadir untuk menentukan aturan perpajakan yang dapat bersaing secara global. Aturan tidak lagi menjadi hal yang bisa dimonopoli untuk kepentingan dalam negeri saja, melainkan juga harus bisa berkompetisi di pasar global. Regulasi perpajakan akan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menjaring lebih banyak bisnis, investasi, hingga pelaku usahanya masuk ke suatu negara tertentu. Sebuah aturan yang tepat, akan membawa lebih banyak bisnis masuk. Lebih banyak bisnis yang masuk, berarti lebih banyak pula uang yang berputar di dalamnya.

Pada dasarnya sebuah negara mau tidak mau harus mengikuti arus untuk dapat bersaing dengan negara lain. Negara harus memosisikan diri sebagai pelaku pasar yang hendak memasarkan produk dalam negerinya. Ketika antarnegara murni bersaing dan tidak ada perjanjian-perjanjian yang disepakati, maka akan terjadi perang tarif perpajakan. Perang ini cenderung berakhir tidak sehat untuk keberlangsungan perekonomian global karena seringkali memicu “perlombaan masuk jurang” (race to the bottom). Perang pajak justru berisiko membuat negara-negara berada dalam posisi lose-lose situation. Semua pihak dirugikan. Tidak ada yang menang.

Oleh karena itu, beberapa negara melalui forum-forum internasional mulai menyusun sebuah kesepakatan agar kebijakan-kebijakan pajak yang disusun dapat memicu persaingan yang sehat. Salah satunya adalah Forum G20.

Pemerintah Indonesia secara simultan menyuarakan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil lewat Forum G20. Presiden RI Joko Widodo pada pidatonya di Forum G20 di Roma pada 2021 silam menyampaikan, pemulihan global yang rapuh mengharuskan kita melakukan serangkaian dukungan kebijakan termasuk reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil.

G20 kemudian melahirkan kesepakatan berupa Pilar I dan Pilar II pajak global. Anggota-anggota G20 berkomitmen menjalankan kedua pilar dimaksud mulai tahun 2024 mendatang. Merangkum berbagai sumber, Pilar I pada kesepakatan ini adalah unified approach yang bertujuan untuk memungut pajak multinasional, tanpa mempertimbangkan kehadiran fisik. Selama perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari yurisdiksi atau negara terkait (significant economic presence) maka mereka harus membayar pajak. Pilar I diharapkan bisa meregulasi hak pemajakan bagi yurisdiksi tempat perusahaan multinasional memperoleh penghasilan dari yurisdiksi tersebut, setidaknya senilai 1 juta euro. 

Sedangkan Pilar II mengatur mengenai Global Anti Base Erosion (Globe) yang memiliki tujuan mengurangi kompetisi tarif pajak. Pilar II juga bermaksud melindungi basis pajak yang dikenakan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global.

Melihat bukti nyata adanya forum-forum internasional yang didesain untuk merumuskan kebijakan perpajakan antarnegara, kita bisa menarik benang merah. Bahwa benar saja, sebuah negara juga memainkan peran pemasaran dalam membuat kebijakannya. Seperti halnya prinsip dasar pemasaran yakni Mix 4P, sebuah negara juga harus memperhatikan soal Product, Price, Place, dan Promotion saat akan memasarkan kebijakan pajaknya. Product-nya berupa barang atau jasa, price-nya adalah harga jual yang bersaing, place-nya adalah negara itu sendiri, serta promotion  berupa kebijakan pajak yang menarik bagi para pelanggan potensial.

Indonesia memang memiliki daulat penuh untuk memungut pajak dari rakyatnya. Namun dalam kebijakannya, negara juga harus bertindak taktis, agar kebijakan pajaknya membawa dampak positif bagi perekonomian. Salah satunya dengan melihat kondisi global, termasuk tarif pajak negara lain. Hal paling penting adalah, setiap kebijakan pajak yang dikeluarkan pemerintah Indonesia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.