Strategi Penerapan Asas Keadilan pada PPN

Oleh: Ryan Mohammad, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-77/PMK.01/2020 menjelaskan bahwa salah satu rencana strategis kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2021-2024 adalah perluasan basis pajak pengenaan pajak konsumsi dengan menata ulang perlakukan pajak atas barang dan jasa yang diberikan fasilitas dan pengaturan ulang batasan pengusaha kena pajak. Hal ini memberikan indikasi bahwa pemerintah dalam lima tahun mendatang akan menerapkan kebijakan baru terkait PPN.
Sekilas tentang PPN
PPN secara sederhana adalah pajak pertambahan nilai yang tujuan akhirnya dikenakan pada konsumen. Undang-undang mengatur bahwa mekanisme PPN adalah melalui pungutan yang dilakukan oleh wajib pajak yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Mekanisme tersebut dimaksudkan agar konsumen yang menjadi pihak yang menanggung PPN tidak perlu menanggung biaya tambahan untuk melakukan penyetoran dan pelaporan PPN. Namun, dari sudut pandang PKP, mereka harus menanggung biaya kepatuhan untuk menyelesaikan proses administrasi kewajiban PPN, seperti: membuat faktur pajak keluaran, menyetorkan PPN, dan melaporkan faktur setiap bulannya melalui SPT Masa.
Tax Policy Assessment Framework International Monetary Fund (TPAF-IMF) menegaskan bahwa untuk memenuhi kewajiban PPN, PKP minimal harus memiliki sumber daya administrasi dan menanggung biaya kepatuhan yang tetap (Fixed cost). Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak yang tergolong wajib atau memilih secara sukarela mendaftarkan diri sebagai PKP harus bersedia menanggung biaya kepatuhan tersebut.
Batasan Pengusaha Kena Pajak
Di Indonesia, batasan peredaran bruto yang mewajibkan wajib pajak untuk dikukuhkan sebagai PKP hingga tahun 2013 adalah Rp600.000.000 dalam satu tahun. Batasan peredaran usaha tersebut diubah menjadi Rp4.800.000.000 dalam satu tahun dengan pertimbangan menyelaraskan ketentuan pengenaan pajak PPh Final atas wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu dibawah Rp4.800.000.000 dalam satu tahun yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Dari segi kolektivitas di tahun 2011 sampai dengan 2019, penerimaan PPN dari penyerahan dalam negeri tumbuh setiap tahunnya (kecuali tahun 2016). Semenjak diberlakukannya peraturan menteri keuangan nomor: PMK-197/PMK.03/2013 yang menetapkan batasan omzet terbaru (Rp4.800.000.000 per tahun), efektif per 1 Januari 2014, pertumbuhan penerimaan PPN relatif fluktuatif (naik-turun) yang cukup tinggi, tetapi tingkat pertumbuhannya tidak pernah melebihi tingkat pertumbuhan sebelum PMK tersebut berlaku (tahun 2012 dan 2013). Capaian tersebut tidak selaras dengan bertambahnya jumlah pegawai DJP yang berperan strategis dalam pengumpulan penerimaan PPN dengan fungsi pengawasan (Account Representative), fungsi pemeriksaan (Fungsional Pemeriksa), fungsi penilai (Fungsional Penilai), dan Juru Sita setiap tahunnya. Selain itu, dengan bantuan teknologi informasi yang disediakan DJP untuk bantuan pelaporan SPT (seperti: e-faktur, e-filing, e-billing dan e-SPT), seharusnya biaya kepatuhan wajib pajak dapat berkurang sehingga efektivitas penerimaan PPN dapat tumbuh lebih baik, walau pada kenyataannya tidak demikian.
Tahun
PPN dari Penyerahan dalam Negeri (dalam jutaan rupiah)
Pertumbuhan Penerimaan PPN (%)
Jumlah Pegawai DJP dengan Fungsi Pengawasan, Pemeriksaan, dan Juru Sita
Pertumbuhan Jumlah Pegawai
2011
157.169
(Tidak ada data tahun 2010)
11.567
(Tidak ada data tahun 2010)
2012
191.935
18%
11.569
0,02%
2013
226.764
15%
11.875
2,64%
2014
240.786
6%
12.834
8,08%
2015
280.002
14%
13.854
7,95%
2016
272.997
-3%
14.787
6,73%
2017
314.341
13%
15.899
7,52%
2018
333.920
6%
17.329
8,99%
2019
344.429
3%
18.561
7,11%
Sumber: Laporan Tahunan DJP 2011-2019, diolah oleh penulis
Strategi Batasan Pengusaha Kena Pajak
TPAF IMF menjelaskan bahwa salah satu pertimbangan dibuatnya batasan PKP adalah untuk mengecualikan wajib pajak kecil untuk tidak menanggung biaya kepatuhan PPN karena apabila tidak ada batasan, DJP akan menanggung biaya administrasi perpajakan yang cukup signifikan hanya untuk mengawasi pungutan PPN oleh wajib pajak yang peredaran brutonya secara nominal rendah tetapi jumlahnya banyak.
