Live Stream Shopping Kian Seksi, Negara Mendapat Apa?

Oleh: Aisya Husnul Khatimah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Semenjak pandemi Covid-19, belanja daring mulai menjadi kebiasaan baru masyarakat dan terus tumbuh hingga saat ini. Namun, calon pembeli kurang merasakan sensasi berbelanja secara daring karena bingung atau menerka-nerka apakah barang yang mereka beli sesuai dengan yang diharapkan. Untungnya, dunia digital tidak pernah kehilangan akal. Saat ini sedang marak proses jual beli dengan metode siaran langsung atau biasa disebut live stream shopping.
Dilansir dari katadata.co.id, Shopee mencatat produk terjual saat pesta diskon 9.9 melalui fitur live streaming meningkat 30 kali lipat dibandingkan hari biasa. Bahkan, Ruben Onsu melalui tokonya mencetak rekor baru, yakni meraih omzet hingga Rp16 miliar dalam semalam. Sungguh fantastis bukan? Lantas, negara dapat apa dari melejitnya fitur live stream shopping ini? Bagaimana negara bisa “kecipratan” untung dari kegiatan yang satu ini? Yuk kita simak artikel berikut.
Proses Bisnis Live Stream Shopping
Live stream shopping adalah aktivitas seorang penjual melakukan siaran belanja secara langsung melalu platform e-commerce. Pembeli, atau penonton siaran belanja, dapat melihat dan bertanya secara langsung mengenai produk yang diminatinya, sehingga memengaruhi keputusan konsumen saat berbelanja. Selain kelebihan tersebut, pembeli juga memperoleh keuntungan berupa diskon, cashback, dan promo gratis ongkir yang hanya diperoleh saat live streaming. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Populix pada bulan Mei 2023, 69% responden mengatakan Shopee Live merupakan fitur live streaming yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, jauh melampaui para pesaingnya, yakni TikTok Live (25%), Tokopedia Play (4%), dan LazLive (2%).
Dalam proses live stream shopping, pemilik toko bisa langsung ‘turun tangan’ untuk menjajakan produknya atau bisa juga menyewa pihak lain, sehingga muncu lah profesi baru bernama ‘Host Live Streamer’, profesi yang sedang digandrungi Gen Z. Bagaimana tidak, pendapatan yang diperoleh Host Streamer berada di angka Rp2 juta sampai Rp20 juta per bulan, tergantung dari keahlian dan popularitas host streamer. Seorang host streamer biasanya bertugas untuk menjelaskan detail tentang informasi produk yang mereka jual kepada para viewer yang sedang menyaksikan siarannya tersebut.
Aspek Perpajakan Live Streaming Shopping
Jika membahas aspek perpajakan dari proses jual beli barang, tentu kita tidak bisa terlepas dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mari kita bahas secara detail bagaimana pengenaan PPh dan PPN dalam proses bisnis live stream shopping.
Dalam proses penjualan barang melalui fitur live streaming, pemilik toko merupakan subjek pajak atas penghasilan yang diperoleh dari penjualan produk. Apabila omzet yang diterima dalam setahun belum mencapai Rp4,8 miliar, maka pemilik toko akan dikenakan PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022, dengan tarif sebesar 0,5% dari penghasilan kotor setiap bulan. Dengan catatan, penghasilan yang diperoleh telah melewati Rp500 juta (secara kumulatif) dalam tahun berjalan. Namun, apabila dalam tahun berjalan jumlah penghasilan yang diperoleh telah melebihi Rp4,8 miliar, maka tahun berikutnya menggunakan tarif umum pasal 17/31E Undang-Undang PPh.
Untuk pengenaan PPN, apabila omzet yang dimiliki telah mencapai Rp4,8 miliar, pemilik toko wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jika sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka pemilik toko wajib memungut PPN sebesar 11% dari penjualan barang yang termasuk barang kena pajak dengan menerbitkan faktur pajak. Pemilik toko dapat menerbitkan faktur pajak pedagang eceran. Pajak yang telah dipungut wajib disetorkan ke kas negara dalam hal pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan yang dapat dikreditkannya.
Dalam proses bisnis live stream shopping, apabila pemilik toko menggunakan jasa host live streaming, maka wajib memotong PPh atas fee jasa host live streaming. Jenis PPh yang dipotong akan berbeda tergantung subjek pajak yang menerima fee tersebut.
- Pemilik toko bekerja sama dengan Agensi Host Streamer.
