Oleh: Denny Hidayat, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Memasuki bulan Zulhijah ingatan kita langsung terbawa kepada kisah yang sarat makna ketauhidan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta bundanya, Hajar. Dengan ketaatan dan keyakinan yang tinggi akan perintah Allah, Nabi Ibrahim bersungguh sungguh menjalankan perintah penyembelihan anaknya sendiri yang didapatnya lewat mimpi. Perintah ini juga sangat diyakini kebenarannya oleh putranya Nabi Ismail serta istrinya Hajar yang dengan ikhlas menjalankan perintah Allah tanpa banyak bertanya kenapa mereka harus menjalankan perintah tersebut, meski pada akhirnya dengan KuasaNya, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar (Q.S. Assaffat: 107).

Perintah berkurban ini juga terus dilaksanakan oleh anak keturunan Ibrahim hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW. Bahkan ibadah kurban ini perintahnya ditegaskan lagi dalam Al-Qur’an di surat Al Kautsar, ‘Maka laksanakanlah salat karena Tuhan-Mu, dan berkurbanlah’ (Al-Kautsar 2). Ibadah ini menjadi wajib bagi umat Islam yang sedang melaksanakan Ibadah Haji dan sangat diperintahkan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan secara ekonomi sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah bersabda: ‘Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Jika ibadah kurban sangatlah diperintahkan, pastinya ada makna yang luar biasa dari ibadah ini, setidaknya ada 3 makna yang bisa diambil:

1.    Kurban sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan menjalankan perintah yang diberikan dengan ketaatan adalah bentuk penyerahan diri dan tanda ketakwaan kita sebagai hamba.

2.    Berkurban mengajarkan tentang keikhlasan dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.

3.    Dengan berkurban maka kita berbagi dengan orang lain yang kurang mampu.

Dari ketiga makna kurban yang bisa kita ambil tersebut di poin pertama adalah untuk meningkatkan kesalehan individual kita, sementara untuk yang poin kedua dan ketiga adalah dalam rangka meningkatkan kesalehan sosial kita. Kata saleh sendiri seringkali diulang ulang dalam Al Qur’an dan semuanya menunjukkan pada satu predikat yaitu indikator keimanan seseorang. Jadi antara Iman dan amal saleh memang tidak bisa dipisahkan, satu sama lain saling menyempurnakan. Indikator keimanan seseorang tentunya juga harus merujuk kepada ketentuan Allah SWT. Apa yang dinilai baik oleh Allah pasti baik esensinya bagi manusia, demikian juga sebaliknya keburukan di mata Allah pasti buruk pula esensinya.

Kesalehan individual kadang disebut dengan kesalehan ritual, karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual seperti sholat, puasa, haji, berdzikir dan lain sebagainya. Berbuat baik (amal saleh) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan kesalehan individual saja, padahal Islam manganjurkan umatnya untuk mewujudkan kesalehan sosial dalam melaksanakan ibadahnya agar dampak dari ibadah yang dilakukan dapat dirasakan oleh lingkungan di sekitarnya.

Kesalehan individual dan kesalehan sosial adalah dua hal yang harus dapat berjalan seiring dan tidak terpisahkan agar dapat terwujud Islam yang rahmatan lil’alamiin. Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata, tetapi juga menjadi rahmat bagi seluruh makhluk dan semesta alam.

Banyak amal saleh yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan kesalehan sosial kita selain kurban antara lain seperti sedekah, kerja bakti membersihkan lingkungan, membantu korban bencana alam, berempati terhadap orang lain dan sebagainya serta yang tak kalah penting adalah dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara dengan membayar pajak.

Pajak yang merupakan iuran wajib bagi warga negara yang sudah mampu (dalam hal ini sudah memenuhi persyaratan objektif maupun subjektif) adalah salah satu sarana untuk mengejawantahkan kesalehan sosial umat Islam. Dengan membayar pajak artinya umat Islam sudah berkorban dengan hartanya untuk bisa ikut dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia. Dengan membayar pajak kita bisa membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak antara lain digunakan untuk membangun sarana dan prasarana publik seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan juga berbagai infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang bertujuan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Dengan semakin banyaknya pajak yang dibayarkan oleh masyarakat yang mampu kepada negara, maka akan dapat membantu masyarakat yang kurang mampu dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka.

Pada akhirnya kita berharap Indonesia adalah negeri yang dipenuhi para generasi penerus Ibrahim dan Ismail dengan sebuah kesadaran bahwa kesalehan individual itu tidaklah cukup. Kesalehan sosial itu harus membumi, tidak berjarak, tidak sebatas teori, melainkan mewujud menjadi karakter terbaik rakyat Indonesia.

Pajak menjadi salah satu jalan. Jalan untuk berbagi. Berbagi dengan lebih merata lagi. Dari Sabang sampai Merauke. Indonesia menunggu Ibrahim yang sabar dan Ismail yang taat.

Kita.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja