Oleh: Josua Tommy Parningotan Manurung, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Besarnya tunggakan pajak di Indonesia pada 2016 masih tinggi. Mengacu pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), potensi penerimaan dari para penunggak pajak tercatat cukup besar. Sepanjang enam bulam pertama 2016, PPATK menemukan 2.960 wajib pajak yang diduga menunggak pajak. Nilai tunggakan diperkirakan mencapai Rp25,9 triliun .

Berbagai hal telah dilakukan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak seperti peningkatan sumber daya manusia, penyediaan data yang baik dan transparan, kerjasama, dan sebagainya. Semua hal tersebut hanya berfokus pada penguatan lembaga DJP saja. Padahal untuk dapat dibayarkannya tunggakan pajak, selain faktor dari petugas pajak ada juga faktor dari wajib pajak, sebaiknya juga memperlakukan wajib pajak sebagai mausia biasa.

Pola reward and punishment dalam kehidupan sehari- hari sebenarnya sering kita praktikkan, Misalnya dulu orang tua ketika anaknya mematuhi aturan dan melaksanakan pekerjaan rumah, maka sang anak diberi hadiah, begitu pun sebaliknya jika sang anak tidak menjalankan kewajiban/tugas yang diberikan orang tuanya maka anak tersebut diberi hukuman.

Lantas, apakah pemberian hukuman untuk membuat anak tersebut menderita? Bukan. Anak tersebut diberi hukuman agar anak tersebut tidak melanggar aturan, agar anak tersebut disiplin. Begitu juga sebaliknya, apabila anak diberi hadiah karena patuh, apa hadiah tersebut merupakan suatu pemborosan? Tidak bukan? Malah hadiah tersebut membuat sang anak lebih antusias mematuhi peraturan yang diberikan orang tuannya.

Nah dari analogi ini saya kembangkan dalam prinsip berkomunikasi dengan penunggak pajak.

Sebagai manusia biasa, bayangkan jika Anda sedang berjalan di pusat perbelanjaan dan Anda melihat diskon 70% pada barang yang tertera di toko-toko tersebut? Bagaimana perasaan Anda? Senang bukan? Walaupun sebenarnya Anda tidak perlu barang tersebut, paling tidak mampir sejenak di toko tersebut. Perasaan bahagia ini bisa dicoba untuk wajib pajak dan dengan demikian penerimaan dari pajak akan semakin besar

Jadi kalau seperti itu sebenarnya selama ini wajib pajak tidak bahagia jika dipungut pajak?

Dalam hal ini tidak ada reward bagi penunggak pajak. Hal inilah yang menyebabkan penunggak pajak enggan cepat-cepat membayar pajak.

Jadi hal-hal apa saja yang menyebabkan penunggak pajak enggan membayar cepat? Alasannya berikut ini:

  1. Tidak ada reward
  2. Punishment  tidak diberikan secara tegas
  3. Sanksi administrasi yang besar

Kembali sebagai manusia biasa, wajib pajak pasti mengeluh dengan sanksi administrasi yang besar ini. Padahal sudah dijelaskan di penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) bahwa maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban.

Masyarakat sebenarnya mau melunasi pajak yang ia tunggak, tetapi banyak kasus ketika masyarakat masih mengeluhkan sanksi administrasi yang cukup besar sehingga secara psikis mereka enggan melunasi tagihan pajak tersebut

Sanksi admininstrasi bukan sebagai sumber utama penerimaan pajak. Sanksi administrasi yang besar malah akan menyebabkan demotivasi (berkurangnya minat) dalam melunasi tagihan pajak tersebut dan ini bertentangan dengan tujuan dikenakan sanksinya

Jadi bagaimana solusinya?

Pemberian reward adalah opsi yang menurut saya baik.  Reward tersebut adalah pengurangan sanksi. Semakin cepat wajib pajak membayar tunggakan pajaknya maka semakin besar reward yang diberikan. Tentu ia harus membayar pokok dan sebagian sanksi pajaknya. Bagaimana Praktiknya?

Coba bagi menjadi 4 Periode

Periode 1

Jika wajib pajak membayar tunggakan pajaknya sebelum jatuh tempo maka sanksi administrasi dikurangi sebesar 60 persen.

Periode 2

Jika wajib pajak membayar tunggakan pajaknya maksimal 2 bulan setelah jatuh tempo maka sanksi administrasi dikurangi sebesar 50 persen plus penghapusan bunga tagihan.

Periode 3

Jika wajib pajak membayar tunggakan pajaknya maksimal 12 bulan setelah jatuh tempo maka akan ada penghapusan bunga tagihan.

Contoh: Jumlah Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp100.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 10 Maret 2015, dengan batas akhir pelunasan tanggal 9 April 2015. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 April 2015 Rp70.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2015 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan:

  • Pajak yang masih harus dibayar                                       Rp100.000.000
  • Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan                Rp( 70.000.000)
  • Kurang dibayar                                                                 Rp30.000.000
  • Bunga 1 ( satu ) bulan ( 8 x 2% x Rp30.000.000)           Rp4.800.000

Karena dari April – Desember masih 8 bulan (masih antara 2 bulan dan 12 bulan setelah jatuh tempo jadi bunganya dihapus)

Periode 4

Jika wajib pajak membayar tunggakan pajaknya lebih dari 12 bulan setelah jatuh tempo maka tidak ada reward dan akan dikenai punishment berupa penerbitan bunga tagihan.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.