Pajak Belum Jadi Simbol Nasionalisme

Oleh: Afrialdi Syah Putra Lubis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hari Pajak diperingati di setiap tanggal 14 Juli melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017. Pegawai di seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan upacara untuk memperingati Hari Pajak. Wajib pajak mungkin tidak memperingati hari Pajak layaknya hari kemerdekaan negara kita. Bahkan sepertinya wajib pajak tidak mengetahui adanya peringatan hari Pajak ini.
Wajib pajak hanya akan mengingat tanggal-tanggal penting seperti batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan Masa atau batas akhir pembayaran pajak. Bahkan sepertinya tidak semua wajib pajak mengingat tanggal penting tersebut. Hanya sebagian wajib pajak yang patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya yang ingat tanggal penting tersebut karena sudah menjadi kebiasaan wajib pajak.
Ketika sumber daya alam tidak lagi menjadi penyumbang utama penerimaan negara, pajak kini menjadi sumber terbesar penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Saat ini pajak masih belum bisa dijadikan sebuah simbol warga negara yang patuh kepada sebuah aturan negara. Perhatian masyarakat pada pajak masih rendah karena anggapan bahwa pajak adalah iuran yang mengurangi penghasilan mereka.
Peran pajak berada di posisi teratas dalam penerimaan negara artinya pajak memiliki peran yang besar dalam pembangunan negara. Hal tersebut sepertinya layak apabila menjadi pajak sebagai simbol nasionalisme bangsa. Masyarakat bisa menunjukkan rasa nasionalisme dalam dirinya dengan cara yang berbeda, yakni sadar akan pajak.
Rasa nasionalisme tak harus dibuktikan dengan menjaga kedaulatan NKRI, namun juga dapat dibuktikan dengan turut berperan serta membantu ekonomi negara dengan membayar pajak. Menjadikan pajak sebagai simbol nasionalisme bangsa adalah sebuah harapan yang mungkin saja bisa menjadi nyata karena posisinya tak bergeser di urutan teratas sumber penerimaan negara.
Menyatukan Persepsi
Sebagai penyokong terbesar penerimaan negara untuk APBN, pencapaian pajak selalu menjadi sorotan setiap tahunnya. Meskipun selama beberapa tahun terakhir belum mencapai hasil yang maksimal, setidaknya DJP telah berupaya dengan maksimal dan juga terus melakukan perbaikan demi pencapaian yang lebih baik di tahun berikutnya. Beban yang diberikan pemerintah nyatanya tidak membuat kendur DJP dalam mencapai target penerimaan.
Pemahaman masyarakat atas makna pajak juga masih berbeda dengan makna sebenarnya. Kata ”memaksa” pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) masih memberikan anggapan bahwa ada tekanan keras yang diberikan kepada wajib pajak yang tidak menjalankan kewajiban perpajakannya. Padahal kata memaksa diimplementasikan melalui berbagai peraturan.
“Dirasakan secara tidak langsung” dalam Pasal 1 ayat (1) UU KUP tersebut juga menjadi batu sandungan untuk menumbuhkan kesadaran pajak kepada masyarakat. Bagi mereka yang masih awam dengan pajak, bukti langsung atas pajak yang dibayarkan kepada negara sangat diperlukan. Belum lagi perbedaan antara zakat dan pajak di beberapa wilayah yang masih menjadi perdebatan, padahal keduanya merupakan dua sisi yang berbeda.
Menumbuhkan Rasa
Menumbuhkan kesadaran pajak menjadi tugas DJP agar masyarakat beranggapan bahwa pajak adalah sebuah kewajiban dan salah satu bukti cinta kepada negara. Slogan “Sadar pajak” akan tetap menjadi ikon kata yang diperkenalkan kepada mereka yang masih beranggapan bahwa pajak adalah sebuah upeti layaknya penjajah meminta pungli.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pajak adalah tugas DJP untuk penerimaan yang lebih baik dari apa yang telah dicapai selama ini. Slogan "Sadar pajak" bisa juga merupakan sebuah singkatan dari “Sapaan Dari Pajak”. Pajak menyapa masyarakat atas sumbangsihnya kepada negeri ini. Tak perlu dijelaskan secara detail peran pajak dalam pembangunan negeri ini ketika sumber utama penerimaan negara adalah pajak.
Pemerintah tidak menuntut seluruh masyarakat untuk memahami makna dari pajak secara teoretis, namun cukup menanamkan kesadaran ke seluruh lapisan masyarakat bahwa pajak itu sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara ini. “Pajak kita untuk kita” memiliki makna bahwa wajib pajak berkontribusi besar untuk penerimaan negara yang dialokasikan kembali untuk kepentingan umum masyarakat Indonesia.
Sadar pajak dijadikan sebagai slogan karena DJP menyadari bahwa menumbuhkan kesadaran pajak kepada masyarakat bukan pekerjaan yang mudah. Pola pikir masyarakat bahwa pajak adalah sebuah paksaan dan pungutan harus dihilangkan.
Hari Pajak seharusnya tidak hanya menjadi selebrasi bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak maupun Kementerian Keuangan. Hari Pajak seharusnya dapat menjadi selebrasi bagi seluruh masyarakat Indonesia karena kontribusi aktif wajib pajak terhadap penerimaan pajak. Dengan penerimaan pajak yang tinggi, perekonomian negara kita dapat berjalan dengan baik.
Menumbuhkan rasa nasionalisme tidak melulu dengan cinta tanah air, namun ada banyak cara untuk mengekspresikan cinta itu, salah satunya dengan sadar akan peran pajak. Selamat Hari Pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 207 kali dilihat