Oleh: Muhammad Yusuf Thohir, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Luker Feller, salah seorang kreator konten platform Tik Tok akhir-akhir ini tengah menjadi perbincangan hangat. Pembahasan memanas pada aplikasi tersebut tidak lain dan tidak bukan karena pengakuannya yang menghebohkan jagad maya. Hal ini memberikan spekulasi bahwa ia berhasil menjadi manajer di usia yang masih belia, membuat banyak tokoh profesional ikut membahasnya.

Pasalnya tidak hanya menjadi manajer di usia muda, sosok Luker Feller ini juga membeberkan bahwa gaji yang didapatkan bahkan mencapai Rp50 juta per bulannya. Tentu dengan spekulasi yang ia lontarkan menimbulkan banyak tudingan negatif. Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan banyak pihak, termasuk pada bidang perpajakan internasional terutama mengenai tax treaty atau Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda (P3B). Lalu bagaimanakah keberanannya? Dan bagaimanakah aspek pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dengan merujuk pada aturan P3B?

Tujuan P3B

P3B atau tax treaty adalah kesepakatan di antara dua negara untuk melakukan modifikasi peraturan perundang-undangan perpajakan bagi masing-masing negara. Modifikasi yang dilakukan biasanya berdasar pada ketentuan pajak atas penghasilan saja. P3B sendiri memiliki dua tujuan utama dalam pelaksanaannya, yaitu:

  • Memberikan fasilitas perdagangan internasional dan arus invetasi antar negara melalui penghindaraan pengenaan pajak berganda dan memberikan pengurangan tarif perpajakan di negara sumber atas beberapa bentuk penghasilan tertentu.
  • Menjadi alat bagi kedua Contracting States agar dapat menerapkan aturan-aturan domestik masing-masing negara. Sehingga praktik pengelakan pajak dapat diminimalisir sebaik mungkin.

Latar Belakang P3B

P3B dimulai karena munculnya benturan yuridiksi perpajakan dari berbagai negara. Terutama untuk beberapa negara yang memiliki modal atau capital exporting countries dan negara yang membutuhkan modal atau capital importing countries. Negara-negara tersebut memiliki hubungan ekonomi yang tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek perpajakan. Dengan adanya benturan tersebut, maka pajak tidak diberlakukan sama sekali di kedua negara yang disebut dengan tax evasion alias pengelakan pajak. Atau, sebaliknya, kedua negara yang bersangkutan malah bisa saja mendapatkan keseluruhan pajak yang berlaku atau pajak berganda alias double taxation.

Salah satu negara yang berperan dalam perkembangan P3B adalah Jerman. Pada abad ke-19, Jerman menjadi pelopor dari isu eliminasi pajak berganda. Hal ini seiring dengan adanya freedom of movement pada beberapa negara bagian Jerman. Upaya yang mereka lakukan terlihat pada P3B Saxony dan Prusia pada tahun 1869/1870. Hingga memasuki paruh kedua abad ke-19, lonjakan perdagangan internasional pun terjadi yang mengakibatkan masalah dalam pajak berganda meningkat. P3B dalam konteks internasional pun akhirnya muncul di pertengahan abad ke-19, yang dikenal sebagai P3B internasional pertama. Yang awalnya hanya berada di Jerman dengan Saxony dan Prusia, kemudian menyebar ke berbagai negara. Seperti P3B Austria/Hungaria di tahun 1899, P3B Bavaria di tahun 1903, P3B Prusia dan Luksemburg tahun 1909, P3B Prusia dan Basle City tahun 1911, P3B Hessen dan Austria/Hungaria di tahun 1912, dan terakhir P3B Jerman dan Yunani di tahun 1912.

