Oleh: Kania Laily Salsabila, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Beberapa waktu lalu, sempat muncul tren “kesenjangan sosial” di media sosial TikTok. Tren tersebut bermula dari tangkapan layar dua orang yang sedang berkomunikasi melalui chat, kemudian terlihatlah perbedaan status sosial dari perbedaan pemahaman yang terjadi. Misalnya, suara kipas angin yang terlalu keras di rumah disangka sebagai suara hujan deras. Meski dibalut dengan candaan dan komentar lucu, fenomena ini mengungkap kenyataan penting: kesenjangan masih nyata di tengah masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data publikasi Badan Pusat Statistik pada September 2024, rasio Gini tercatat di angka 0,381. Skala rasio Gini adalah dari angka 0 hingga angka 1. Semakin besar angkanya, semakin besar ketimpangan yang terjadi. 

Faktor penyebab kesenjangan sosial beragam, namun yang paling mencolok adalah faktor ekonomi dan geografis. Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, merupakan negara terpadat keempat di dunia. Ditambah dengan wilayah yang sangat luas dan tersebar, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan menjadi tantangan besar.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu kembali pada nilai luhur dalam sila kelima Pancasila: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Di sinilah peran pajak menjadi sangat penting. Selain sebagai sumber pendapatan negara, pajak juga memiliki fungsi distribusi. Zaman terus berkembang, pemerintah harus selalu berinovasi dalam merancang kebijakan pajak yang makin adil dan tepat sasaran.

Pemerintah terus menekan angka kesenjangan sosial melalui pajak, salah satunya dengan memberi batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi wajib pajak orang pribadi. Dengan adanya PTKP, masyarakat dengan penghasilan tertentu tidak akan dikenai pajak. Upaya ini dilakukan agar masyarakat kurang mampu terlindung dari kewajiban pajak, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan primer dalam kehidupan.

Selanjutnya, pemerintah juga menerapkan keragaman tarif pajak penghasilan. Pemerintah menetapkan tarif pajak penghasilan (PPh) yang berbeda untuk tiap level kesejahteraan wajib pajak. Misal untuk kategori orang pribadi, terdapat kebijakan tarif PPh progresif, semakin tinggi penghasilan yang diperoleh semakin tinggi pajak yang dikenakan. Begitu pula untuk kategori badan, terdapat dua tarif PPh, yaitu tarif Pasal 17 ayat (1) b Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan klaster Undang-Undang Paja Penghasilan dan tarif Pasal 31E ayat(1) UU PPh.

Pemerintah juga kerap memberikan insentif perpajakan bagi masyarakat. Misalnya, tarif Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, sebesar 0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi maupun badan. Bagi wajib pajak orang pribadi, fasilitas ini bisa digunakan selama tujuh tahun sejak nomor pokok wajib pajak (NPWP) terdaftar. Sedangkan wajib pajak badan hanya bisa menggunakannya selama tiga/empat tahun. Kebijakan ini diterapkan agar pelaku UMKM tidak merasa terlalu berat dengan kewajiban pajak yang harus mereka jalani. Dengan pengenaan tarif yang lebih kecil, mereka juga diharapkan bisa bersaing dalam pasar, untuk kemudian mencapai level kesejahteraan yang lebih baik.

Layaknya udara yang mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, kebijakan perpajakan dirancang agar kekayaan dapat mengalir dari mereka yang berpendapatan tinggi kepada mereka yang kurang mampu demi terciptanya kesejahteraan bersama. Aliran tersebut terwujud pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sesuai postur APBN 2025, penerimaan pajak masih menjadi sumber pendapatan utama, sebesar 82% dari pendapatan negara. Selanjutnya, penerimaan pajak tersebut didistribusikan dalam bentuk pendidikan, kesehatan, bahkan bantuan untuk masyarakat kurang mampu.

Pada tahun 2025, belanja pendidikan dianggarkan sebesar Rp724,3 triliun melalui belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Belanja pendidikan tersebut berupa bantuan operasional, program bantuan pendidikan, serta pemberian tunjangan profesi guru. Pemerataan pendidikan diharapkan dapat mengurangi angka ketimpangan kesejahteraan di masyarakat.

Keadilan sosial merupakan cita-cita bangsa. Kita boleh berharap pemerintah melakukan upaya terbaik, namun kita—masyarakat juga punya peran yang harus dijalankan. Mari kita bergotong royong, menaati ketentuan perpajakan yang berlaku, membayar pajak dan melaporkannya tepat waktu. Pajak kita, untuk kita.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.