Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

John Rawls, seorang filsuf terkemuka dalam teori keadilan substantif, menyumbangkan pemikiran revolusioner mengenai prinsip-prinsip keadilan yang membentuk dasar masyarakat yang adil. Salah satu kontribusinya yang paling signifikan adalah pemecahan prinsip keadilan menjadi dua bagian utama: Kebebasan Setara dan Prinsip Perbedaan. Dua prinsip ini membentuk landasan konseptual bagi distribusi keadilan dalam masyarakat. Di Indonesia, implementasi keadilan sosial dapat ditemui dalam konteks sistem pajak, terutama Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Fondasi Keadilan Pajak

Prinsip pertama, Kebebasan Setara, menegaskan hak setara terhadap kebebasan dasar bagi setiap individu. Dalam konteks pajak, hal ini dapat dilihat melalui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP adalah batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak, memberikan kebebasan finansial setara bagi semua wajib pajak. Jika penghasilan seseorang tidak melebihi ambang batas PTKP, maka individu tersebut tidak akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh), menciptakan kebebasan finansial yang sama untuk semua. Prinsip ini sejalan dengan tujuan meringankan beban pajak masyarakat menengah ke bawah, yang memiliki penghasilan di bawah ambang batas PTKP. Dalam konteks Rawlsian, ini dapat diartikan sebagai upaya memberikan keuntungan ekonomi kepada mereka yang kurang beruntung. PTKP, dalam esensinya, menciptakan landasan yang setara bagi semua wajib pajak untuk menikmati kebebasan finansial tanpa beban pajak yang berlebihan.

Ketidaksetaraan yang Menguntungkan

Prinsip kedua, Prinsip Perbedaan, terkait erat dengan aspek sosial ekonomi. Dalam prinsip ini, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi didesain untuk memberikan keuntungan terbesar kepada mereka yang kurang beruntung. Dalam konteks PTKP, ini tercermin dalam penentuan besaran PTKP yang dapat bervariasi sesuai dengan kondisi keluarga.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, besaran PTKP bagi wajib pajak orang pribadi adalah sebesar Rp54.000.000. Ada tambahan sebesar Rp4.500.000 untuk wajib pajak yang kawin, juga tambahan untuk istri yang penghasilannya digabungkan dengan suami, yakni Rp54.000.000. Terdapat pula tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, dengan jumlah maksimal tiga orang untuk setiap keluarga, dengan besaran tambahan Rp4.500.000.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Rawls bahwa ketidaksetaraan seharusnya memberikan keuntungan kepada semua pihak. Dalam konteks PTKP, keluarga yang memiliki tanggungan lebih banyak mendapatkan tambahan, menciptakan distribusi keuntungan ekonomi yang sesuai dengan prinsip keadilan sosial.

Implementasi PTKP

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menentukan siapa saja yang dapat menjadi tanggungan PTKP. Ini mencakup anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Tanggungan PTKP diberikan paling banyak untuk tiga orang, dengan penentuan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.

Pasal 8 UU PPh mengatur beberapa aspek yang berkaitan dengan wanita kawin. Meskipun UU PPh jo. UU HPP memandang suami dan istri sebagai satu kesatuan ekonomis, PTKP bagi wanita kawin pada prinsipnya hanya berlaku untuk dirinya sendiri (TK/0). Namun, ada pengecualian jika wanita tersebut dapat membuktikan bahwa suaminya tidak memiliki penghasilan. Dalam situasi ini, besaran PTKP-nya dapat melibatkan PTKP untuk dirinya sendiri, PTKP untuk status kawin, dan PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan/atau keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Implementasi Keadilan Rawlsian

Dalam perspektif John Rawls, PTKP dapat dianggap sebagai instrumen kebijakan yang mendukung prinsip-prinsip keadilan yang ia usulkan. Sebagai masyarakat yang menghargai kebebasan setara dan memberikan perhatian pada keuntungan bagi yang kurang beruntung, sistem PTKP di Indonesia memberikan wujud nyata pada visi keadilan sosial yang diusung oleh Rawls.

PTKP bukan hanya sekadar kebijakan pajak untuk mengurangi beban pajak, melainkan juga merupakan alat konkret untuk mencapai tujuan distribusi keadilan dalam masyarakat. Melalui penentuan besaran PTKP yang memperhitungkan tanggungan keluarga, sistem pajak Indonesia menciptakan landasan yang setara dan adil bagi seluruh wajib pajak.

Kesimpulan

Dalam konteks kompleksitas masyarakat modern, implementasi prinsip keadilan sosial dalam kebijakan pajak menjadi tantangan tersendiri. Namun, Indonesia melalui PTKP, telah mencoba mewujudkan visi keadilan sosial ala John Rawls. Prinsip Kebebasan Setara dan Prinsip Perbedaan menjadi panduan utama dalam menentukan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak, menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan merata. Dengan terus mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan dinamika ekonomi, Indonesia dapat terus memperbaiki dan meningkatkan sistem PTKP untuk lebih mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang diusung oleh John Rawls. Sebagai masyarakat yang berkomitmen pada prinsip keadilan, implementasi PTKP dapat menjadi cerminan nyata dari upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan berkeadilan bagi semua warganya.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.