Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Belum lama ini, insan pajak nasional baru saja memperingati Hari Pajak. Tahun 2021 ini merupakan tahun keempat digelarnya peringatan Hari Pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017, Hari Pajak resmi diperingati pada tanggal 14 Juli setiap tahunnya mulai tahun 2018.

Tanggal 14 Juli sendiri dipilih karena pada tanggal 14 Juli 1945 kata pajak muncul dalam penyampaian Rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) kedua, setelah sebelumnya kata tersebut disebutkan pertama kali oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman Wedyodiningrat dalam rapat panitia kecil terkait keuangan.

Hari Pajak diperingati untuk mengingatkan masyarakat tentang sejarah perjalanan perpajakan di Indonesia. Selain itu, peringatan Hari Pajak juga dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya pajak bagi negara dan mengajak masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran pajak dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Sayangnya, gemuruh dan meriahnya acara peringatan Hari Pajak setiap tahunnya sepertinya belum terlalu disambut antusias oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kegiatan lebih banyak dimeriahkan oleh pegawai dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan. Memang benar bahwa DJP juga mengadakan kegiatan yang melibatkan masyarakat dan wajib pajak, seperti perlombaan, seminar, kegiatan sosial, dan lain-lain. Namun, keterlibatan itu belum menunjukkan antusiasme masyarakat dalam menyambut Hari Pajak sebagai wujud kebanggaan masyarakat dengan pajak sebagai penyumbang mayoritas penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam pengertian pajak berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pungutan pajak disebutkan memiliki sifat memaksa. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, warga negara memiliki kecenderungan untuk tidak rela membayar pajak. Namun, menumbuhkan kesukarelaan bahkan kebanggaan dalam membayar pajak bukan merupakan hal yang mustahil.

Vanessa S. Williamson (2017) dalam bukunya "Why Americans Are Proud to Pay Taxes" menggambarkan bangganya warga Amerika Serikat dalam membayar pajak. Rasa bangga tersebut mereka tunjukkan karena merasa terlibat dan memiliki peran dalam membangun negara. Mereka malu menjadi free rider dalam memanfaatkan fasilitas yang diberikan negara.

Namun, ada dua hal yang tidak mereka sukai terkait dengan pembayaran pajak yang mereka lakukan. Pertama, mereka tidak suka jika ada kemungkinan wajib pajak lain tidak memiliki kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban pajak. Kedua, mereka tidak suka jika uang pajak yang mereka bayarkan digunakan pemerintah untuk belanja yang tidak tepat sasaran. Mereka menginginkan jika uang pajak benar-benar dibelanjakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi pembayar pajak.

Hal senada pernah diutarakan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita pada Oktober 2019. Suryadi menyatakan bahwa pengusaha menjadi malas dan tidak rela membayar pajak karena ada ketidakadilan dalam pelaksanaan kepatuhannya. Jumlah pengusaha yang membayar pajak masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah seluruh wajib pajak terdaftar di Indonesia. Dari 265 juta penduduk Indonesia hanya sekitar 1 juta penduduk yang membayar pajak.

Deddy Corbuzier, seorang artis dan selebritas terkenal di Indonesia, pernah menyatakan bahwa dia telah membayar pajak 3,4 miliar rupiah pada tahun 2020 saat berbincang dengan Direktur Jenderal Pajak. Ini menunjukkan rasa bangga seorang warga negara, walaupun Deddy juga sedikit melontarkan kritik bahwa jalan di depan rumahnya masih berlubang. Sikap bangga bayar pajak dari seorang wajib pajak seperti ini yang diharapkan dapat memberi contoh kepada wajib pajak lain untuk melakukan hal serupa. Apalagi yang melakukannya adalah sosok yang banyak dikenal publik.

Rasa bangga bayar pajak sangat berhubungan dengan kepatuhan pajak sukarela. Kepatuhan pajak sukarela berkaitan erat dengan kesadaran pajak. Dan salah satu hal penting yang dapat menciptakan kesadaran pajak adalah rasa percaya kepada pemerintah dalam menjalankan regulasi dan kebijakan perpajakan, serta mengelola dan menggunakan hasil penerimaan pajak untuk kemanfaatan publik.

Setidaknya ada dua hal yang harus menjadi perhatian dalam menumbuhkan rasa bangga bayar pajak bagi seluruh warga negara. Pertama, perlakuan penerapan aturan perpajakan terhadap seluruh wajib pajak harus mencerminkan keadilan. Keadilan pajak terdiri dari dua hal, keadilan pajak vertikal dan keadilan pajak horizontal (Musgrave,1973).

Keadilan pajak vertikal digambarkan dengan orang yang berpenghasilan lebih besar membayar pajak lebih besar. Keadilan pajak horizontal dideskripsikan dengan dua orang atau lebih yang memiliki jumlah penghasilan yang sama membayar jumlah pajak yang sama. Keadilan ini yang perlu diawasi dengan sungguh-sungguh terkait implementasi regulasi dan kebijakan yang sedang berlaku.

Sanksi ketidakpatuhan harus diimplementasikan secara merata untuk wajib pajak yang tidak patuh tanpa terkecuali. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa perlakuan pengawasan kepatuhan adalah sama untuk semua wajib pajak.

Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa pemanfaatan hasil penerimaan pajak benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berbeda dengan pajak dan retribusi daerah, dalam pajak pusat seperti Pajak Panghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), timbal balik atau manfaat tidak langsung dirasakan oleh pembayar pajak.

Untuk memastikan manfaat dari pembayaran pajak ini sampai ke seluruh masyarakat juga bukan hanya tugas otoritas perpajakan. Perlu ada sinergi dan kolaborasi dari seluruh kementerian dan lembaga dalam pemerintahan negara ini. Misalnya untuk pembangunan infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mempunyai tanggung jawab memanfaatkan dana pajak untuk pengerjaan infrastruktur agar hasilnya dapat dirasakan masyarakat.

Kementerian Sosial bertanggung jawab untuk memanfaatkan dana pajak untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bertanggung jawab untuk memanfaatkan dana pajak dalam memastikan pendidikan terbaik dapat diterima oleh masyarakat. Demikian pula dengan kementerian lain yang memanfaatkan dana pajak sesuai bidangnya masing-masing.

Akhirnya, sebagai sektor yang menyumbang lebih dari 80% APBN, pajak sudah seharusnya menjadi bagian dari perwujudan rasa nasionalisme warga negara. Rasa bangga membayar pajak bukan hal yang mustahil tumbuh di sanubari masyarakat Indonesia. Namun, untuk mewujudkan itu perlu kerja keras dan sinergi banyak pihak. Dimulai dengan membiasakan kepatuhan pajak sukarela melalui rasa percaya kepada pemerintah yang berujung pada kesadaran pajak, secara perlahan rasa bangga membayar pajak dapat tertanam dan tumbuh di dalam diri anak bangsa untuk kemajuan ibu pertiwi.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

File Artikel Terkait