Oleh: Indrajaya Burnama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Gegap gempita UEFA Nations League tahun ini seolah terasa hambar dengan gagalnya Timnas Portugal ke babak berikutnya. Kali ini, sosok mega bintang Cristiano Ronaldo atau CR7 musti menutup rapat pintu almari koleksi gelarnya pasca terhempasnya A Selecao das Quinas oleh Timnas Perancis.

Namun demikian tidak ada yang meragukan kehebatan CR7. Segudang prestasi sudah diraihnya. Pemain yang dibeli Juventus dengan banderol Rp1,68 triliun dari Real Madrid itu sukses meraih berbagai prestasi baik di level individu, klub maupun negara. Bahkan CR7 menutup lembaran tahun 2020 dengan merengkuh penghargaan sebagai Pemain Sepakbola Terbaik Abad 21.  

Hingga kehebatannya mengolah si kulit bundar mampu menarik banyak penggemar. Tidak hanya ratusan ribu atau jutaan melainkan ratusan juta penggemar. Oleh karena itu wajar jika banyak sponsor yang menjadikannya sebagai model atas produk-produknya dengan nilai kontrak sangat besar. Padahal CR7 sebenarnya sudah memperoleh gaji yang sangat tinggi dari klub yang dibelanya.

 

Terbukti Mengelak Pajak

Akan tetapi, mengutip hasil investigasi Elmundo dan Der Spiegel yang diberitakan marca.com, CR7 diduga melakukan pengelakan pajak sejak tahun 2011 – 2014 dengan mengalihkan seluruh penghasilan selain gaji dari Real Madrid 150 juta euro ke tiga perusahaan yang dibuatnya di Karibia. Uang-uang itu melewati Irlandia, dikelola di British Virgin Island dan berakhir di Swiss.

Sebagai informasi, negara-negara tersebut termasuk dalam daftar tax haven countries. Dengan adanya aliran penghasilan itu semakin menguatkan dugaan adanya praktik transfer pricing yang dilakukan secara terencana oleh pihak CR7. Awalnya, CR7 sempat berdalih bahwa penghasilan yang ditampung di negara- negara itu berasal dari bisnis real estate miliknya.

Menurut The Guardian dan Euronews, hakim di persidangan yang digelar pada Selasa, 22 Januari 2019 lalu menyatakan bahwa CR7 secara sengaja tidak melaporkan penghasilan dari image right atau hak pencitraan. Pengelakan pajaknya  sebesar 28 juta euro atau 25 juta poundsterling dari total penghasilan image right  43 juta euro. CR7 pun mengakui adanya pengelakan pajak di persidangan.

Akhirnya CR7 dijatuhi hukuman denda 18,8 juta euro dan dua puluh tiga bulan penjara. Untungnya, hakim di Spanyol berwenang untuk menangguhkan hukuman penjara atas pelanggaran hukum yang pertama sepanjang masa hukumannya di bawah dua puluh empat bulan. Dengan catatan, terpidana bersedia membayar hukuman dendanya. Atas hal itu, CR7 berkomitmen membayar dendanya.

 

Tiga Sportivitas Pajak

Ada beberapa pelajaran menarik dari kasus pajak CR7. Menurut Darussalam (2008), upaya CR7 mengalihkan penghasilannya secara terencana melalui perusahaan cangkang di beberapa negara tax haven termasuk dalam aggresive tax planning atau unacceptable tax avoidence. Hal itu dikarenakan CR7 melakukan transaksi semu yang tidak ada tujuan bisnisnya dan atau membuat entitas usaha di beberapa negara tax haven yang dianggap tidak sesuai dengan hukum pajak Spanyol.

Namun demikian, ada tiga sportivitas pajak yang dipertontonkan CR7 ke publik. Pertama, CR7 berani mengakui pelanggaran hukum pajak yang dilakukannya di Spanyol. Di depan hakim, CR7 mengakui seluruh pengelakan pajaknya. Kedua, dia berani mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya dengan komitmen membayar denda. CR7 menunjukkan bahwa dia tidak hanya sportif di lapangan hijau melainkan juga di luar lapangan.

Ketiga, CR7 mengungkapkan ketidaksetujuannya atas hukum pajak di Spanyol dengan mengakhiri karirnya di Real Madrid dan memulai lembaran baru di Juventus, Italia. Menurut Merk (2007), CR7 beserta tim keuangannya melakukan substantive tax planning dengan memindahkan subjek dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara yang memberikan perlakuan pajak khusus.

Saat ini harus diakui bahwa Italia mengenakan pajak yang lebih rendah terhadap orang pribadi dibandingkan dengan di Spanyol. Atas hal seperti itu sah-sah saja untuk dilakukan tiap negara. Tiga sportivitas pajak di atas dapat menjadi pembelajaran bagi para wajib pajak yang terbukti melakukan aggresive tax planning atau unacceptable tax avoidence.

Mereka harus tunduk patuh pada hukum pajak yang berlaku di negara sumber tempatnya berusaha sehingga menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam hal terbukti melakukan pelanggaran pajak musti melaksanakan sanksi administrasi maupun pidana perpajakan yang dikenakan. Meskipun kepatuhan pajak itu dilandasi oleh keterpaksaan atau tebersit ketidaksetujuan dengan hukum pajak di negara sumber.

Lantas bagaimana jika ketidaksetujuan terhadap hukum pajak di negara sumber itu ingin ditumpahkan oleh wajib pajak melalui tindakan? Ada satu opsi yang telah dicontohkan oleh CR7. Tepatnya yaitu dengan melakukan substantive tax planning dengan cara transfer of tax subject and of tax object. Dia sebagai subjek pajak dan penghasilannya sebagai objek pajak “berpindah” dari Spanyol ke Italia. Itu adalah hak yuridis perpajakan wajib pajak yang harus dihargai.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.