Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Beberapa hari belakangan ini publik dihebohkan dengan wacana perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masuk dalam salah satu poin revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) . Entah siapa yang mulai menyebarluaskan, yang jelas wacana ini sudah menjadi polemik di kalangan masyarakat. Mulai dari masyarakat biasa, akademisi, ahli ekonomi, sampai dengan pejabat publik pun bersuara terkait hal ini.

Jasa pendidikan adalah salah satu dari kelompok jasa yang akan dihapus dari kelompok jasa yang selama ini tidak dikenai PPN. Kenyataan bahwa kebijakan ini masih merupakan rencana dan masih memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum benar-benar dilaksanakan ternyata tidak menyurutkan pandangan negatif terhadap kebijakan ini.

Banyak pendapat yang menyayangkan kebijakan ini. Kebijakan yang diambil di tengah kesulitan masyarakat yang terdampak oleh virus COVID-19 ini dinilai akan merugikan masyarakat. Tidak sedikit yang memprediksi dampak negatif dari hadirnya kebijakan ini. Sekolah-sekolah dari mulai tingkat dasar, menengah, bahkan sampai perguruan tinggi diprediksi akan menaikkan uang administrasi untuk siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi yang ingin mengenyam pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi tersebut. Lagi-lagi, masyarakat yang kembali merasakan dampak tersebut dengan semakin mahalnya biaya pendidikan.

 

PPN Jasa Pendidikan

Jasa pendidikan termasuk dalam 17 kelompok jasa yang tidak dikenai PPN sesuai dengan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN. Ketentuan ini diperjelas lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN.

Ketentuan ini menjelaskan bahwa kelompok jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN dapat dikatakan meliputi seluruh jenis pendidikan, formal dan informal. Jenis- jenis jasa pendidikan ini yang nantinya akan diatur sedemikian rupa sebagai bagian dari perluasan objek PPN.

Perspektif keadilan pajak dalam penerapan PPN jasa pendidikan ini pun menjadi hal penting untuk diketahui masyarakat. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri telah menjelaskan bahwa setidaknya ada empat alasan yang melatarbelakangi perluasan objek PPN termasuk PPN Jasa Pendidikan.

Pertama, pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dalam menyikapi distorsi ekonomi seiring adanya tax incidence yang menyebabkan harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.

Kedua, rata-rata tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation Development) yang mencapai 19% dan dengan negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) yang mencatatkan angka 17%.  

Ketiga, tingkat C-efficiency PPN (PPN yang berhasil dipungut dibandingkan dengan yang seharusnya bisa dipungut) di Indonesia adalah 0,6 (60%). Angka ini masih lebih rendah dengan negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand yang sudah mencapai 0,8 (80%).

Terakhir, masih banyak objek pajak yang sama-sama dikonsumsi oleh golongan masyarakat dengan tingkat penghasilan berbeda, tetapi perlakuan pajaknya sama. Contohnya, sekolah swasta yang biaya adminstrasi per bulannya sebesar tiga juta rupiah sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN dengan sekolah swasta yang berbiaya administrasi lima puluh ribu rupiah per bulan.

 

Beban Fiskal 

Salah satu buku yang disunting oleh Peter Harris dan Dominic De Cogan yang berjudul Tax Justice and Tax Law: Understanding Unfairness in Tax System menggambarkan berbagai pandangan, gagasan, dan pemikiran para ahli dalam mengartikan keadilan pajak.

Buku yang terbit di tahun 2020 ini secara umum memberikan tiga perspektif dari keadilan pajak, yaitu relasi dan keadilan pajak antarnegara, distribusi beban fiskal antar wajib pajak, serta relasi antara negara dan masyarakat. Berikut adalah penjelasan dua perspektif terakhir dari tiga perspektif keadilan pajak tersebut dalam hubungannya dengan PPN jasa pendidikan.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, salah satu bentuk ketidakadilan dalam pengecualian pengenaan PPN untuk jasa pendidikan adalah bahwa pengecualian tersebut berlaku untuk semua penyedia jasa pendidikan tanpa terkecuali. Ini berarti sekolah internasional yang berbiaya tinggi sama perlakuannya dengan sekolah biasa yang biayanya rendah. Hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan untuk melakukan perluasan objek PPN terkait jasa pendidikan.

Kenyataan bahwa cukup luasnya lingkup pemberian jasa pendidikan menimbulkan pemikiran bahwa akan lebih adil jika diberlakukan batasan tertentu yang nantinya akan dikenakan PPN. Hal ini berarti pengenaan PPN akan berlaku untuk jasa-jasa pendidikan yang bersifat komersial.

Sebaliknya untuk jasa pendidikan yang bersifat sosial dan kemanusiaan boleh jadi tetap dikecualikan dari pengenaan PPN. Keadilan akan terlihat ketika golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan menikmati jasa pendidikan premium dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.  Ini berarti agar dapat lebih memberi manfaat kepada masyarakat, multitarif PPN dapat diimplementasikan.

 

Relasi Negara dan Masyarakat

Sebesar Rp550 triliun atau 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disalurkan untuk membiayai sektor pendidikan di Indonesia.

Pembangunan asrama dan ruang belajar pondok pesantren, pembangunan dan rehabilitasi sekolah, program Indonesia Pintar, beasiswa Bidik Misi, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pelatihan kepariwisataan, pembangunan laboratorium, dan pemberian beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan adalah beberapa penggunaan dana di sektor pendidikan.

Dalam masa pandemi ini penggunaan dana pendidikan juga diberikan untuk subsidi kuota internet untuk para pelajar. Hal ini menunjukkan kepedulian negara terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.

Melihat kenyataan ini, tidak mungkin rasanya negara akan membiarkan masyarakat memiliki keterbatasan dalam menempuh pendidikan dengan adanya perluasan objek PPN. Beberapa insentif di sektor pendidikan bahkan diberikan oleh pemerintah. Dalam masa pandemi ini, insentif pajak juga semakin banyak diberikan, misalnya pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%.

Untuk membiayai 20% pengeluaran APBN ini, tentunya negara memerlukan dana yang tidak sedikit. Pajak menjadi salah satu sumber utama penerimaan karena menopang lebih dari 80% penerimaan negara. Ironisnya, jasa pendidikan justru dikecualikan dari pengenaan PPN. Padahal potensi penerimaan pajak dari jasa pendidikan boleh jadi cukup besar.

Pengenaan PPN jasa pendidikan bisa jadi sangat membantu penerimaan negara dalam membiayai pemulihan ekonomi nasional sebagai dampak pandemi dan juga sektor pendidikan. Tentu aturannya perlu diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan mesyarakat.

Di satu sisi negara memperhatikan keadilan pembebanan fiskal kepada masyarakat dan peningkatan daya saing produk dalam negeri. Di sisi lain negara juga harus memperbaiki sistem pemungutan PPN untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam pembahasan perluasan objek PPN ini.

Akhirnya, kembali lagi bahwa sampai dengan sekarang kebijakan ini belum benar-benar diimplementasikan. Pemerintah dan DPR tentunya akan memperhatikan kesejahteraan masyarakat dalam menentukan jadi tidaknya pemberlakuan kebijakan ini.

Sebagai warga negara kita dapat memberikan pandangan dan gagasan yang terbaik untuk negeri ini, tentunya dengan cara-cara yang sesuai dengan etika kesopanan. Semoga ke depannya, dunia pendidikan di negeri ini dapat semakin berkembang menjadi lebih baik dan negara dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.