Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sampai dengan puncak pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tanggal 31 Maret 2018, kepatuhan penyampaian laporan belum mencapai target yang ditentukan yaitu 64,5% untuk triwulan 1. Beberapa kantor wilayah memang sudah mencapai target namun ada juga kantor wilayah yang belum mencapai target. Kepatuhan penyampaian SPT Tahunan menjadi poin penting karena hal ini digunakan untuk mengukur tax ratio dan untuk jangka panjang bisa untuk mengukur kemandirian bangsa.

Dalam APBN 2018, poin yang penting adalah tercapainya target penerimaan negara dari sektor perpajakan, penerimaan negara dari sektor ini ditargetkan sebesar Rp1.878,4 triliun, dengan penerimaan bersumber dari perpajakan sebesar Rp1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebanyak Rp267,9 triliun.

Dari total penerimaan perpajakan, dari pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp852,9 triliun, pajak pertambahan nilai (PPN) ditargetkan Rp535,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp17,3 triliun dan pajak lainnya Rp9,6 triliun. Sedangkan bea masuk ditargetkan Rp35,7 triliun, bea keluar sebesar Rp3 triliun, serta cukai sebesar Rp155,4 triliun.

Target penerimaan pajak tahun ini sejatinya tumbuh 9,3% dibanding target 2017 sebesar Rp1.472,7 triliun, namun karena realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 91% maka target penerimaan pajak di tahun ini seakan naik 20% lebih dari realisasi 2017. Sedangkan target tax ratio 11%-12%.

Isu penerimaan pajak kembali menghangat saat ini, karena hal ini menyangkut kemandirian bangsa dalam melaksanakan pembangunan. Hutang pemerintah yang digunakan untuk pembangunan turut menjadi sorotan dengan tidak tercapainya target penerimaan pajak di tahun 2017. Keinginan kuat dari pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dalam kerangka mengatasi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ditengah keterbatasan fiskal, menjadi tantangan tersediri bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

Tantangan berikutnya adalah target tax ratio ditahun 2019 yang mencapai 16%, sedangkan realisasi 2016 hanya 10,7% Rendahnya pencapaian rasio pajak jelas memiliki implikasi terhadap perekonomian Indonesia. Implikasi tersebut diantaranya karena pajak belum mampu memainkan peran dalam mengefektifkan program defisit belanja.

Untuk mengejar tax ratio, harus dimulai dengan mengejar kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan SPT Tahunan. Aplikasi yang sudah disediakan oleh Ditjen Pajak belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh wajib pajak. Pelaporan melalui elektronik akan memudahkan Ditjen Pajak dalam pengadministrasian dokumen wajib pajak. Sampai saat ini masih banyak wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunannya secara manual. Wajib pajak yang ada pembayaran ataupun ada pelaporan di tahun sebelum menjadi target dalam kepatuhan pelaporan SPT Tahunan.

Kepatuhan penyampaian SPT Tahunan yang belum 100% menyebabkan pajak belum sebagai instrumen yang efektif untuk mewujudkan redistribusi pendapatan dan dalam mengurangi kesenjangan ekonomi. Pemenuhan kewajiban perpajakan yang hanya dipenuhi oleh sebagian kelompok saja menjadikan rasio pajak tidak bagus. Belum semua rakyat yang mempunyai penghasilan di atas PTKP membayar pajak, sehingga belum semua masyarakat menikmati hasil pembangunan yang pembiayaannya diperoleh dari pajak.

Tax ratio saat ini baiknya di angka ideal yaitu di kisaran 15–16 % sehingga ada ruang fiskal yang cukup untuk dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur, peningkatan kesehatan, dan pendidikan. Belum jelas benar penyebab rendahnya rasio pajak, sehingga beberapa potensi riil penerimaan pajak belum dapat digali. Hal ini bisa menyebabkan beberapa wajib pajak mangkir dari kewajiban membayar maupun melaporkan pajaknya. Selain itu banyak kegiatan ekonomi yang bersifat informal dan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat (underground economy) belum sepenuhnya tergali, sehingga perhitungan potensi penerimaan pajak berdasarkan perkiraan ekonomi makro saja.

Dengan demikian permasalahan utama perpajakan saat ini adalah tingkat kepatuhan dari wajib pajak di Indonesia yang masih perlu untuk terus diperbaiki. Kita tidak berhenti sampai bulan Maret atau April saja, namun sepanjang tahun tingkat kepatuhan harus terus ditingkatkan. Tahun 2016, ada sekitar 32 juta wajib pajak yang terdaftar. Wajib pajak yang wajib menyerahkan SPT ada 20 juta, tetapi realisasinya hanya 12 juta atau sekitar 65%. Tahun 2017 sudah meningkat menjadi 70%, sedangkan di negara lain bisa mencapai 75%-80%.

Pemerintah sudah menyiapkan sistem yang memudahkan wajib pajak dalam pelaporan SPT, tinggal sosialisasi dan himbauan ke seluruh wajib pajak yang harus ditingkatkan. Peningkatan kesadaran harus diimbangi dengan peningkatan pengetahuan wajib pajak, baik pengetahuan akan perpajakan maupun fasilitas perpajakan. Saat ini kemudahan baru terbatas pada penyampaian dan pemrosesan laporan, namun substansi masih sulit. SPT masih dianggap sebagai dokumen yang sulit diisi dengan benar dan lengkap oleh wajib pajak. Meski tutorial pengisian sudah ada di internet namun masih banyak wajib pajak yang enggan mempelajarinya, sehingga ketergantungan untuk selalu dibimbing oleh petugas pajak masih muncul.

Untuk mendorong peningkatan kepatuhan, selain dengan iklan, juga lebih baik dengan melibatkan akademisi. Program pajak bertutur, tax goes to campus, dan relawan pajak hendaknya diteruskan setiap tahunnya. Selain memperluas pengetahuan pajak sejak dini, program ini juga bertujuan sebagai iklan peningkatan kepatuhan wajib pajak.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.