Oleh: Andika Putra Wardana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Siapa yang tak gemar mengonsumsi susu? Atau Anda lebih menyukai produk turunan dari susu seperti keju, yoghurt, es krim? Kini semua kalangan bisa menikmati susu. Termasuk bagi orang-orang yang mempunyai intoleransi terhadap laktosa. Mereka tetap dapat menikmati susu yang aman bagi mereka seperti susu bebas laktosa dan susu oat.

Sejak zaman dahulu, manusia memang sudah mengonsumsi susu, baik itu susu sapi maupun domba. Tercatat sejak abad ke-15, sapi perah mulai masuk ke Eropa untuk diternakkan dan dikonsumsi. Sementara di Indonesia sendiri, susu mulai masuk di abad ke-19 seiring dengan kebiasaan orang Belanda yang mengonsumsi susu.

Namun, tahukah Anda bahwa di balik nikmatnya susu beserta produk turunannya terdapat pencemaran lingkungan yang berasal dari peternakan?

Emisi Gas Rumah Kaca

Hewan ternak seperti sapi, kerbau, domba dan kambing merupakan hewan yang termasuk ke dalam kategori hewan ruminansia, di mana mereka mempunyai sistem pencernaan yang kompleks dan menghasilkan gas metana. Gas metana dari pencernaan hewan ruminansia akan dikeluarkan dalam bentuk gas buangan (sendawa dan kentut) dan kotorannya. Berdasarkan berbagai penelitian, gas metana adalah salah satu gas yang memiliki pengaruh lebih besar atas pemanasan global dibandingkan gas karbondioksida. Humane Society International (2014) menyatakan bahwa gas metana setidaknya memiliki angka potensi pemanasan global 25 kali lipat dibandingkan karbondioksida. Hal ini berarti gas metana dari peternakan akan sangat berpengaruh secara signifikan atas pemanasan global yang terjadi, terutama bagi negara-negara yang memiliki sektor peternakan secara masif.

Penerapan di Selandia Baru

Selandia Baru merupakan negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi nol karbon dan mengurangi emisi gas metana sebesar 24-47% pada tahun 2050. Komitmen ini didasari dengan disahkannya Undang-Undang Nol Karbon pada tahun 2019 lalu. Sektor peternakan merupakan salah satu penyumbang ekspor terbesar bagi Selandia Baru. Bahkan berdasarkan data dari NZ Stats, pada tahun 2022 tercatat sebanyak 25,3 juta domba dan 6,1 juta sapi perah yang diternakkan. Angka ini melebihi jumlah populasi Selandia Baru yang hanya sebesar 5,2 juta orang.

Lebih dari setengah emisi gas rumah kaca Selandia Baru berasal dari sektor peternakan. Pada tahun 2022, Perdana Menteri Jacinda Ardern mengusulkan rencana pajak untuk para peternak yang didasari oleh seberapa banyak emisi yang mereka hasilkan. Nantinya uang yang diperoleh dari pajak para peternak ini akan dikembalikan ke industri peternakan dalam bentuk riset dan teknologi untuk mengurangi gas rumah kaca, serta insentif bagi para peternak yang berusaha mengurangi emisi buangan gas rumah kaca, misalnya dengan penanaman pohon di peternakannya atau mengolah kotoran ternak menjadi bahan bakar terbarukan. Apabila usulan ini disetujui oleh legislatif Selandia Baru, maka pajak ini akan diterapkan pada tahun 2025 dan Selandia Baru akan menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak atas emisi gas rumah kaca dari peternakan.

Implementasi di Indonesia

Lantas apakah pajak atas emisi gas rumah kaca dari peternakan perlu diterapkan di Indonesia?

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2022), tercatat jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 18 juta ekor, sapi perah sebanyak 569 ribu ekor, kambing sebanyak 19 juta ekor, dan domba sebanyak 17 juta ekor. Sebagian besar dari populasi hewan ternak ini terkonsentrasi di Pulau Jawa. Skala peternakan di Indonesia memang tidak sebesar dan semasif di Selandia Baru, terlihat dari tingkat konsumsi susu di tanah air hanya mencapai 16,27 kg per kapita per tahun, dimana angka ini masih di bawah rata-rata konsumsi negara lain di Asia Tenggara. Padahal menurut Badan Pusat Statistik, kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,4 juta ton sementara tingkat produksi susu di Indonesia hanya mencapai 968 ribu ton pada tahun 2022.

Dalam sebuah studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) --yang belakangan dilebur bersama beberapa lembaga menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)-- emisi gas rumah kaca dari peternakan di Indonesia tercatat sebesar 35.076 gigagram CO2e (ggCO2e) pada 2014. Emisi ini hanya mencakup tidak lebih dari 2% total emisi gas rumah kaca di Indonesia. Melihat besaran emisi peternakan di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa sektor peternakan hanya berperan kecil bagi emisi gas rumah kaca, lain halnya dengan Selandia Baru yang memang skala peternakannya sangat masif dan tentu saja menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat signifikan.

Menurut hemat penulis, untuk saat ini rasanya belum diperlukan untuk mengenakan pajak tambahan bagi para peternak, karena para peternak sudah dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), bahkan beberapa komoditi ternak juga mendapatkan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 tentang Kriteria dan/atau Rincian Ternak Bahan Pakan untuk Pembuatan Pakan Ternak dan Pakan Ikan yang atas Impor dan/atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Di Selandia Baru sendiri, usulan pajak atas peternakan ditentang keras oleh oposisi dan para perkumpulan/asosiasi peternak. Namun, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, pajak atas peternakan dapat diterapkan jika sektor peternakan di Indonesia berkembang pesat dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan bagi pemanasan global.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.