Oleh: Mhd Ricky Karunia Lubis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tren persentase penduduk miskin di Indonesia terus menunjukkan penurunan dari 60 persen pada 1970 menjadi 11,4 persen pada 2013. Kemudian, pertama kali dalam sejarah, jumlah penduduk miskin di republik ini menyentuh satu digit menjadi 9,66 persen (25,64 juta jiwa) pada 2018. Berbagai program bantuan pemerintah untuk keluarga prasejahtera telah digagas dan dijalankan demi pengentasan kemiskinan. Selain bantuan sosial dan subsidi barang konsumsi, bantuan pembiayaan untuk masyarakat lapis bawah tak luput dari perhatian pemerintah, mulai dari pembiayaan ultra mikro (UMi) untuk fasilitas kredit di bawah Rp10 juta, program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) yang menyasar kaum perempuan prasejahtera, hingga subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan suku bunga rendah.    

Namun, ada segmen pasar yang menarik untuk digali lebih dalam, yaitu mass market. Mass market adalah kelompok masyarakat atau keluarga prasejahtera produktif yang potensinya masih sangat besar di Indonesia, yaitu lebih dari 40 juta jiwa (14,8 persen dari jumlah penduduk). Segmen ini, sama seperti yang disasar program UMi dan Mekaar, perlu mendapat perhatian khusus terutama karena ketidaklayakan kelompok ini atas pinjaman bank (unbankable). Untuk itu, perlu sinergi antara pemerintah, kreditur, dan elemen masyarakat demi keberhasilan program ini, yang tujuan mulianya tak lain adalah pengentasan kemiskinan: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Perluasan Basis Pajak 

Pajak dan psikologi massa (pembayar pajak) adalah bagian yang tak terpisahkan. Kemauan dan kesadaran masyarakat membayar pajak bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya, melainkan dimainkan oleh unsur psikologis. Kesadaran juga harus diikuti dengan rasa percaya (trust) masyarakat kepada pemerintah agar tercapai kesinambungan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Turut serta dalam proses pembinaan dan pemberdayaan mass market akan menunjukkan martabat (dignity) di mata masyarakat. Dignity inilah yang nantinya menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat kepada aparat pajak. Selain itu, upaya ini dengan sendirinya akan memberikan imbal hasil karena basis-basis pajak baru lahir dan tumbuh, persis seperti para filantropis dengan misi sosialnya di negara terbelakang, sembari membuka pasar baru.

Peningkatan kelas sosial ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga prasejahtera merupakan potensi perluasan basis pajak (ekstensifikasi). Ini terjadi karena seiring beranjaknya kelompok ini ke kelas yang lebih baik, kebutuhannya pun meningkat, seperti kebutuhan pinjaman berupa KUR dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dengan sistem yang ada saat ini, mereka otomatis akan disyaratkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP berisi kewajiban yang melekat dan berlaku seumur hidup. Sinyal ini mesti ditangkap sejak dini oleh otoritas pajak, benarkah pajak hanya menunggu saat potensi baru basis pajak tercipta dengan sendirinya? Atau justru turut berperan dalam proses pembinaan dan pemberdayaan sebelum potensi itu tercipta?

Terdapat ketidaksesuaian (mismatch) antara struktur ekonomi dan penerimaan pajak. BPS mencatat, sumbangsih sektor UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 65 persen di mana 96 persen tenaga kerja berasal dari sektor ini. UMKM, terutama mikro dan kecil, kerap dihadapkan pada masalah klasik, yaitu keterbatasan pembiayaan. Dari data OJK, sekitar 18 juta usaha kecil layak secara bisnis tetapi unbankable, disinyalir akibat: (1) tidak memiliki laporan keuangan dan tidak mampu membuat proposal pinjaman, (2) belum memperoleh izin usaha, dan (3) tidak memiliki agunan yang mencukupi.

Keterbatasan sumber pembiayaan yang selama ini masih bertumpu pada pinjaman bank dapat memperlambat ekspansi UMKM menuju usaha besar. Mengingat kontribusinya yang signifikan, perlambatan ini turut menghambat laju ekonomi nasional. Padahal, UMKM adalah penyangga ekonomi saat kinerja investasi dan ekspor terus melambat seperti saat ini. Dalam 5 tahun terakhir, kredit bank ke UMKM pun hanya tumbuh satu digit di kisaran 8 – 9 persen. Hingga akhir 2018, kredit bank ke UMKM mencapai Rp1.032 triliun atau hanya 19 persen dari total kredit perbankan. Jika UMKM saja kerap kesulitan mendapatkan pembiayaan dari perbankan, apalagi usaha ultra mikro pada kelompok mass market.

Struktur penerimaan pajak masih ditopang oleh Pajak Penghasilan (PPh) non migas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tercatat, sepanjang 2018, porsi penerimaan pajak terbesar disumbang oleh PPh Badan Usaha sebesar Rp254,1 triliun, sementara PPN Dalam Negeri sebesar Rp333,9 Triliun. Struktur penerimaan pajak masih bergantung pada sektor industri pengolahan yang berkontribusi sebesar 29 persen terhadap penerimaan pajak dan perdagangan besar dan eceran sebesar 20 persen. Lalu, di mana posisi UMKM? Pada 2018, realisasi PPh UMKM hanya Rp5,7 triliun atau tidak sampai 1 persen dari total penerimaan pajak. BPS mencatat, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 59 juta, tetapi pembayar pajak yang aktif hanya 1,8 juta. Kondisi ini mesti dilihat secara paralel. Di satu sisi, perlu upaya ekstensifikasi untuk menggali potensi pajak baru di sektor UMKM. Di sisi lain, kelompok mass market sedang didorong untuk naik kelas menjadi pelaku usaha mikro dan kecil. Jika tidak diantisipasi, upaya pemerintah dan swasta memberdayakan kelompok ini untuk naik kelas tidak tertangkap dengan baik oleh otoritas pajak.

Pajak tidak dapat hanya berpangku tangan, tetapi mesti berperan aktif dalam proses pembinaan dan pemberdayaan masyarakat prasejahtera menuju UMKM. Salah satunya adalah dengan program Business Development Service (BDS) yang menyasar para pelaku UMKM di seluruh Indonesia, bekerja sama dengan BUMN yang memiliki mitra binaan masing-masing. Namun, program ini secara bertahap perlu diperluas ke pasar akar rumput. Harapannya, program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan berjalan beriringan dengan misi perbankan menciptakan pasar baru dan upaya otoritas pajak menangkap potensi baru dan memperluas basis pajak.

Otoritas pajak tidak boleh hanya menunggu saat-saat masyarakat di kelompok ini menjadi wajib pajak. Otoritas pajak harus mengikatkan diri lebih erat ke masyarakat kelas bawah, bukan sekadar hubungan fiskus – wajib pajak. Fenomena saat ini, masyarakat mendaftarkan diri untuk ber-NPWP semata karena ingin memperoleh layanan publik dan fasilitas kredit, seperti perizinan usaha serta pengajuan KPR dan pinjaman bank. Setelah itu, mereka lupa akan kewajibannya, jumlahnya yang banyak pun tak mampu seluruhnya dijangkau oleh petugas pajak. Keseluruhan fenomena ini tak lain adalah karena rendahnya kesadaran masyarakat sejak awal. Dengan intens mengikatkan diri dalam proses pembinaan dan pemberdayaan masyarakat kelas bawah, rasa kesadaran dan kepercayaan akan tumbuh sejak dini.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.