Pajak Karbon, Indonesia Wajib Memulai

Oleh: Endra Wijaya Pinatih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di saat bumi "dijual". Di saat banyak orang bungkam. Hadir gadis berusia lima belas tahun asal swedia yang mengidap Sindrom Asperger, salah satu bentuk autism, berbicara lantang di konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Namanya Greta Thunberg. Sosoknya dijadikan simbol gerakan global untuk memerangi perubahan iklim.
Dewasa ini perubahan iklim menjadi topik hangat dan penting diperbincangkan negara-negara dunia, termasuk Indonesia. Hal tersebut lantaran peningkatan populasi dunia yang pesat ditambah pertumbuhan industri yang terus berlanjut menimbulkan masalah pelik bagi lingkungan. Sejatinya masalah perubahan iklim menjadi masalah yang konkret. Fenomena alam yang terjadi belakangan ini menjadi bukti sahih. Efek siklus tropis seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur bulan lalu tentu menjadi alarm bagi kita bersama.
Hal itu telah diprediksi jauh-jauh hari. Atas dasar adanya ancaman seperti itulah, alhasil PBB melahirkan Konvensi Kerangka Kerja tentang perubahan iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Rio de Janeiro pada 1992.
Tujuan utama dari UNFCCC ini yaitu menstabilkan tingkat konsentrasi efek gas rumah kaca di atmosfer, dengan mencegah perilaku manusia yang berbahaya bagi iklim sekaligus berkomitmen menurunkan tingkat emisi sebanyak 29% sampai dengan 41% pada tahun 2030 dengan kerja sama internasional yang dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) sesuai dengan Persetujuan Paris.
Sebagai bagian dari UNFCCC, Indonesia juga berkomitmen meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
Menjadi Solusi
Dari sekian banyak ide yang digagas, pajak karbon digadang-gadang menjadi salah satu solusi menanggulangi permasalahan iklim tersebut, baik pada skala lokal maupun global. Indonesia sebagai salah satu kontributor emisi karbon terbesar, memiliki peran yang fundamental dalam gerakan pengurangan emisi karbon dan mitigasi pemanasan global.
Perihal itu juga diamini oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang baru-baru ini mengatakan akan menyegerakan pembahasan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bersama dewan perwakilan rakyat. Beberapa poin baru yang akan mendapat perhatian salah satunya adalah pajak karbon.
Mengacu IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Sederhananya, penerapan pajak karbon akan mengenakan pajak dari penggunaan bahan bakar ini. Pajak ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya sebagai upaya untuk mengatasi pemanasan global.
Merujuk pada Tax Foundation (2019), pajak karbon juga dianggap sebagai pigouvian tax. Pigouvian tax sendiri memiliki pengertian pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif. Eksternalitas negatif adalah aktivitas ekonomi yang menyebabkan dampak negatif pada pihak ketiga. Dampak ini dapat muncul saat tahap produksi, distribusi, dan konsumsi dari suatu produk. Pajak karbon ini membuat individu yang membeli barang yang dibuat melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Lantaran produksi barang tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Finlandia menjadi pionir yang menerapkan pajak karbon di negaranya, tepatnya pada 1990. Pungutan pajak karbon di Finlandia saat ini mencapai 24,39 dolar Amerika Serikat per ton karbon.
Langkah Finlandia diikuti oleh negara-negara Skandinavia lainnya seperti Swedia dan Norwegia pada 1991. Selain itu, negara-negara lainnya juga ikut menerapkan kebijakan pajak karbon seperti Jepang dan Australia pada 2012, Inggris pada 2013, dan Cina pada 2017. Di wilayah Asia Tenggara, baru Singapura yang memberlakukan kebijakan pajak karbon pada 2019. Pajak karbon terbukti telah menurunkan emisi negara-negara tersebut sembari menambahkan pemasukan negara dari penerimaan pajak.
Indonesia Wajib Memulai
Penerapan pajak karbon di Indonesia dapat menjadi solusi di kala pandemi. Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang sektor kesehatan, sektor ekonomi tak pelak terkena imbasnya juga. Pandemi selalu menjadi sesuatu yang pelik. Banyak khalayak yang menyatakan muskil untuk menanggulanginya secara bersamaan.
Pajak karbon dapat menjadi sumber penerimaan baru pasca pandemi Covid-19 untuk negara. Berlakunya peraturan ini dapat mendorong pengurangan emisi karbon sehingga dapat mengurangi pemanasan global. Selain itu, salah satu dampak yang dapat ditimbulkan adalah meningkatnya pendapatan pemerintah dari segi penerimaan pajak, mendorong konsumen dan pengusaha lebih hemat energi dan berinvestasi pada teknologi hemat energi, serta munculnya kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak.
Selain dampak positif, dampak negatif turut menyertai apabila dilakukan dengan tergesa-gesa ataupun tanpa kalkulasi yang matang. Perancis misalnya, penerapan pajak karbon di negara tersebut memicu kemarahan supir truk karena berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Penerapan pajak ini dapat menimbulkan kenaikan harga lebih tinggi karena bertambahnya biaya produksi. Daya beli masyarakat pun melemah karena tingginya harga barang dan pengusaha sulit bersaing di pasar ekspor. Dari sini juga akan berdampak, baik secara tidak langsung maupun langsung, pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Bertambahnya biaya, mendorong pengusaha untuk mengurangi pengeluaran bisnis, salah satunya dari sisi tenaga kerja yang dapat menimbulkan pengangguran. Namun, demi menciptakan bumi sebagai tempat yang layak ditinggali generasi selanjutnya, pajak karbon patut didukung sebagai langkah awal untuk memulainya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 7830 kali dilihat