Oleh: Erina Yuniar Utami, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Indonesia telah memasuki tahun politik yaitu Pesta Demokrasi tahun 2024 untuk memilih Calon Legislatif, Kepala Daerah, dan Presiden yang serentak akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 mendatang. Berbagai bentuk usaha dukungan mulai gencar disuarakan. Partai peserta pemilu telah mengusung calon legislatif maupun calon presiden yang telah membanjiri postingan media massa baik cetak maupun elektonik. Masyarakat pengguna media sosial aktif seperti Telegram, X, Facebook, Instagram juga telah banyak berseliweran menyuarakan dukungan pada paslon pilihan masing-masing dan membahas debat pemilu yang telah dilaksanakan pason capres dan cawapres pada beberapa waktu lalu.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali. Pada dasarnya, Pemilu cukup erat kaitannya dengan pajak. Saat ini alokasi anggaran Pemilu untuk tahun anggaran 2024 sudah disiapkan sebesar Rp38,2 triliun. Dana tersebut telah dianggarkan dalam APBN 2024 untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 satu putaran.

Di samping itu, Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diselenggarakan serentak pada 14 Februari tahun 2024, diprediksi tidak akan mengganggu perekonomian di Indonesia. Justru sebaliknya, hal ini akan semakin mendorong kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini karena dorongan untuk kegiatan perekonomian ini bersumber dari belanja kampanye serta pelaksanaan pemilu yang dapat mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi ini berasal dari berbagai sektor yaitu sektor ritel, sektor garmen, sektor media, sektor logistik, dan sektor transportasi.

Baca juga: Modal Calon Presiden Halau Tantangan Pajak
Baca juga: Melengkapi Puzzle Janji Kampanye dengan Membahas Pajak
Baca juga: Tak Ada Fasilitas Pajak untuk Sumbangan Politik

Jenis pajak yang terkait dengan aktivitas Pemilu di antaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21 yang dipotong atas honorarium anggota kepanitiaan, sehubungan dengan Pemilu atau Pilkada yang statusnya bukanlah sebagai pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/Polri, dan pensiunannya sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.03/2007 tentang Penegasan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pimpinan dan Anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Anggota Kepanitiaan Sehubungan Dengan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah. Yang kemudian penghitungan pajaknya sesuai dengan tarif pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Selain PPh Pasal 21, terdapat pajak lainnya terkait aktivitas Pemilu yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh Pasal 23 atas jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pemungutan PPN dan pemotongan PPh Pasal 23 ini terjadi selama belanja pada masa kampanye hingga aktivitas pemilu. Misalnya saat melakukan belanja seperti pengiklanan politik baik melalui media cetak maupun digital, atribut politik, alat peraga untuk pemilu, kaus, jasa percetakan surat suara yang dilakukan masing-masing partai politik.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa pajak dan pemilu memiliki kaitan yang cukup erat. Pajak merupakan sumber utama penyelenggaraan pemilu. Sebagian besar dana pemilu berasal dari pajak. Terdapat 3 jenis pajak yang dikenakan saat terjadinya aktivitas pemilu, yakni:

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang dipungut dari  honorarium anggota kepanitiaan, sehubungan dengan Pemilu atau Pilkada yang statusnya bukanlah sebagai pejabat negara, PNS, anggota TNI/Polri, dan pensiunannya sesuai SE Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.03/2007.

PPh Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa bunga, royalti, sewa, jasa dan hadiah selain yang telah dipotong oleh PPh 21. Dalam hal kampanye ini misalknya pengenaan pajak PPh Padal 23 pada penggunaan jasa pengiklanan dukungan kampanye.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Dalam hal kampanyne ini maka pajak yang dipungut adalah belanja atas pembelian barang seperti atribut partai politik, kaos, alat peraga pemilu, dll.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Sehubungan dengan kewajiban netralitas ASN dalam Pemilu, artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendukung/mendiskreditkan kandidat siapa pun.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.