Oleh: Yudhan Wahyu Illahi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Saat ini, terdapat tren baru di dalam mekanisme gim video daring yang memungkinkan para pemain untuk dapat melakukan transaksi di dalam permainan (in-game purchase). Transaksi tersebut dapat berupa pembelian item skin, kostum, peningkatan, fitur premium, dan barang virtual lainnya di dalam game tersebut. Di dunia gim video , transaksi tersebut dikenal dengan istilah microtransaction (mikrotransaksi).

Awalnya mikrotransaksi merupakan model bisnis dalam bentuk pemain yang dapat membeli barang virtual melalui pembayaran mikro, atau dengan kata lain menggunakan uang yang sedikit. Namun makin ke sini, mikrotransaksi semakin “menggila” di kalangan para gamer (pemain). Mikrotransaksi berkembang sangat pesat dan berhasil menghasilkan keuntungan yang fantastis bagi game developer.

Baru-baru ini, Riot Games sebagai pengembang gim yang menaungi gim Valorant mengumumkan statistik yang mengejutkan. Salah satu skin mereka mampu menghasilkan penjualan sebesar 20 juta dolar Amerika Serikat hanya dalam satu bulan (fragster.com, 2023).

Melihat fenomena tersebut, mikrotransaksi di dalam gim video saat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai transaksi yang “mikro” lagi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mikrotransaksi bisa menjadi sebesar ini?

Apakah perilaku konsumtif para pemain yang semakin “gila” ini ada kaitannya dengan perkembangan mikrotransaksi? Lantas apa peran pemerintah dalam menanggapi fenomena atau model bisnis ini di masing-masing negara? 

 

Psikologi Pemain

Teori “supply and demand” mungkin bisa menggambarkan bagaimana fenomena mikrotransaksi saat ini bisa berkembang begitu besar. Selama masih banyak permintaan dari para pemain, para pengembang gim tentu akan terus mengembangkan mikrotransaksi mereka untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Mengapa para pemain sebegitu inginnya untuk terus melakukan mikrotransaksi? Hal ini dapat dilihat dari psikologi pemain saat melakukan mikrotransaksi. Sebagai contoh pada mekanisme mikrotransaksi kosmetik. Pembelian barang virtual hanya digunakan untuk memperindah tampilan karakter dalam permainan. 

Larisnya mikrotransaksi kosmetik di kalangan para pemain gim terjadi karena di dalam gim video daring tersebut tercipta sebuah interaksi di antara para pemainnya. Pembelian skin ataupun item dilakukan para pemain untuk menunjukkan ‘representasi diri’ mereka secara virtual di hadapan pemain lain.

Representasi diri yang ingin ditunjukkan memicu para pemain untuk melakukan mikrotransaksi guna mendapatkan otoritas terhadap pemain lainnya, menguatkan identitas, serta membedakan dirinya dengan pemain lainnya (social distinction). Dengan melakukan mikrotransaksi, akan memberikan kesan atau perasaan eksklusif bagi para pemain yang melakukan mikrotransaksi.

Begitu masifnya pengaruh psikologi model bisnis microtransaction terhadap para pemain gim pada akhirnya akan memberikan efek candu dan adiktif. Tidak sedikit berita yang menginformasikan bahwa beberapa pemain gim rela merogoh kocek lebih dalam serta melakukan perilaku diluar batas lainnya hanya untuk memenuhi hasrat untuk dapat membeli item atau skin dalam sebuah gim video favorit mereka.

 

Keadilan Dunia Usaha

Berkembangnya model bisnis mikrotransaksi dalam perkembangan teknologi di era ini tentu tidak terlepas dari kontroversi. Salah satu yang menjadi isu adalah masalah keadilan perlakuan ekonomi antara pelaku usaha digital dengan pelaku usaha konvensional.

Maka dari itu, pemerintah hadir untuk mengatasi isu tersebut. Demi terciptanya kesetaraan kegiatan usaha, pemerintah menerapkan pajak bagi pelaku usaha digital. Hal ini juga selaras dengan asas pemungutan pajak yang berkeadilan, yakni pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan yang sama pula.

Kegiatan usaha dalam nama dan bentuk apa pun, selama memperoleh manfaat ekonomi dari Indonesia, maka wajib dan seharusnya dikenakan pajak. Hal ini memungkinkan Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk dapat memajaki sekalipun pelaku usaha digital berasal dari luar negeri.

Upaya pemerintah dalam mengenakan pajak terhadap transaksi digital juga selaras dengan perkembangan ekonomi digital ke depannya. Ekonomi digital diperkirakan akan menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial bagi negara. Untuk itu, sudah seyogianya pelaku usaha digital juga ikut berkontribusi bagi pembangunan Indonesia melalui pajak.

 

PPN PMSE

Pajak tanpa undang-undang adalah perampokan. Tentu, Pemerintah Indonesia tidak dapat secara lugu mengenakan pajak bagi pelaku usaha digital tanpa ada hukum yang mendasarinya.

Untuk memberikan kepastian hukum, pemerintah menerbitkan aturan pemungutan pajak PPN PMSE atau Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dituang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.

Dengan menganut prinsip “destination principle”, objek pajak berupa barang kena pajak tidak berwujud seperti produk digital akan dikenakan PPN. Produk digital di sini jika dilihat dari sudut pandang model bisnis mikrotransaksi dapat berupa item skin, kostum, peningkatan, fitur premium, dan barang virtual lainnya yang dapat diakses oleh pemain menggunakan “uang sungguhan”.

Pengenaan PPN PMSE ini sendiri juga menjunjung prinsip yang namanya “equal treatment”, sehingga atas barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dikonsumsi di dalam negeri akan dikenakan PPN termasuk yang diperoleh dari transaksi digital. 

Dalam pelaksanaannya, pemungutan PPN PMSE dilakukan oleh pemungut PPN PMSE yang secara khusus ditunjuk oleh pemerintah. Pemungut PPN PMSE dalam hal ini meliputi Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE Luar Negeri dan/atau Penyelenggaraan PMSE Dalam Negeri. Jika dilihat dari model bisnis mikrotransaksi maka Pemungut PPN PMSE merujuk pada para pengembang gim ataupun penerbit gim.

Per 30 April 2023, Pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk pemerintah mencapai 148 pelaku usaha. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya akan berpotensi terus bertambah mengikuti perkembangan industri gim yang banyak digandrungi oleh para pemain gim.

Bisa dikatakan juga bahwa model bisnis mikrotransaksi ini merupakan fenomena yang akan lazim di masa depan dan tidak bisa terhindarkan. Pemanfaatan teknologi dan ekonomi digital akan terus berkembang di masa depan. Tentu, akan semakin banyak transaksi atau model bisnis yang mungkin tidak terbayangkan di pikiran kita sekarang. Di situlah peran pemerintah, senantiasa berupaya dengan kebijakannya untuk mengatasi isu keadilan di masyarakat serta menerapkan pajak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.