Oleh: Muhith A. S. Harahap, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, baik global maupun nasional. Untuk meminimalisir dampak ekonomi Covid-19, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan yaitu pemberian insentif di sektor ekonomi kepada para wajib pajak.

Beberapa insentif tersebut antara lain, pertama, mengubah PPh Pasal 21 pegawai dengan kriteria tertentu dan PPh Final Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu menjadi ditanggung pemerintah (DTP). Dengan kebijakan ini, maka penghasilan yang dibawa pulang karyawan dengan kriteria tertentu akan lebih banyak dibanding sebelumnya.

Kedua, pembebasan PPh Pasal 22 impor atas wajib pajak telah ditetapkan sebagai Perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020 dan PMK Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Ketiga, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran yang seharusnya terutang. Keempat, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah dengan jumlah lebih bayar paling banyak lima miliar rupiah.

Selain empat poin di atas, insentif juga diberikan dalam bentuk relaksasi waktu penyampaian dokumen kelengkapan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) bagi wajib pajak badan dan penghapusan sanksi administrasi denda Pasal 7 KUP terhadap wajib pajak orang pribadi. Cukup kah insentif di atas bagi para wajib pajak?

Berdasarkan pengalaman lapangan penulis sebagai Juru Sita Pajak Negara, berbagai insentif yang sudah disebutkan di atas, ternyata masih dianggap kurang. Salah satu sebabnya adalah, karena insentif yang diberikan belum mencakup relaksasi terhadap tindak penagihan. Tidak memberikan relaksasi tindak penagihan pajak, dianggap sebagian wajib pajak sebagai sebuah ketimpangan.

Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, setidaknya ada dua relaksasi yang bisa diberikan pemerintah kepada para penunggak pajak. Dua hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Pertama, relaksasi jatuh tempo ketetapan pajak, baik ketetapan pajak dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak (SKP) maupun Surat Tagihan Pajak (STP). Selama ini, jatuh tempo pembayaran utang pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak adalah tiga puluh hari sejak tanggal ketetapan pajak diterbitkan. Maka berdasarkan PMK atau peraturan yang lebih tinggi, jatuh tempo pembayaran utang pajak ini bisa direlaksasi menjadi enam puluh hari atau sesuai dengan kebijakan pemangku kepentingan.

Kedua, relaksasi pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak. Dalam PMK Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak diatur bahwa, pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak dapat diberikan paling lama dua belas bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Untuk menampung aspirasi para wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak, maka pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak dapat diberikan lebih dari dua belas bulan dengan membuat dasar hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain memberikan relaksasi tata cara pembayaran dan penyetoran pajak, pemerintah juga bisa memberikan relaksasi tindak penagihan aktif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP). Dua poin krusial yang ada dalam UU PPSP adalah soal pemberitahuan surat paksa dan pengumuman lelang.

Berdasarkan UU PPSP, wajib pajak yang sudah diberikan surat teguran untuk melunasi utang pajaknya, namun tak kunjung melunasinya, akan diberikan surat paksa. Surat paksa ini mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Karena sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka wajib pajak tidak mempunyai upaya hukum lain, selain membayar utang pajaknya paling lama dua kali dua puluh empat jam setelah surat paksa diberitahukan. Apabila sudah mendapat surat paksa dan lewat dari dua kali dua puluh empat jam, utang pajak belum dilunasi, maka tindak penagihan pajak bisa dilanjutkan dengan penyitaan.

Dalam kondisi wabah global seperti ini, maka untuk memberi kesempatan kepada wajib pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajaknya, pemerintah bisa memberikan relaksasi jangka waktu pelunasan pajak setelah mendapatkan surat paksa. Bisa menjadi tujuh hari atau sesuai dengan kajian pemerintah.

Hal krusial kedua yang bisa diberikan relaksasi adalah soal pengumuman lelang. Empat belas hari setelah penyitaan, akan tetapi wajib pajak dan atau penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya, maka tindak penagihan akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang. Barang yang disita lalu dilelang setelah empat belas hari bertujuan agar negara bisa segera bisa mendapatkan pemasukan yang sudah lama tidak dibayar.

Meski barang-barang sitaan bisa dititipkan dan dipergunakan wajib pajak seperti biasa, akan tetapi pemberian relaksasi terhadap jangka waktu pengumuman lelang tentu akan menjadi angin segar bagi para wajib pajak. Dengan relaksasi ini, tentu wajib pajak atau penanggung pajak akan memiliki waktu bernapas lebih lama.

Tindak penagihan represif yang diatur dalam UU PPSP dan tidak perlu diberikan relaksasi oleh pemerintah adalah penyanderaan. Berdasarkan UU PPSP, penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya seratus juta rupiah dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Terhadap penanggung pajak yang diragukan itikad baiknya, maka negara harus bersikap tegas dan cepat mengambil tindakan. Jangan sampai kewajiban membayar pajak sebagaimana diwajibkan dalam konstitusi, dipermainkan wajib pajak nakal. Itikad yang tidak baik para wajib pajak akan sangat mengganggu negara yang kondisi keuangannya sedang tidak baik disebabkan pandemi Covid-19.

*) Tulisan ini adalah merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja