Oleh: Badarussama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sejak akhir tahun 2019 Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo telah memperkenalkan omnibus law, seperti dikutip di berbagai media, sebagai salah satu program prioritas untuk menyongsong tahun 2020. Presiden menyatakan omnibus law sebagai suatu "jurus" untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia lewat tersedianya kemudahan investasi.

Omnibus Law sendiri adalah Undang-undang yang akan dibuat untuk menyederhanakan atau mengubah serta menyatukan beberapa Undang-Undang yang sudah ada dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan sasaran Undang-Undang Perpajakan, cipta lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM.

Undang-undang (UU) Perpajakan yang akan disederhanakan atau yang diubah menjadi omnibus law adalah UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Retribusi Daerah, UU Pajak Daerah, dan UU Pemerintah Daerah yang terpengaruh akibat dibuatnya Undang-Undang Omnibus Law ini.

Pada akhir Januari 2020, Rancangan UU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian yang lebih familiar didengar oleh masyarakat sebagai omnibus law perpajakan telah diserahkan Pemerintah kepada DPR RI. Beberapa ketentuan yang diatur dalam omnibus law perpajakan ini adalah penurunan tarif pajak PPh Badan yang diatur dalam  Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebesar 25% diturunkan secara bertahap menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2021 dan 2022, kemudian menjadi 20 persen mulai tahun pajak 2023, sementara tarif PPh Badan yang go public menjadi 3 persen lebih rendah dari tarif umum mulai tahun pajak 2021.

Pada saat Rancangan UU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian masuk dalam agenda pembahasan menjadi UU, muncullah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) pada bulan Maret 2020 atau 2 bulan setelah RUU tersebut diserahkan kepada DPR RI, di mana Covid-19 ini telah melemahkan sendi-sendi perkonomian hampir di seluruh sektor usaha sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan stabilitas sistem keuangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra-ordinary) dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan, sehingga Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan yang berlaku mulai tanggal 31 Maret 2020.

PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 ini antara lain mengatur tentang bentuk insentif dan relaksasi di bidang perpajakan. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk lebih memudahkan penanganan dan penanggulangan Covid-19 dan mendorong stimulus perekonomian. Kebijakan perpajakan tersebut antara lain tentang insentif perpajakan dan penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021 kemudian diturunkan kembali menjadi sebesar 20% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Sementara itu untuk wajib pajak dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi persyaratan tertentu dapat memperoleh tarif sebesar 3% lebih rendah.

Untuk lebih mempermudah dapat dilihat tabel sebagai berikut:

Uraian

Rencana dalam Omnibus Law

PERPPU Nomor 1 Tahun 2020

Tarif PPh Badan 25%

 

 

PT Tbk

 

22% di tahun pajak 2021 dan 2022

20% di tahun pajak 2023

 

3% lebih rendah mulai tahun pajak 2021

22% di tahun pajak 2020 dan 2021

20% di tahun pajak 2022

 

lebih rendah mulai tahun pajak 2020

Sehingga terlihat bahwa tarif PPh Badan yang diatur dalam RUU Omnibus Law Perpajakan dimajukan atau dipercepat dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020. Hal ini diperlukan selain karena untuk mendorong stimulus perekonomian juga karena pemerintah berupaya menjaga dunia usaha khususnya badan usaha untuk cepat bangkit dari keterpurukan ekonomi serta mampu bersaing dan kompetitif dalam persaingan perdagangan baik di dalam negeri maupun internasional.

Beberapa alasan penurunan tarif ini yang perlu dicatat adalah untuk meningkatkankan perekonomian dan dunia usaha menjadi semakin kompetitif. Contohnya, sebagaimana yang dikutip dari kontan.co.id, terdapat 33 investor Cina yang merelokasi pabrik dan tidak ada satu pun yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan memilih untuk memindahkan kegiatan produksinya dengan membangun pabrik di Vietnam, sedangkan sisanya memindahkan pabriknya ke Malaysia, Thailand, Kamboja, India, Meksiko, dan Serbia.

Ada beberapa alasan perusahaan yang hengkang dari Cina tidak pindah ke Indonesia, di antaranya yaitu Undang-undang Ketenagakerjaan yang bersifat kaku, dengan aturan tentang perekrutan dan pemecatan yang dianggap memberatkan bisnis; Rumitnya regulasi seperti izin impor dari Kementerian Perindustrian; Daftar Negatif Investasi (DNI), yang membatasi kepemilikan asing di bidang-bidang mulai dari pembuatan bir hingga penambangan, telekomunikasi, hingga pendidikan; tarif pajak perusahaan di Indonesia sebesar 25% lebih tinggi daripada rival negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.

Padahal Indonesia telah berusaha secara maksimal untuk mengubah dan juga menghilangkan regulasi penghambat investasi. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan belasan paket kebijakan terkait ekonomi selama lima tahun terakhir, yang sebagian besar menawarkan beragam bentuk insentif perpajakan (tax allowance dan tax holiday), tetapi investor lebih memilih berinvestasi di luar Indonesia.

Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu penyebab investor tidak berinvestasi di Indonesia adalah tingginya tarif PPh Badan di Indonesia dan tidak kompetitif dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti terlihat dalam dalam tabel berikut ini.

