Sehari Mengenal Selamanya Bangga

Oleh: Endra Wijaya Pinatih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Sama negara saja kau tak adil apalagi sama anakku. Kau punya penghasilan tapi tak punya NPWP. Apa kata dunia?” ujar seorang bapak kepada pria yang akan melamar anaknya. Tepat 14 tahun yang lalu, saat iklan itu selalu “mengganggu” tatkala sedang asyik menunggu deretan tayangan favorit di televisi. Jujur saat itulah kali pertama saya mendengar istilah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan baru mengetahui korelasi antara NPWP dan pajak satu windu berikutnya.
Tinggal di sebuah ibu kota provinsi merupakan sebuah keuntungan karena penyebaran informasi akan jauh lebih cepat diperoleh dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Sebaliknya, informasi dan edukasi tentang pajak di zaman itu tidak terlampau masif. Selain karena saluran, juga gawai yang dimiliki masyarakat sangatlah terbatas dalam proses transfer warta.
Walau faktanya pajak merupakan tulang punggung negara untuk pembiayaan pembangunan dan dalam aktivitas sehari-hari pun kita selalu “menikmati” hasil dari pajak, tetapi ingatan tentang pajak selalu memiliki konotasi negatif. Saya menduga bahwa salah satu penyebab munculnya konotasi tersebut adalah sifat pajak yang dampaknya tidak langsung diterima masyarakat.
Edukasi dan Literasi
Rasio pajak memberikan gambaran tentang kemampuan negara dalam melakukan fungsinya sebagai pemungut pajak. Jika melihat secara sekilas, sejak tahun 2013 rasio pajak secara akumulasi mengalami penurunan.
Secara rinci, rasio pajak pada tahun 2013 mengalami penurunan tipis 0,1% dari yang semula 11,4% pada tahun 2012. Kemudian pada tahun 2014 rasio pajak kembali mengalami penurunan sebesar 0,4%. Lalu dalam rentang tahun 2015 sampai dengan 2017 berturut-turut mengalami penurunan sebesar 0,2%, 0,3%, dan 0,5%. Lantas pada tahun 2018, rasio pajak sempat naik 0,3% yaitu mencapai angka 10,2%, tetapi kembali turun di tahun berikutnya sebesar 0,4% dan puncaknya pada tahun 2020 turun semakin tajam sebesar 1,5% atau pada angka 8,3%.
Masalah lazim yang dialami bangsa Indonesia salah satunya adalah rendahnya tingkat literasi. Kondisi itu selaras dengan survei yang dilakukan Program For International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization For Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019. Hasil survei tersebut mengatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara berdasarkan tingkat literasi.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap penerimaan pajak senantiasa memberikan informasi kepada masyarakat melalui media mainstream ataupun media sosial. Selain itu, edukasi pajak dilakukan secara berkesinambungan, termasuk pengadaan kegiatan edukasi untuk calon wajib pajak masa depan. Edukasi perpajakan idealnya berjalan beriringan dengan tingkat literasi masyarakat agar proses penyampaian informasi menjadi lebih efektif dan efisien.
Pajak Bertutur
Indonesia diproyeksikan akan mengalami bonus demografi pada tahun 2045. Hal tersebut dikarenakan jumlah usia produktif mencapai 70 persen. Tambahan tersebut dapat menjadi berkah seumpama jumlah penduduk yang besar itu dapat terserap pada pasar kerja secara baik. Namun, jika hal tersebut tidak terjadi konsekuensinya adalah adanya pengangguran.
Budaya sadar pajak mesti ditanamkan sejak dini dan pendidikan dapat menjadi instrumen penting dalam pelaksanaannya. Perlu dilakukan ikhtiar secara terstruktur, terarah, dan terpadu. Tidak hanya dari pemerintah, melainkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari keluarga, tenaga pengajar, organisasi sosial, masyarakat, dan dunia usaha untuk meningkatkan kesadaran dunia pendidikan terhadap program edukasi kesadaran pajak yang dijalankan oleh DJP.
Pajak Bertutur menjadi salah satu solusi yang ditawarkan DJP. Kegiatan ini berhubungan dengan kegiatan literasi kesadaran pajak kepada dunia pendidikan yang dilaksanakan selama sepekan dari jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan perguruan tinggi.
Kegiatan ini juga dipadukan dengan program literasi nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gerakan Literasi Nasional merupakan upaya untuk memperkuat sinergi antar unit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia.
Selain itu juga telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor MoU-21/MK.03/2014 dan Nomor 13/X/NK/2014 tentang Peningkatan Kesadaran Perpajakan Melalui Pendidikan. Pajak Bertutur 2021 merupakan acara puncak dari rangkaian kegiatan yang diselenggarakan DJP dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76. “Generasi Muda Sadar Pajak, Wujud Bela Negara” menjadi tema pajak bertutur kali ini.
Butuh Waktu
Dewasa ini generasi muda harus memahami bahwasanya bela negara tidak selalu identik dengan militeristik. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar negara, juga merupakan kehormatan bagi warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada bangsa dan negara.
Kepatuhan pajak tinggi tidak didapat dilakukan jika kesadaran pajak masih rendah. Jika kepatuhan pajak diibaratkan buah pada sebuah pohon, maka kesadaran pajak sama dengan akarnya. Akar berada dalam tanah dan biasanya tak terlihat. Namun akar memiliki peran yang vital dan memiliki fungsi untuk menopang bagian pohon yang lain agar tumbuh dan berkembang baik.
Selaras dengan pohon, edukasi kesadaran pajak sejak dini sangatlah krusial. Prosesnya sangat panjang dan menuntut pengorbanan. Dampaknya bukan sekarang, namun pasti di masa yang akan datang. Untuk saat ini, generasi muda setidaknya dikenalkan dengan pajak karena sehari mengenal selamanya pasti akan bangga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 94 kali dilihat