Pelaku Usaha Digital Luar Negeri Bukanlah BUT
Oleh: Prasida Nurul Husna, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Salah satu prinsip etika (Ethical Principle) adalah kesamaan/keseragaman (uniformity). Dalam dunia perpajakan sering merujuk kepada istilah equality of taxation. Hal ini menggambarkan perlakuan yang sama terhadap para pembayar pajak. Pernyataan ini disampaikan oleh Edwin Robert Anderson Seligman dalam bukunya The Shifting and Incidence of Taxation (1892).
Itu yang mendasari mengapa begitu banyak pertanyaan tentang apakah setiap jasa atas transaksi digital yang diserahkan oleh Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PU PMSE) dari luar negeri dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 oleh Wajib Pajak di Indonesia?
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, pengertian perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Ruang lingkupnya hanya sebatas perdagangan atau aktivitas yang terkait dengan transaksi barang dan jasa dengan tujuan mengalihkan hak dan memperoleh imbalan atau kompensasi. Sementara, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan, perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Maka perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Sejak 1 Juli 2020, melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.09/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (sekarang PMK 60/PMK.03/2022), bagi PU PMSE yang sudah memenuhi kriteria nilai transaksi dan jumlah trafik akan ditunjuk sebagai pemungut PPN. Untuk itu, PU PMSE wajib memungut PPN atas transaksi barang digital serta jasa digital dan menyetorkannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Dasar pertimbangan pengenaan PPN atas transaksi digital adalah untuk mengamankan penerimaan negara. Beberapa kajian menyebutkan, nilai transaksi barang digital tahun 2018 yang berasal dari luar negeri bisa mencapai Rp93 triliun. Hitungan kasarnya, nilai PPN yang diperoleh bisa mencapai Rp9,3 triliun.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan pengenaan PPN atas PMSE luar negeri, sekjen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Jose Angel Gurria menyebutkan, pengenaan PPN digital sudah dikenakan di lebih dari 50 negara. Di Jepang, setiap pelaku usaha transaksi digital luar negeri diwajibkan untuk mengisi dan menyerahkan formulir pendaftaran dan wajib memiliki representatif. Representatif tersebut wajib berkualifikasi seperti akuntan pajak. Demikian juga Swiss, bedanya adalah kewajiban pendaftaran dilimitasi oleh peredaran usaha transaksi digital luar negerinya. Apabila sudah melebihi batas secara worldwide, maka diwajibkan mendaftar untuk pelaksanaan kewajiban PPN.
Nomor Identitas versus NPWP
Bagi PU PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut diberikan Nomor Identitas sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas pemungut PPN PMSE dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan.
Adapun karakter Nomor Identitas ini mirip dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga banyak pemahaman bahwasanya Nomor Identitas ini adalah NPWP padahal berbeda secara fungsi.
Nomor Identitas merupakan sarana administrasi perpajakan berupa pemungutan PPN PMSE. Sedangkan NPWP merupakan sarana administrasi berupa pembayaran PPh bagi orang pribadi atau badan, pemotongan atau pemungutan PPh, pemungutan PPN, pembayaran PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya, serta penyetoran Bea Meterai.
Karena PU PMSE memiliki Nomor Identitas, banyak yang berpikir Nomor Identitas itu seolah-olah NPWP. Efeknya adalah ketika ada perusahaan dalam negeri menggunakan jasa atas transaksi digital dan bertransaksi dengan PU PMSE Luar Negeri, perusahaan dalam negeri tersebut memotong PPh Pasal 23 bahkan PPh Pasal 26 pada saat pembayarannya. Tidak sedikit yang bertanya kepada para penyuluh KPP Badan dan Orang Asing terkait adanya kewajiban pemotongan tersebut. Seperti diketahui bersama, pengadministrasian perpajakan PU PMSE dipusatkan di KPP Badan dan Orang Asing sejak tahun 2022. Demikian pula halnya dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
PU PMSE diberikan nomor identitas untuk melaksanakan administrasi perpajakan berupa pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN, sedangkan BUT adalah suatu alat bagi orang pribadi atau badan yang berkeinginan menjalankan aktivitas bisnis di negara lain yang dapat berupa Fixed Place, suatu tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor pabrik, bengkel, pertanian, gudang, pertambangan, sumur minyak atau gas, tempat penggalian atau tempat penggalian sumber alam lainnya.
Ada lagi Construction/Project, suatu bangunan atau konstruksi atau perakitan atau proyek instalasi, atau kegiatan pengawasan, atau suatu instalasi atau anjungan pengeboran atau kapal yang digunakan untuk eksplorasi atau untuk mengeluarkan sumber daya alam, yang berlangsung lebih dari suatu waktu yang ditentukan dalam treaty (time test).
BUT juga bisa berupa services, yaitu pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultasi, melalui pegawai atau orang lain jika kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung lebih dari suatu waktu yang ditentukan dalam treaty (time test).
Hal lain yang dapat dianggap sebagai suatu BUT adalah dependent agent yaitu orang atau badan selain dari agen yang berdiri sendiri yang bertindak atas nama perusahaan dari negara lain.
Perusahaan tersebut akan dianggap mempunyai BUT di negara yang disebut pertama dengan syarat-syarat tertentu, yaitu memiliki kuasa dan biasa melaksanakannya untuk menutup kontrak di negara tersebut atas nama perusahaan, kecuali atas kegiatan yang bukan dianggap sebagai BUT.
BUT juga bisa tidak memiliki kuasa semacam itu, tetapi mempunyai kebiasaan untuk mengurus persediaan barang-barang atau barang dagangan di negara yang disebut pertama dan secara teratur menyerahkan barang-barang atau barang dagangan itu atas nama perusahaan tersebut. Perusahaan asuransi akan dianggap mempunyai BUT di negara lain jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah negara lain itu atau menanggung risiko yang terjadi di negara tersebut melalui seorang pegawai ataupun melalui wakilnya yang bukan merupakan agen yang berdiri sendiri.
PU PMSE Bukanlah BUT
Jika PU PMSE Luar Negeri memiliki Nomor Identitas Perpajakan dan melakukan transaksi jasa digital kepada wajib pajak dalam negeri, maka perusahaan dalam negeri hanya membayar PPN kepada PU PMSE dan tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 apalagi PPh Pasal 26.
Ini karena PU PMSE Luar Negeri bukanlah BUT dan sesuai dengan P3B itu merupakan laba usaha bagi PU PMSE LN yang hak pemajakannya (PPh) adalah negara domisili PU PMSE LN tersebut.
Apa yang menjadi tujuan dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.09/2020 di atas telah terpenuhi karena sampai hari ini terdapat 174 PU PMSE yang telah ditunjuk dan diberikan nomor identitas sebagai pemungut PPN. Daftar PU PMSE tersebut bisa dicek di akun media sosial Instagram KPP Badan dan Orang Asing.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 139 kali dilihat