Oleh: Joko Susanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Apa korelasi instansi pajak dengan literasi? Bukankah semata-mata bertugas mengamankan pundi-pundi negeri agar tetap berisi? Benar. Namun, sebelum berprasangka, perlu kita ingat kembali bahwa peristiwa sehari-hari secara umum saling berkorelasi. Mereka memiliki saling keterkaitan, tidak berdiri sendiri, dan bersifat kausalitas.

Dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada (2005), Zainal Arifin Thoha berbagi kisah seorang tokoh hebat yang dikenal dengan sebutan Avicenna atau Ibnu Sina. Dia ahli beberapa bidang ilmu seperti ilmu alam, kesehatan, filsafat, ilmu ukur, dan musik. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina mendapatkan gelar dokter karena keahliannya di bidang obat-obatan. Berkat keahliannya itu Ibnu Sina kerap diundang untuk mengobati para raja dan para gubernur. Uniknya dia tidak mau diberi upah atau bayaran sedikit pun.  Ibnu Sina hanya memberikan sebuah syarat unik yaitu agar dia diperbolehkan untuk membaca buku sebanyak mungkin di perpustakaan-perpustakaan pribadi milik mereka. Itu saja. Pada perkembangannya, Ibnu Sina tidak hanya gemar membaca tetapi senang menulis dan menghasilkan karya tidak kurang dari 99 judul yang banyak dimanfaatkan umat manusia tanpa membedakan bangsa maupun agama.

Melalui karya berjudul Inspiring Reading Story (2019), penulis pernah menukil perjuangan dramatis seorang ibu penjual sprei bernama Maria Erry Susianti. Matanya berkaca-kaca setiap pulang dari pasar melihat anak-anaknya berebut koran pembungkus bumbu dapur untuk dibaca. Dia bersedih ketika anaknya diusir dari tempat persewaan buku karena tidak dapat membayar sewa. Hatinya pilu saat mereka pergi ke toko buku tanpa mampu membelikannya meskipun satu. Sambil berjalan terseok-seok berkilo-kilo meter menjajakan dagangannya, dia mencoba meminjam majalah atau buku para tetangga. Sebagai balasannya, dia berjanji akan merawat dan menyampulinya dengan rapi. Tak diduga, setiap hari, Maria bisa membawa pulang lima hingga sepuluh buku cerita yang disambut anak-anaknya dengan melompat penuh ceria. Anak-anak yang pernah berebutan buku itu kini telah menjadi sosok penulis produktif Indonesia. Mereka adalah Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia!

Jejak Literasi untuk Edukasi

Dari sudut etimologi, literasi berasal dari bahasa latin 'literatus' yang mengandung arti orang yang belajar. Menurut pendapat Harvey J. Graff (2006), literasi adalah suatu kemampuan pada diri seseorang untuk menulis dan membaca. Meskipun, pada perkembangannya, sebagian ahli mengatakan bahwa literasi mempunyai arti yang lebih luas dari sekadar baca tulis. Pesannya, untuk mewujudkan impian mulia itu, berbagai pihak perlu bergandeng tangan bersama. Setidaknya agar kesulitan bacaan seperti kisah di atas tidak berulang.

Secara sekilas, sebagian pojok bacaan atau perpustakaan umum di masyarakat kita selain sering mengeluhkan jumlah koleksi bacaan, hal tidak kalah memprihatinkan yaitu kekurangan jumlah pembaca. Persebaran jumlah pembaca masih belum merata dan jumlahnya perlu terus dikerek. Sebagai bagian dari literasi, budaya membaca masih ketinggalan dibandingkan budaya menonton. Data penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia menghabiskan waktu hingga 35 jam per minggu untuk menonton televisi atau setara 5 jam per hari. Tetapi, untuk kebiasaan membaca belumlah sedemikian tinggi.

Untuk mensukseskan realisasi target penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun masif melakukan sosialisasi dan edukasi berbagai lini. Melalui proporsi penerimaan APBN yang demikian signifikan, pajak telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam mensukseskan kampanye literasi. Belanja mobil perpustakaan, buku-buku bacaan, maupun sarana penunjang lainnya cermin pentingnya kontribusi penerimaan perpajakan yang dikelola oleh kementerian terkait. Bahkan secara langsung pun cukup banyak bentuk aksi DJP menyemarakkan gaung literasi.

Sekadar contoh, ada beberapa langkah menarik yang telah dilakukan terkait literasi.

