Oleh: Ayodhya Agti Firdausa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Buku adalah jendela dunia. Tetapi nampaknya, generasi sekarang lebih suka menggunakan AC daripada membuka jendela untuk mendapatkan udara sejuk. Lalu apa akibatnya kurang literasi? Kalau kata anak muda zaman now, kurang literasi bikin kita jadi kaum ngang ngong ngang ngong. Hal ini menyebabkan kita tidak bisa fafifu wasweswos ketika menjelaskan suatu hal kepada orang lain.

 

Hubungan Literasi dan Buku

Terdapat banyak pendapat para ahli tentang definisi literasi. Secara umum, literasi adalah kemampuan berbahasa mencakup kemampuan dalam menulis, berbicara, menyimak, dan kemampuan berpikir lainnya. Literasi seseorang akan terus meningkat sejalan dengan banyaknya membaca buku. Oleh karena itu, sejak kecil pun orang tua sering kali menyuruh anaknya rajin membaca buku. 

Bahkan, saat ini pemerintah maupun organisasi nonprofit gencar mengampanyekan gerakan literasi. Hal ini bertujuan agar masyarakat, terutama generasi muda, giat membaca buku untuk meningkatkan wawasan. Dampak secara luasnya, jika masyarakat seluruhnya rajin membaca buku, akan meningkatkan kualitas SDM di negara tersebut. Meningkatnya kualitas SDM akan meningkatkan nilai upah kerja masyakarakat yang secara tidak langsung juga meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik.

Rasanya kita semua menyadari bahwa tingkat literasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Menurut dataindonesia.id, dari skala 1 – 100, tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia memilik skor 63,9 poin pada 2022. Skor tersebut meningkat 7,4 persen dari tahun sebelumnya (2021) yaitu sebesar 59,52 poin. Lalu apakah yang membuat masyarakat Indonesia malas membaca?

Terdapat beberapa pendapat terkait penyebab rendahnya minat baca di Indonesia. Dilansir dari berbagai sumber, beberapa penyebabnya adalah kemudahan aksesibilitas buku yang belum merata di seluruh daerah di Indonesia, kualitas konten dan visual buku lokal yang kurang menarik, dan tingginya biaya terjemahan buku asing sehingga menyebabkan harga buku asing pun lebih mahal.

Namun saat ini, buku lokal yang populer dan bergenre menarik pun memiliki harga yang cukup mahal. Hal ini tentunya menguras kantong para book lovers terutama yang masih berstatus pelajar.  Mahalnya harga buku pun kemudian menjadi salah satu penghambat minat membaca masyarakat.

 

Penyebab Mahalnya Harga Buku

Sejatinya, harga tidak selalu menjadi patokan seseorang ketika akan membeli buku. Namun, sumber daya keuangan yang terbatas dapat menyebabkan masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan primernya seperti makanan, transportasi, tempat tinggal, dan kesehatan. Dengan demikian, ketika harga sebuah buku seharga dengan kebutuhan primer, masyarakat dapat menganggap harga buku mahal.

Beberapa hal yang memengaruhi kenaikan harga buku antara lain inflasi yang menyebabkan biaya produksi buku meningkat, royalti penulis, perubahan preferensi pembaca dan permintaan pasar. Eka Kurniawan, penulis novel Cantik Itu Luka, juga menyebutkan harga buku dapat bertambah mahal karena adanya komponen biaya distribusi ke berbagai daerah, biaya konsinyasi di toko buku, serta pajak. Benarkah buku kena pajak? Mari kita bahas.

 

Apakah Buku Kena Pajak?

Pada dasarnya, buku termasuk objek pajak pertambahan nilai atau PPN. Hal ini karena undang-undang PPN tidak memasukkan buku ke dalam kelompok barang tertentu yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam pasal 4 undang-undang PPN. Dengan demikian setiap membeli buku, konsumen juga akan membayar PPN sebesar 11% dari harga buku. 

Namun, tidak semua buku harus dibayar PPN-nya. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5 Tahun 2020 mengatur bahwa buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama baik dalam bentuk fisik maupun e-book dibebaskan dari PPN.

Lebih lanjut, jika ketiga jenis buku tersebut diterbitkan oleh penerbit luar negeri, saat diimpor ke Indonesia juga dibebaskan dari pengenaan PPN impor dan PPh pasal 22. Oleh karena itu, secara tidak langsung pajak telah memberikan kemudahan kepada masyarakat agar bisa membeli berbagai buku yang menunjang pendidikan.