Dalam kondisi ideal, apabila diasumsikan biaya kepatuhan untuk melakukan pemungutan PPN adalah tidak ada atau mendekati nol, maka batasan pengusaha kena pajak tidak perlu ada sehingga seluruh wajib pajak harus memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP yang dia lakukan kepada konsumen akhir untuk memenuhi asas keadilan. Namun secara praktik, hal itu masih sulit dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya DJP selaku institusi pengawas dan kompleksitas administrasi yang harus dilakukan wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya sebagai PKP.
Oleh karena itu, mempertajam kebijakan batasan PKP adalah opsi yang dapat diimplementasikan dalam jangka menengah. Pembaharuan kebijakan tersebut tidak hanya untuk mendorong penerimaan PPN semata, tetapi juga untuk memenuhi unsur keadilan dan perlakuan yang sama terhadap wajib pajak karena batasan PKP tersebut biasa disalahgunakan wajib pajak untuk menghindari kewajiban memungut PPN dengan cara membagi peredaran brutonya menjadi beberapa subjek pajak.
Penulis berpendapat bahwa batasan peredaran bruto Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah(UMKM) dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan batasan PKP terbaru. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Usaha Mikro adalah usaha yang peredaran brutonya Rp300.000.000 dalam satu tahun, Usaha Kecil adalah usaha yang peredaran brutonya dari Rp300.000.000 hingga Rp2.500.000.000 dalam satu tahun, dan Usaha Menengah adalah usaha yang peredaran brutonya dari Rp2.500.000.000 hingga Rp50.000.000.000 dalam satu tahun.
Batasan PKP yang terbaru dapat menyasar pelaku usaha yang tergolong Usaha Kecil dan Menengah dengan pertimbangan jumlah pelaku usaha dalam dua kelompok tersebut relatif tidak banyak dibanding pelaku usaha mikro sehingga dapat menekan biaya pengawasan kepatuhannya. Selain itu, apabila batasan PKP yang baru diterapkan pada pelaku usaha kategori Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar, maka kewajiban pemungutan PPN sudah cukup dominan karena kontribusi ketiga usaha tersebut terhadap PDB Indonesia di tahun 2017 adalah 62.54% dan 62.23% di tahun 2018. Walau belum ideal 100%, tetapi jumlah tersebut sudah melebihi separuh dan dapat menjadi langkah awal yang menantang untuk pemberlakuan keadilan atas kewajiban pungutan PPN dengan pertimbangan keterbatasan sumber daya DJP.
Tahun 2017
(Rp Milyar)
Kontribusi terhadap PDB
(%)
Tahun 2018
(Rp Milyar)
Kontribusi terhadap PDB
(%)
PDB (harga berlaku)
12.840.859
14.038.598
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
7.820.282
60.90
8.573.895
61.07
- Usaha Mikro
4.827.398
37.59
5.303.075
37.77
- Usaha Kecil
1.234.334
9.61
1.347.104
9.60
- Usaha Menengah
1.758.549
13.69
1.923.714
13.70
Usaha Besar
5.020.576
39.10
5.464.703
38.93
Sumber: Data UMKM dan Usaha Besar Tahun 2017 – 2018 Kemenkop
Satu hal yang masih menjadi tugas besar bagi Kementerian Keuangan ketika menurunkan batas pengukuhan PKP adalah mengelola biaya kepatuhan yang timbul, baik dari sisi DJP dan wajib pajak. Perlu ada inovasi yang revolusioner dari segi teknologi, peraturan, dan prosedur sehingga biaya kepatuhan dapat ditekan seminimal mungkin demi mendorong kepatuhan yang berkesinambungan, adil, dan efisien bagi PKP.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 468 kali dilihat