Pertama, penyediaan sarana prasarana baca. Misalnya, taman bacaan atau pojok baca di tempat strategis. Awalnya, ide itu boleh jadi hanya menjadi bagian penilaian lomba pelayanan antar kantor beberapa tahun lalu. Selanjutnya, justru menjadi tradisi yang baik meskipun lomba belum tentu digelar. Di beberapa kota yang cukup jauh dari ibukota propinsi pun seperti Pamekasan dan Bojonegoro, kantor pelayanan pajaknya telah menyediakan pojok bacaan cukup representatif. Pojok bacaan itu ditempatkan khusus di area strategis tempat pelayanan terpadu, zona yang sering dikunjungi masyarakat wajib pajak. Umumnya disediakan beberapa eksemplar surat kabar, majalah, dan koleksi buku berbagai tema. Di kota-kota besar tentu fasilitasnya lebih memadai.

Kedua, mengadakan lomba menulis dan lokakarya kepenulisan (jurnalistik). Untuk memeriahkan partisipasi publik dalam menuangkan gagasan, dalam rangka hari pajak,  DJP telah mengadakan lomba penulisan artikel dan poster untuk umum (non pegawai pajak) berhadiah puluhan juta rupiah. Antusiasme peserta sangat membanggakan. Pada dimensi yang berbeda, untuk mengobarkan spirit menulis, medio Juli 2020, seorang Kepala Seksi di Direktorat P2Humas yang memiliki keahlian menulis telah membagikan ilmunya kepada para mahasiswa di Propinsi Banten dalam sebuah lokakarya kepenulisan.

Ketiga, menerbitkan buku dari penulis internal. Tidak hanya bersifat eksternal, secara internal pun DJP telah beberapa kali mewujudkan aksi literasi khususnya penerbitan buku. Sejak beberapa tahun terakhir, institusi pengumpul penerimaan negara ini membukukan kisah sukses para pegawainya untuk berbagi kisah dan harapan  pada berbagai level. Pernah diterbitkan pula buku success story para penyuluh pajak, para juru sita, account representatif, pemeriksa, dan sebagainya. Output-nya ada yang hanya untuk konsumsi internal dan ada pula yang diperbolehkan untuk eksternal. Misalnya buku Berkah (Berbagi Kisah dan Harapan) yang kabarnya sebagian diberikan kepada KPK, media massa, dan beberapa institusi yang lain. Tulisan dari para pegawai pajak pun sering menghiasi kolom opini berbagai surat kabar di Indonesia.

Keempat, mengadakan gelaran bedah buku. Selain menerbitkan buku beraneka tema, beberapa waktu lalu pun digelar even bedah buku meskipun secara daring karena masih kondisi pandemi. Bedah buku tentu melatih SDM pajak untuk lebih dekat dengan buku dan literasi pada umumnya. Sebagai jendela dunia, sewajarnya bila diupayakan agar tidak jemu untuk membuka buku.

Kelima, program pajak masuk sekolah. Acara pajak bertutur (patur), atau road show pajak ke berbagai sekolah telah sering dilaksanakan oleh kantor pajak se-Indonesia. Dengan menjelaskan peranan pajak kepada pelajar dan dukungan acara yang menarik di kelas-kelas bersama para petugas jelas menjadi indikasi kuatnya keinginan DJP untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan.

Selanjutnya, institusi pejuang penerimaan negara ini kiranya dapat terus berkontribusi berkampanye literasi dengan berbagai acara dan melibatkan generasi millenial yang memiliki ide segar serta kreativitas yang luar biasa. Mulai pengumpulan buku untuk didonasikan, optimalisasi medsos pendukung literasi, ataupun berbagai lomba edukatif yang menarik.

Aksi DJP ‘berbau’ kampanye literasi baik di tingkat pusat maupun daerah, setidaknya menjadi pertanda nyata bahwa mewujudkan generasi cerdas berkarakter adalah tugas kita bersama. Literasi bukan hanya tugas pegawai perpustakaan, namun menanti kepedulian siapa saja yang rindu akan bangkitnya kemajuan. Bersinergi, bergotong royong, dan peduli literasi ala DJP bagaikan peribahasa 'sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.' Sosialisasi perpajakan tersampaikan, kampanye literasi tersemarakkan, latihan berpikir terstruktur pun jalan. Semoga terus berkelanjutan. Salam literasi!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja