Oleh: Andrean Rifaldo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sudahkah Anda sarapan hari ini? Sebuah survei Herbalife Nutrition mengungkapkan bahwa sekitar 69% penduduk Indonesia kini sudah menjadikan sarapan sebagai kebiasaan sehari-hari. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Dana Anak-Anak (UNICEF) juga telah menegaskan pentingnya sarapan dalam mendukung kesehatan masyarakat.

Namun, tulisan ini bukan tentang arti penting santap pagi, melainkan sisi lain yang menggugah hati dari masalah ini. Ini adalah tentang bagaimana sarapan masih menjadi komoditas mewah bagi 26,36 juta penduduk kita yang hidup di bawah garis kemiskinan.

 

Potret Kemiskinan

Di setiap perjalanan menjelajahi berbagai kota di Nusantara, saya menemukan ada dua hal yang dapat dengan mudah ditemui di setiap sudutnya: hangatnya keramahtamahan dan pahitnya kemiskinan.

Kenangan kuat datang dari Bandung, ketika saya melihat seorang pria tua renta dengan gigih mencari nafkah sebagai badut di persimpangan jalan, tak peduli setengah jam lagi hari sudah berganti.

Namun, pelajaran sejati tentang pahitnya kemiskinan menghampiri saat saya melangkah di Malang. Di sana, dalam keramaian alun-alun yang seharusnya menjadi pusat kehidupan kota, terpampang nyata betapa sulitnya menjalani hidup dalam kemiskinan.

Lalu, tiba di Jakarta, kemiskinan menjadi begitu kompleks sehingga menjabarkan apa yang saya lihat mungkin akan memerlukan banyak paragraf. 

Kemiskinan tak henti-hentinya menjadi isu sosial yang menghantui perekonomian kita. Terlepas dari pertumbuhan ekonomi nasional yang berhasil tumbuh kuat di tengah perlambatan global, kualitas kesejahteraan tak berarti turut membaik bagi setiap orang.

Meski tingkat kemiskinan berhasil turun drastis dari 23,43% pada tahun 1999 menjadi 9,36% pada tahun ini, kita tak bisa mengabaikan fakta pahit bahwa puluhan juta jiwa tetap bergelut dengan kesulitan hidup, bahkan sekarang ketika Anda membaca kalimat ini.

Bahkan menurut data Bank Dunia, ada keprihatinan yang lebih mendalam: 73,9 juta orang, hampir sepertiga dari seluruh penduduk, masih terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ancaman kerentanan jatuh miskin.

 

Penyebab Multidimensional

Kemiskinan, pada hakikatnya, adalah persoalan multidimensional yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Ada banyak hal yang menyebabkan ia terus bertahan.

Salah satunya adalah dampak yang diakibatkan oleh hilangnya lapangan pekerjaan akibat pandemi tiga tahun silam. Hingga saat ini, 1,12 juta orang masih terperangkap dalam jurang kemiskinan meski wabah telah pulih.

Ketaksetaraan akses terhadap sistem perlindungan kesehatan dan sosial juga menghancurkan kesempatan banyak anak untuk memperbaiki kesejahteraan hidup keluarganya. Setiap harinya, dua dari sepuluh balita di Indonesia meninggal dunia, dan 21,6% dari mereka yang berhasil selamat justru tumbuh dalam keadaan stunting.

Ini tak cukup berhenti di sana. Dalam beberapa tahun masa kehidupan setelahnya, kesenjangan pendidikan muncul mendera. Meski partisipasi dan penyelesaian pendidikan telah berhasil meningkat signifikan, kemiskinan dan disparitas geografis masih menjadi isu utama penyebab kesenjangan akses pendidikan menurut laporan The State of Children in Indonesia UNICEF.

Pendidikan merupakan kunci penting perbaikan kesejahteraan. Namun, data Susenas 2018 menunjukkan bahwa tingkat penyelesaian wajib belajar 12 tahun pada masyarakat berpenghasilan rendah hanya mencapai 55,3%, jauh di bawah 82,2% pada masyarakat di lapisan penghasilan tertinggi

Tak semua orang tentunya memiliki kesempatan yang setara untuk mengakses kebutuhan dasar. Kesulitan akibat keterbatasan sosioekonomi tersebut menciptakan siklus kemiskinan yang terus berlanjut, menjebak masyarakat terus berada dalam kemiskinan.

Indonesia memiliki Visi Emas menjadi perekonomian global dalam dua dekade mendatang. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil pembangunan sejati seharusnya dapat dirasakan oleh semua orang, tak peduli latar belakang sosioekonomi mereka.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk bersama-sama membangun sistem perlindungan yang menyejahterakan satu sama lain.

 

Berbagi Kesejahteraan

Setiap dari kita bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan individu dengan kebutuhan dan perasaan. Oleh karena itu, mengasihi dan melindungi sesama adalah panggilan hati kita sebagai manusia.

Pajak adalah salah satu cara nyata dengan kebaikan yang dapat dibagikan kepada semua. Dana perpajakan yang terkumpul bersama adalah fondasi yang memungkinkan pembangunan sistem perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan yang kuat.

Dalam APBN 2021, tiga sektor ini menjadi prioritas utama dengan alokasi dana perpajakan masing-masing 13,4%, 9,3%, dan 3,6%. Di tahun ini, penerimaan pajak sekali lagi juga akan menjadi tulang punggung pendapatan negara, berkontribusi sebesar 82,1%, meningkat dari 77,5% pada tahun lalu.

Dana perpajakan telah memungkinkan transformasi fasilitas kesehatan menjadi layanan publik, bukan sekadar komoditas pasar. Hingga Semester I-2023, program jaminan keehatan nasional telah merangkul 258,32 juta jiwa, mencakup 93% populasi nasional. Keberhasilan ini diraih berkat Rp178,7 triliun anggaran kesehatan yang teralokasikan dalam APBN 2023.

Perlindungan sosial juga mengemban peran penting dalam mempertahankan daya beli dan kesejahteraan kelompok masyarakat rentan. Tahun ini, dana perpajakan menjadi pilar utama dari anggaran sebesar Rp476 triliun yang akan melanjutkan Program Keluarga Harapan dan Program Sembako bagi 10 juta dan 18,8 juta keluarga, serta serangkaian program perlindungan sosial lainnya.

Selanjutnya, dalam rangka mendukung perbaikan kualitas sumber daya manusia, pajak yang kita bayarkan bersama akan mendukung anggaran pendidikan senilai Rp612,2 triliun, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Dalam setiap momen membayar pajak, ingatlah bahwa kontribusi ini adalah bentuk kebaikan yang mendukung pendidikan bagi 20,1 juta siswa peserta Program Indonesia Pintar dan puluhan juta anak lainnya.

Dengan demikian, bagaimana seharusnya kita mendefinisikan pajak? Pajak bukan hanya sekadar kontribusi bersama yang kita salurkan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih dari itu, pajak memiliki makna yang lebih mendalam.

Pajak yang kita bayarkan merupakan wujud kebaikan bersama dalam melindungi satu sama lain. Dengan demikian, masing-masing dari kita dapat merasakan kesejahteraan yang sama layaknya di kehidupan yang terus berjalan dalam perekonomian yang terus tumbuh.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.