Oleh: Endang Dwi Ari Surjaningsih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pandemi Covid-19, yang mulai menyebar sejak awal 2020, seiring perjalanan waktu menimbulkan dampak besar pada kondisi kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia. Krisis kesehatan yang pada akhirnya berdampak pada krisis ekonomi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi  Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang). Kebijakan ini diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2020.

Perpres 54/2020 telah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp1.760,9 triliun, nilai itu turun Rp472,3 triliun dari target awal penerimaan negara sebelumnya yang sebesar Rp2.233,2 triliun. Sementara itu, untuk alokasi belanja negara meningkat Rp73 triliun dari sebelumnya Rp2.540,4 triliun menjadi sebesar Rp2.613,8 triliun. Defisit anggaran yang semula 1,76% diubah menjadi 5,07%. Total utang yang tadinya hanya Rp307,2 triliun berubah menjadi Rp852,93 triliun.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan, APBN 2020 akan menghadapi tekanan dari semua sisi, baik penerimaan, belanja, maupun pembiayaan. Penerimaan negara 2020 (pajak, bea dan cukai, maupun PNBP) akan mengalami penurunan. Sementara itu, pembiayaan dipastikan melonjak signifikan seiring dengan melebarnya defisit APBN 2020. Kenaikan belanja mencakup berbagai belanja untuk mendukung pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Dalam perkembangannya , pada awal Juni 2020 Menteri Keuangan RI memprediksikan bahwa defisit anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2020 melebar ke level 6,34% atau setara Rp1.039,2 triliun dari yang sebelumnya  5,07% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pemerintah memerlukan dana besar untuk meningkatkan fasilitas kesehatan dan membantu ekonomi masyarakat agar tidak semakin terpuruk. Angka defisit menunjukkan kesehatan keuangan suatu negara. Semakin besar angkanya berarti semakin tinggi pula utangnya. Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal di sebagian besar negara membutuhkan kondisi defisit atau surplus anggaran. Ini terkait dengan tiga fungsi fiskal sebagai alat  stabilisasi, tax smoothing dan redistribusi intergenerasi. Tax smoothing atau kebijakan pemotongan pajak diambil untuk menggairahkan perekonomian dan meningkatkan daya beli masyarakat. Untuk meningkatkan produktivitas, tarif pajak biasanya akan ditekan pada tingkat rendah untuk mengurangi biaya sosial pajak (Mankiw, 2003).

Beberapa kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah untuk mendorong stabilitas perekonomian di tengah krisis pandemik di antaranya adalah dengan pemberian insentif fiskal kepada para pelaku kegiatan ekonomi dengan menerbitkan peraturan yang memudahkan masyarakat untuk menjalankan kegiatan usahanya baik berupa insentif pajak maupun relaksasi dalam pelaporannya. Insentif fiskal yang diberikan pemerintah diantaranya diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai berikut:

  • PMK-23/PMK.03/2020 tentang  Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona yang telah diubah dengan PMK- 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019,
  • PMK Nomor  28/PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019,
  • PMK-29/PMK.03/2020 tentang Pelaksanaan Pelayanan Administrasi Perpajakan Dalam Keadaan Kahar Akibat Pandemi Corona Virus Disease 2019,
  • PMK-31/PMK.04/2020 tentang Insentif Tambahan Untuk Perusahaan Penerima Fasilitas Kawasan Berikat dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Untuk Penanganan Dampak Bencana Penyakit Virus Corona (Corona Virus Disease 2019/ Covid-19)
  • PMK-34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Pemberian stimulus pajak yang di antaranya diwujudkan dalam bentuk pemberian fasilitas pajak ditanggung pemerintah, restitusi dipercepat untuk pengembalian sampai dengan Rp5 miliar, pembebasan dan/atau keringanan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 hingga 30%, serta penggunaan tarif baru PPh untuk penghitungan angsuran PPh Pasal 25 tentu saja merupakan pilihan berat bagi pemerintah yang sedang membutuhkan sumber pembiayaan untuk mengatasi dampak krisis Covid-19. Hal ini dikarenakan pemberian berbagai fasilitas kepada berbagai sektor usaha tersebut di sisi lain akan menambah beban pembiayaan bagi pemerintah.

Namun demikian, pemerintah tentu saja telah memperhitungkan untuk memilih langkah efektif yang terkait dengan kebijakan perpajakan agar masyarakat tetap dapat bertahan dari sisi ekonomi dalam kondisi disrupsi krisis Covid-19. Dalam hal ini stabilitas ekonomi sangat diperlukan dalam kondisi krisis dan kebijakan perpajakan yang tepat diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi perekonomian. Kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan ekonomi, sehingga secara teori dapat diasumsikan bahwa pembuat kebijakan akan merespon bahwa pengurangan beban pajak atau penundaan pembayaran pajak akan membantu masyarakat dalam menghadapi masalah likuiditas yang mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi. Dengan pengurangan beban pajak diharapkan masyarakat dapat meningkatkan produktivitas usahanya sehingga roda perekonomian dapat tetap berjalan dan stabilitas ekonomi dapat tercapai.

Berbagai stimulus fiskal di tengah kondisi pandemik yang berdampak pada stabilitas perekonomian tidak menutup kemungkinan untuk terjadi moral hazard di kalangan para pelaku usaha yang mengarah pada tindakan/upaya tax avoidance (penghindaran pajak). Hal ini dikarenakan boleh jadi terdapat oknum pelaku usaha yang memanfaatkan berbagai kemudahan dalam fasilitas yang diberikan pemerintah untuk melegalkan keengganan/ketidakpatuhan mereka dalam membayar pajak. Para pelaku usaha yang berprinsip "We don't pay taxes, only the little people pay taxes" seperti Leona Helmsley (seorang biliuner wanita di Amerika yang dikenal sebagai pelaku penggelapan pajak/tax evasion). Perilaku negatif pelaku usaha yang demikian tentu saja memiliki efek negatif pada penerimaan pajak. Kurangnya penerimaan pajak berdampak pada perlambatan belanja negara yang akan semakin membebani pemerintah dalam upaya memulihkan kondisi perekonomian yang terdisrupsi pandemik.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai pengumpul penerimaan Negara harus berusaha ekstra keras untuk memitigasi para wajib pajak yang memiliki moral hazard mengganggu penerimaan pajak dan melakukan pengawasan yang lebih intensif pada mereka. Dengan demikian untuk menopang penerimaan pajak diharapkan kesadaran wajib pajak untuk menghitung dan membayar pajak secara jujur serta bijak dalam memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah, meskipun tengah berada dalam situasi perekonomian yang terdisrupsi pandemik. Hal ini dikarenakan pemerintah membutuhkan dana besar untuk tetap dapat menjalankan fungsinya dalam meningkatkan fasilitas dan layanan publik yang terdampak pandemik.

Dibutuhkan kesadaran bahwa ketidakpatuhan pajak akan menyebabkan masalah dalam penyediaan kebutuhan publik. Kesadaran berupa etos wajib pajak yang merasa sangat bersalah apabila tidak membayar pajak. Kesadaran bahwa pajak yang dibayar adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Kesadaran bahwa negara tidak perlu terlalu dibebani dengan utang untuk menutup defisit anggaran yang nantinya akan semakin membebani anak cucu. Menjadi wajib pajak yang bijak untuk taat membayar pajak di tengah krisis tanpa mengharapkan imbalan langsung dari negara. Mengutip John F. Kennedy, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi apa yang bisa kami berikan untuk negaramu."

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.