Oleh: Nurista Hayuningtyas Caesareay, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Kebanyakan orang saat ini mulai beralih ke rokok elektrik dari rokok tembakau bakar. Namun, masih banyak juga yang tetap mengonsumsi rokok tembakau bakar. Menurut Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, rokok elektrik atau vape adalah suatu alat yang berfungsi seperti rokok namun tidak menggunakan ataupun membakar daun tembakau, melainkan mengubah cairan menjadi uap yang dihisap oleh perokok ke dalam paru-parunya.

Rokok elektrik umumnya mengandung nikotin, zat kimia lain, serta perasa/flavour dan bersifat racun. Di pasaran, rokok elektrik kerap diistilahkan dengan vape, vapour, e-cig, e-juice, e-liquid, personal vaporizer (PV), e-cigaro, elektrosmoke, green cig, smartsmoke, atau smartcigarette.

Vape bekerja dengan memanaskan cairan di dalam tabung atau biasa disebut sebagai cartridge, lalu mengubahnya menjadi uap melalui kapas dalam coil menggunakan energi listrik. Perbedaan mendasar antara rokok tembakau bakar dan vape adalah kandungan tembakaunya. Vape tidak memiliki kandungan tembakau, tetapi diganti dengan cairan atau anak muda biasa sebut sebagai liquid.

Meskipun dianggap lebih bergaya dari rokok tembakau bakar, vape pun tetap memiliki risiko kesehatan yang patut diwaspadai jika dipakai dalam jangka panjang. Meski tidak mengandung tembakau, beragam kandungan lain, seperti nikotin, propilen glikol, gliserin, dan perisa, nyatanya vape juga dapat memicu penyakit.

Kembali ke permasalahan perpajakan, sudah jelas segala jenis rokok maupun produk tembakau akan dikenakan cukai, tetapi apakah dikenakan pajak juga? Sedikit menyinggung tentang cukai, tahukah kamu mengapa rokok atau produk tembakau dikenakan cukai? Jawabannya ada di Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa barang-barang yang dikenakan cukai harus memenuhi kriteria berikut:

  • Konsumsinya perlu dikendalikan,
  • Peredarannya perlu diawasi,
  • Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup,
  • Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan secara implisit juga menjelaskan bahwa vape termasuk dalam kategori bahan yang mengandung zat adiktif karena mengandung nikotin, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan.

Zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatkan toleransi, dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.

Pengenaan cukai vape bukan pada alatnya, tetapi pada liquid yang digunakan. Hal tersebut sesuai dengan kedua peraturan di atas bahwa yang mengandung nikotin adalah liquid yang digunakan. Mengenai tarif pengenaan cukainya telah diatur tersendiri di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa liquid termasuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).

Dalam Pasal 1 Nomor 14 PMK tersebut, HPTL didefinisikan sebagai hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Selanjutnya di Pasal 6 ayat (3), pembahasan mengenai tarif atas HPTL secara runcing ditetapkan sebesar 57% dari harga jual eceran yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau importir.

Dalam sisi perpajakan, kita mengenal antara Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi suatu barang. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu menjelaskan bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif 0,5%.

Sehingga, bagi para penjual rokok elektrik atau biasa disebut vape store akan dikenakan pajak sesuai dengan peraturan tersebut dengan kriteria sesuai dengan Pasal 3 ayat (1). Pengenaan pajak ini dapat dikenakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Selain itu, atas konsumsi pembelian rokok elektrik baik liquid untuk isi ulang maupun komponen yang harus diganti beserta alatnya akan dikenakan PPN sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).

Sebagaimana kita ketahui, UU PPN memiliki prinsip negative list, artinya semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP) kecuali yang ditentukan lain oleh undang-undang. Konsumsi rokok elektrik tidak termasuk ke dalam negative list tersebut, sehingga dalam pembeliannya akan dikenakan PPN sebesar 10% dari harga pembelian.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.