No

Negara

Tarif Pajak

1

Filipina

30%

2

Indonesia

25%

3

Myanmar

25%

4

Laos

24%

5

Malaysia

   24%

6

Kamboja

   20%

7

Vietnam

   20%

8

Thailand

   20%

9

Brunai Darussalam

   18,5%

10

Singapura

   17%

Dengan memindahkan investasinya ke negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah akan membuat efisiensi pajak yang cukup besar bagi investor dan meningkatkan penghasilan setelah pajak. Investor dapat memanfaatkan kembali efisiensi laba setelah pajak untuk meningkatkan kinerja keuangan dan pengembangan usaha perusahaan.

Begitu juga bila dibandingkan secara Internasional, tarif pajak Indonesia lebih tidak kompetitif lagi, bagaimana perubahan tarif pajak Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, dapat dilihat pada tabel berikut ini. 

No

Negara

Tarif (2019)

No

Negara

Tarif (2020)

1

Puerto Riko

37,5%

1

Puerto Riko

37,5%

2

Suriname

36%

2

Suriname

36%

3

Chad

35%

3

Chad

35%

53

Republik Dominika

27%

84

Laos

24%

54

Samoa

27%

85

Malaysia

24%

55

Kanada

26,5%

86

Kawasan Euro

23,3%

56

Aljazair

26%

87

Israel

23%

57

India

25,17%

88

Mesir

22,5%

58

Indonesia

25%

89

Indonesia

22%

162

Uni Emirat Arab

0%

162

Uni Emirat Arab

0%

163

Vanuatu

0%

163

Vanuatu

0%

(sumber data : https://id.tradingeconomics.com/country-list/corporate-tax-rate)

Terlihat dari 163 negara untuk tahun-tahun sampai dengan 2019, Indonesia berada di peringkat 58 sebagai Negara yang memiliki tarif pajak penghasilan badan usaha tertinggi di dunia, dan setelah berlakunya tarif yang baru sebesar 22% ditahun 2020 peringkat Indonesia semakin kompetitif karena berada di urutan 89 dari negara-negara yang memiliki tarif Pajak Penghasilan Badan tertinggi di dunia. Bisa dibayangkan apabila di tahun 2022 tarif pajak turun menjadi 20% maka Indonesia jauh lebih kompetitif lagi dan diharapkan pemindahan penghasilan ke luar negeri dan pemasukan beban biaya ke dalam negeri dengan cara transfer pricing dan memanfaatkan treaty shopping dapat berkurang dengan turunnya tarif pajak penghasilan badan usaha ini.

Memang untuk jangka pendek kebijakan penurunan tarif ini akan berdampak buruk bagi penerimaan pajak nasional, tetapi secara jangka panjang justru akan menambah penerimaan pajak. Hal ini didukung dengan hasil riset OECD sebagaimana berita yang dikutip dari foresight-id.com, hasil riset tersebut di antaranya menyatakan bahwa di berbagai negara di dunia dalam dua dekade terakhir menyimpulkan tarif PPh dalam trend penurunan. Sebanyak 76 negara mematok PPh Badan lebih rendah, sedang 12 negara atau wilayah lainnya mempertahankan tarif dan 6 negara mengenakan tarif lebih tinggi. Bahkan, 12 negara menghilangkan tarif PPh Badan atau menjadi tarif 0% sejak tahun lalu. Walaupun tarif PPh turun, kontribusi pajak perusahaan terhadap total penerimaan pajak negara-negara itu naik. Misal pada tahun 2016, pajak perusahaan mengambil porsi 13,3% dari total penerimaan pajak di 88 negara yang didata OECD. Angka ini naik ketimbang tahun 2000 yang hanya 12%.

Dapat dicontohkan juga beberapa negara yang sukses dalam menurunkan tarif PPh dan meningkatkan tax rationya seperti Cina, dengan tarif PPh Badan awalnya 33%  turun menjadi 25%. Penurunan tarif tersebut berdampak positif pada rasio pajakya dari 9,9% naik menjadi 10,3% dari PDB. Selain itu, Perancis juga berhasil meningkatkan rasio pajaknya dalam jangka waktu satu tahun yang semula 21,2% naik menjadi 21,4%, dengan menurunkan tarif PPh Badan dari 26%, menjadi 24%. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kenaikan rasio pajak negara-negara tersebut bukan semata-mata karena penurunan tarif saja, tetapi juga ada kebijakan yang melengkapinya seperti kebijakan perluasan basis pajak dan pembenahan sistem perpajakan.

Tidak semua negara memiliki kebijakan ekonomi yang sama dengan Indonesia di saat pandemi Covid-19, sehingga ini menjadi sebuah nilai tambah bagi dunia usaha di saat Indonesia masuk ke periode new normal dengan tarif pajak yang baru.

Walaupun Indonesia sudah memiliki kebijakan ekonomi yang mendukung pemulihan dunia usaha, tetapi perlu tetap diperhatikan sumber dari bencana ekonomi ini yaitu virus Covid-19 untuk secepatnya diatasi bersama, karena sebaik apa pun kebijakan ekonomi tetap tidak berguna apabila wabah Covid-19 tidak tidak dapat dituntaskan.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.