Pajak memastikan bahwa buku pelajaran dan kitab-kitab suci tersedia dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Apalagi fasilitas bebas PPN dalam pembelian ketiga jenis buku tersebut pun dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Hal ini tidak seperti fasilitas bebas PPN pada umumnya yang mengharuskan pengguna fasilitas PPN memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN.

 

Pajak Royalti bagi Penulis?

Penghasilan penulis dari karya bukunya yang terjual disebut royalti. Di Indonesia, royalti dikenakan pajak penghasilan (PPh) pasal 23 dengan tarif 15%. Tarif ini dinilai cukup tinggi oleh beberapa pihak dan menjadi perbincangan sejak 2017.

Di tahun tersebut, seorang penulis novel terkenal dengan karyanya Serial Bumi: Petualangan Dunia Paralel memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar di Indonesia, yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit. Penulis tersebut melakukannya sebagai bentuk protes atas anggapannya bahwa terdapat ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.

Kemudian isu tersebut menggiring opini baru bahwa tarif pajak royalti penulis yang terlalu tinggi dapat mematahkan semangat menulis. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan gerakan pemerintah yang mendorong masyarakat untuk meningkatkan literasi.

Menanggapi hal tersebut, pada Maret 2023, pemerintah resmi menurunkan tarif pajak royalti. Hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) Nomor PER - 1/PJ/2023. Dalam peraturan tersebut menegaskan bahwa jumlah bruto royalti yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah 40% dari total royalti yang diterima. Dengan demikian, PPh pasal 23 untuk royalti adalah 15% x 40% x royalti atau sama dengan 6% x royalti. Untuk contoh perhitungan lengkapnya tercantum dalam lampiran Perdirjen Pajak Nomor PER - 1/PJ/2023. Peraturan tersebut dapat diakses secara daring. 

Namun untuk menggunakan tarif tersebut, para penulis harus mengirimkan surat pemberitahuan penggunaan NPPN ke KPP terdaftar. Hal ini karena penulis diwajibkan untuk menyampaikan bukti penerimaan surat pemberitahuan penggunaan NPPN dari KPP terdaftar kepada pemotong pajak sebelum dipotong pajak 6% ini. Perlu diketahui juga, bahwa surat pemberitahuan penggunaan NPPN harus disampaikan ke KPP terdaftar di awal tahun pajak. Lebih lanjut, NPPN dapat digunakan ketika penghasilan bruto dalam 1 tahunnya kurang dari Rp4,8 miliar.

Sejatinya, PPN atas buku maupun PPh atas penghasilan royalti bagi penulis bukan pajak baru. Dalam undang-undang PPN, pada dasarnya seluruh barang maupun jasa dikenakan PPN kecuali diatur lebih lanjut bahwa barang atau jasa tersebut diberikan fasilitas dikecualikan, dibebaskan, maupun tidak dipungut PPN. Kemudian undang-undang PPh juga mengatur bahwa subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Oleh karena itu, PPN atas pembelian buku adalah kewajiban pajak konsumen. Sedangkan, PPh atas royalti adalah kewajiban pajak penulis.

Adanya PPN bisa jadi sedikit menaikkan harga buku. Misal buku seharga Rp100 ribu harus dibayar Rp111 ribu oleh konsumen. Namun, pada umumnya harga buku yang tertera saat dijual sudah mengandung PPN di dalamnya. Sedangkan buku bajakan biasanya dijual dengan harga yang murah. Bahkan terkadang harganya jauh lebih rendah dibanding buku orisinal. 

Proses penerbitan buku sangat panjang dan melewati banyak pihak. Keterlibatan banyak pihak tersebut memberikan andil untuk menciptakan karya buku yang bagus. Harga buku bajakan bisa sangat murah karena biasanya hanya melalui tahap pencetakan saja. Tidak ada biaya riset penulis, biaya penyuntingan, biaya promosi, royalti untuk penulis dan penerbit, dan sebagainya. Oleh karena itu, maraknya pembelian buku bajakan perlahan-lahan akan membunuh banyak pihak yang berkontribusi dalam penerbitan buku. Industri penerbitan buku, toko buku, editor, dan penulis akan gulung tikar jika hasil kerja kerasnya tidak menghasilkan pendapatan yang sepadan. Jika terus berlanjut, ada kemungkinan bahwa Indonesia tidak akan memiliki penulis hebat dengan karya luar biasa di masa depan.

Dengan demikian, menghindari pajak dengan membeli buku bajakan justru memberi dampak buruk yang lebih luas. Jadi, mari bersama-sama kita hargai karya para penulis serta selalu kobarkan semangat menulis untuk para pujangga dan calon pujangga Indonesia! 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.