Baca juga:
Optimalisasi Pajak Pascaamandemen Anti-Tax Treaty Abuse Rules

Menyelisik Tax Treaty dengan Singapura
Pemanfaatan Tarif Tax Treaty bagi Perusahaan Jasa Reservasi On-Line Asing
 

Setelah perang dunia kedua berakhir, karena Eropa yang mengalami kehancuran parah, Amerika Serikat kemudian membentuk program bernama The Marshall Plan yang membantu pemulihan negara-negara di Eropa. Program tersebut kemudian membentuk organisasi baru bernama Organisation for European Economic Co-operation (OEEC). Belakangan OEEC ini berubah menjadi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Di tahun 1954, OEEC membentuk sebuah komite bernama Fiscal Committee yang akhirnya melakukan harmonisasi terhadap P3B. Pada tahun 1958, 1959 dan 1960, Fiscal Committee menerbitkan laporan terkait perancangan pasal-pasal dalam pembentukan P3B. Pada tahun 1963, OECD merilis draft pertama mengenai P3B yang dikenal dengan Draft Double Taxation Convention on Income and on Capital. Dalam draft ini terdapat tujuh bagian dengan 30 pasal yang dilengkapi dengan commentary.

Sayangnya dalam draft 1963 yang dikenal juga dengan OECD Model itu, hanya memberikan prioritas hak pemajakan paling banyak kepada negara domisili atau negara-negara maju. Hal ini tentu merugikan negara-negara berkembang yang menjadi sasaran mereka dalam investasi modal. Menanggapi adanya kerugian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB atau the United Nation/UN) akhirnya membentuk Kelompok Ad Hoc di tahun 1967 yang disebut dengan Ad Hoc of Experts on Tax Treaties between Developed and Developing Countries. Menindaklanjuti terbentuknya Ad Hoc, di tahun 1980 PBB menerbitkan model P3B untuk negara maju dan negara berkembang untuk pertama kalinya yang dikenal dengan UN Model.

Di luar dari kedua model P3B tersebut, terdapat juga beberapa model P3B lainnya yang didasarkan dari pengelompokan seperti:

  • Kepentingan lintas negara
    Berdasarkan kepentingan ini terdapat beberapa model P3B yang akhirnya muncul seperti US Model pada tahun 1996 dan diperbarui terakhir kali pada 15 November 2006, Malaysia Model di tahun 2000, Meksiko Model pada tahun 2000 dan Peru Model di tahun 2001.
  • Kawasan negara tertentu atau Multiteral Treaty
    Model untuk pengelompokkan ini didasarkan pada Kawasan negara tertentu. Sebagai contoh adalah Intra-ASEAN Model Double Tax Convention on Income atau dikenal dengan ASEAN Model di tahun 1987. Model P3B ini ditandatangani oleh sejumlah negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Filipina.

Pengenaan Pajak

Terhadap penghasilan Luker Feller yang diperoleh dari bekerja remote di Amerika Serikat, maka aspek perpajakannya bagi kedua negara baik Amerika Serikat dan Indonesia, masing-masing berhak atas penghasilan Luker Feller. Indonesia akan mengenakan pajak penghasilan Luker Feller dengan tarif progresif sesuai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) karena memenuhi syarat subjektif --yaitu bertempat tinggal di indonesia-- dan memenuhi syarat objektif --yaitu memiliki penghasilan yang terutang pajak. Sementara Amerika Serikat sebagai negara sumber penghasilan akan menerapkan pemotongan pajak dengan tarif 30%.

Mengacu pada situasi tersebut di mana Indonesia dan Amerika Serikat saling mengenakan pajak pada obyek yang sama maka pengenaan pajaknya akan merujuk pada aturan P3B Indonesia-Amerika Serikat. Dalam hal ini, Amerika Serikat sebagai negara sumber berhak mengenakan pajak terlebih dahulu. Kemudian Indonesia akan mengenakan pajak dengan  kebijakan kredit pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU PPh jo. UU HPP.  Ketentuan di dalam pasal tersebut memberikan hak bagi wajib pajak untuk meng-kreditkan pajak penghasilan yang telah dipotong di luar negeri untuk mengurangi beban pajak yang dibayarkan di Indonesia.

Besaran PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan telah diatur di dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri. Ketentuan tersebut mengatur bahwa jumlah kredit pajak luar negeri yang dapat dibebankan merupakan jumlah yang paling sedikit di antara tiga hal berikut:

  • Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku efektif;
  • Jumlah PPh Luar Negeri; dan
  • Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang tersebut.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.