Apabila Pemilik toko menggunakan jasa host streamer melalui agensi, maka pemilik toko wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% atas nilai jasa host streamer. Selanjutnya, agensi wajib memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang diterima host streamer yang dinaunginya. Apabila host streamer merupakan pegawai tetap pada agensi tersebut, maka besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong adalah gaji dikurangkan dengan PTKP kemudian dikalikan tarif Pasal 17. Namun, apabila host streamer merupakan freelancer atau bukan pegawai pada agensi tersebut dan memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, maka besaran PPh Pasal 21 yang dipotong adalah 50% dari fee yang diterima freelancer kemudian dikalikan Tarif Pasal 17.
- Pemilik toko bekerja sama dengan Host Streamer mandiri.
Apabila pemilik toko menggunakan jasa host streamer langsung dari influencer atau host streamer yang bekerja secara mandiri (tidak melaui agensi) dan memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, maka pemilik toko wajib memotong PPh Pasal 21 sebesar 50% dari fee dikalikan dengan Tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Apabila host streamer merupakan pegawai tetap pada sebuah agensi, biasanya mereka dibayar dengan sistem gaji bulanan dan akan mendapatkan bonus jika bisa memenuhi target penjualan. Menurut beberapa sumber, besaran gaji host streamer berkisar antara Rp4,5 juta–Rp6 juta, tergantung dari agensi dan jenama produk yang memberikan penawaran. Sedangkan untuk host streamer mandiri dan freelancer yang bekerja dibawah agensi, mereka dibayar dengan sistem fee yang berkisar antara Rp20 ribu sampai Rp250 ribu per jam, tergantung popularitas dan kemampuannya saat menjadi host streamer.
Hambatan Pemungutan Pajak
Salah satu hambatan terbesar dari pemungutan pajak atas penjualan dari siaran langsung adalah menentukan subjek pajaknya. Kebanyakan penjual tidak menggunakan nama asli pada akun e-commerce-nya. DJP juga belum memiliki alat/software untuk mengidentifikasi seseorang dengan metode pengenalan wajah untuk kemudian disandingkan dengan data kependudukan.
Ditambah lagi, untuk penghasilan yang diterima oleh host streamer, DJP belum mengatur KLU khusus mengenai profesi yang terbilang baru ini. Dikhawatirkan, akan terjadi perbedaan perlakuan perpajakan antara petugas pajak yang satu dan petugas pajak yang lain. Sebagai contoh, dimungkinkan ada petugas pajak yang menggolongkannya ke dalam pekerjaan bebas KLU pekerja seni dengan NPPN sebesar 50%, ada juga petugas pajak yang menggolongkannya ke dalam pelaku UMKM (PP 55 Tahun 2022), sehingga pajak yang terutang dalam setahun pun menjadi berbeda.
Selain itu, DJP belum memiliki tolok ukur atau benchmark profesi host streamer. Dengan belum adanya benchmark ini, DJP masih sulit untuk menentukan penghasilan wajar dari seorang Host Streamer. DJP hanya bisa melakukan tindakan persuasif kepada para Host Streamer untuk melaporkan pajaknya dengan benar, lengkap, dan jelas.
Namun, masih banyak wajib pajak yang belum memiliki kesadaran untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Padahal, sistem pajak penghasilan di indonesia menganut sistem self-assessment, wajib pajak melaporkan sendiri penghasilan yang diperolehnya melalui SPT Tahunan. Sehingga, karena rendahnya kesadaran pajak, maka masih sedikit pula penghasilan wajib pajak yang dilaporkan.
Solusi
Dengan akan diterapkannya NIK menjadi NPWP, diharapkan DJP bisa mengoptimalkan informasi tersebut. Para penjual di berbagai platform e-commerce harus terlebih dahulu melakukan verifikasi menggunakan KTP. Jika DJP bisa mendapatkan data tersebut, misal dengan cara bekerja sama dengan berbagai platform, maka identitas dan penghasilan para penjual dapat diketahui.
Lebih lanjut, DJP perlu melakukan kajian terhadap profesi yang tergolong baru ini (Host Streamer), sehingga muncul aturan yang jelas mengenai perpajakannya. Dengan adanya aturan yang jelas, diharapkan tidak ada perbedaan perlakuan dari petugas pajak. Jika ada perbedaan perlakuan, maka asas kepastian hukum dalam pajak tidak dilaksanakan.
Yang terakhir, perlu terus dilakukan edukasi perpajakan yang berkelanjutan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Petugas pajak harus bisa lebih persuasif kepada sasaran edukasinya. Edukasi pajak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran pajak. “Kesadaran pajak” lebih menekankan pada motivasi intrinsik dari wajib pajak, motivasi intrinsik merupakan faktor penting dalam mendukung kepatuhan pajak (Andreoni, et al., 1998).
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 412 kali dilihat