Oleh: Johana Lanjar Wibowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Praktik penyalahgunaan penentuan kewajaran harga transaksi kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (transfer pricing) semakin banyak terjadi. Hal ini terjadi tidak hanya berkaitan kriteria hubungan istimewanya, tetapi juga model dan skema transaksinya. Tujuannya untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab tidak optimalnya penerimaan pajak. Lalu, apakah Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki strategi dalam menangkal praktik ini?

Kriteria hubungan istimewa disebabkan karena hubungan kepemilikan/penyertaan modal, manajemen, atau keluarga. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyebutkan, hubungan istimewa dianggap ada apabila: (a)  wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah  25%  pada wajib pajak lain, hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih, atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir; (b) wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya  atau  dua  atau  lebih  wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; (c) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hingga saat ini, Indonesia telah mengatur mekanime untuk mencegah praktik ini berupa Special Anti Avoidance Rules (SAAR). SAAR sendiri merupakan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat khusus. UU PPh sendiri telah mengaturnya.

Pertama, penundaan pembayaran dividen atau controlled foreign corporation (CFC). Sebagaimana Pasal 18 ayat (2) UU PPh, Menteri  Keuangan  berwenang  menetapkan  saat  diperolehnya  dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan  usaha  yang  menjual sahamnya  di  bursa  efek,  dengan  ketentuan: (a) besarnya  penyertaan  modal  wajib  pajak  dalam  negeri  tersebut  paling  rendah 50% dari jumlah saham yang disetor; atau (b) secara  bersama-sama  dengan  wajib pajak  dalam  negeri  lainnya  memiliki  penyertaan  modal  paling  rendah  50%  dari  jumlah  saham yang disetor.

Kedua, pembatasan pembebanan bunga atau thin capitalization. Direktur  Jenderal  Pajak  berwenang  untuk  menentukan  kembali  besarnya penghasilan  dan  pengurangan  serta  menentukan  utang  sebagai  modal  untuk menghitung  besarnya  Penghasilan  Kena  Pajak  bagi  wajib  pajak  yang  mempunyai hubungan  istimewa  dengan  wajib  pajak  lainnya  sesuai  dengan  kewajaran  dan kelaziman  usaha  yang  tidak  dipengaruhi  oleh  hubungan  istimewa  dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak  yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Ketiga, pelaksanaan mutual aggreement procedure (MAP) atau advance pricing aggreement (APA). Direktur  Jenderal  Pajak berwenang  melakukan  perjanjian dengan  wajib  pajak  dan bekerja  sama  dengan  pihak  otoritas  pajak  negara  lain  untuk  menentukan harga transaksi  antar  pihak-pihak  yang  mempunyai  hubungan  istimewa,  yang  berlaku  selama  suatu  periode  tertentu  dan mengawasi  pelaksanaannya  serta  melakukan  renegosiasi  setelah  periode  tertentu tersebut berakhir.

Keempat, penggunaan special purpose company di tax haven country. Pasal 18 ayat (3b) dan (3c) UU PPh, mengatur atas hal tersebut. Wajib pajak  yang  membeli saham  atau  aktiva  perusahaan  melalui pihak  lain  atau  badan  yang  dibentuk  untuk  maksud  demikian  (special  purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang  wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan  pihak  lain  atau  badan  tersebut  dan  terdapat ketidakwajaran  penetapan harga.

Selanjutnya, penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose  company)  yang  didirikan  atau  bertempat  kedudukan  di  negara  yang memberikan  perlindungan  pajak  (tax  haven  country)  yang  mempunyai  hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham  badan  yang  didirikan  atau  bertempat  kedudukan  di  Indonesia  atau  bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kelima, penentuan kembali penghasilan WP OP yang memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan di luar negeri. Pasal 18 ayat (3d) UU PPh menguraikan, besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan  dan  tidak  bertempat  kedudukan  di  Indonesia  dapat  ditentukan  kembali, dalam  hal  pemberi  kerja  mengalihkan  seluruh  atau  sebagian  penghasilan wajib pajak orang  pribadi  dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang  dibayarkan  kepada  perusahaan  yang  tidak  didirikan  dan  tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

Akan tetapi, kriteria, model, dan transaksi penghindaran pajak yang semakin berkembang, membuat penyalahgunaan tranfer pricing sulit terdeteksi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah guna mengantisipasi hal ini.

Pertama, diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria hubungan istimewa yang selama ini ada di UU PPh. Kedua, diberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat penetapan atas transaksi yang bertujuan mengurangi, menghindari, dan/atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan perpajakan.

Kewenangan ini sebagai adopsi dari General Anti Avoidance Rules (GAAR). Dari berbagai literatur, GAAR sendiri merupakan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat umum yang tidak dibatasi kepada subjek atau objek tertentu. GAAR akan menyasar pada skema yang melibatkan suatu transaksi yang biasanya tidak akan dilakukan, selain hanya untuk alasan manfaat pajak bagi wajib pajak.

Seperti yang diungkapkan Darussalam dan Kristiaji (2017), GAAR berdiri di atas asumsi bahwa penghindaran pajak dilakukan pada transaksi atau suatu skema yang tidak memiliki substansi bisnis. Untuk itu, GAAR memberikan kewenangan pada otoritas pajak untuk membatalkan atau mengoreksi suatu transaksi untuk tujuan pajak jika transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomi atau semata-mata dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan pajak

Dengan begitu, pemerintah dapat mengambil tindakan atau menentukan SAAR yang lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi transaksi penghindaran pajak. Ujungnya, Direktorat Jenderal Pajak dapat lebih fleksibel dan adaptif untuk menangkal model penghindaran pajak yang semakin canggih. Selain itu, bagi wajib pajak, hal ini lebih mendorong keyakinan, kepastian hukum, dan keadilan.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.