Oleh: I Gusti Ngurah Surya Jelantik, pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Siapa sih yang belum tahu apa itu NPWP? Mungkin di telinga sebagian orang masih asing. Kalau begitu kenalan yuk!

Nomor Pokok Wajib Pajak, yang disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Layaknya seperti Nomor Induk Kependukan (NIK) yang melekat kepada seseorang sebagai tanda menjadi Penduduk Indonesia, NPWP juga bersifat unik sebagai tanda pengenal seseorang sebagai wajib pajak. Ketika seseorang yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif akan menimbulkan kewajiban perpajakan yang melekat seperti menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. Oleh karena itu, setiap wajib pajak harus memiliki nomor unik ini dalam sebuah kartu NPWP.

Mendaftarkan NPWP merupakan kesadaran pribadi kita sebagai warga negara yang baik. Terkadang, situasi juga secara tidak langsung menuntut kita untuk memiliki sebuah kartu NPWP. Misalnya ketika kita bekerja dalam sebuah perusahaan, atau ketika kita mengajukan permohonan atas suatu layanan publik tertentu. NPWP menjadi penting untuk kita miliki, karena hakikatnya taat pajak merupakan kewajiban kita semua. Lalu, di mana kita dapat memperoleh NPWP?

Sebagaimana tertuang dalam PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, seseorang dapat mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), baik secara langsung ataupun melalui Pos. Selain itu, untuk mempermudah wajib pajak, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan secara elektronik melalui laman ereg.pajak.go.id. Permohonan diajukan dengan dilampiri dokumen yang disyaratkan sebagaimana diatur dalam PER-04/PJ/2020.

Mulai 17 Agustus 2020, ada lagi kemudahan yang ditawarkan bagi wajib pajak untuk memperoleh NPWP, terutama bagi para nasabah maupun calon nasabah bank. Terobosan ini lahir dari kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan empat bank yang terhimpun dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Pada tanggal 23 Juli lalu, DJP bersama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN) meluncurkan integrasi layanan dalam bentuk Aplikasi Validasi dan Pendaftaran NPWP.

Bagi masyarakat

Selama ini yang terjadi di KPP, calon nasabah bank datang bermaksud untuk memperoleh sebuah kartu NPWP. “Pak, saya ingin daftar NPWP. Saya ingin buka rekening bank, lalu diminta persyaratan berupa NPWP oleh pihak bank” atau “Bu, saya UMKM. Kebetulan saya perlu tambahan modal dari bank, tapi harus ada NPWP dulu,” begitulah katanya. Bisa dibayangkan, betapa riweuh-nya mereka harus datang ke KPP hanya untuk sebuah kepingan kartu NPWP. Padahal, tujuan awal mereka bukan untuk sebuah NPWP.

Sebagaimana yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, integrasi layanan ini diharapkan dapat mempermudah proses administrasi bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang belum memiliki NPWP, untuk membuka rekening bank maupun mengajukan kredit. Melalui integrasi layanan DJP dan Himbara, nasabah maupun calon nasabah lebih dimudahkan baik secara waktu maupun tenaga.

Bagi bank dan DJP

Pada dasarnya, integrasi ini tidak hanya menguntungkan di sisi masyarakat. Bank dan DJP juga mendapatkan manfaat dari kolaborasi ini. Bagi DJP, hal ini akan mempermudah beban kerja KPP dalam melayani permohonan pendaftaran NPWP. Semakin banyak jalur yang dapat dipilih masyarakat untuk memperoleh NPWP, maka akan meringankan pelayanan di KPP, ditambah keinginan masyarakat yang mendambakan proses yang praktis.

Bagi pihak bank, hal ini membantu mengoptimalkan penyaluran kredit yang menjadi produk perbankan yang ditawarkan. Efektivitas penyaluran kredit merupakan salah satu indikator kesehatan suatu bank. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, menyebutkan salah satu faktor penilaiannya adalah Risk Profile, yang di dalamnya terdapat penilaian terhadap Loan to Deposit Ratio (LDR). Untuk dapat dikategorikan sehat, suatu bank harus memiliki LDR tidak lebih dari 85% (Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP Tahun 2004). LDR berperan penting dalam mengukur berjalan atau tidaknya fungsi intermediasi bank yakni tingkat pemberian pinjaman dana berupa kredit yang disalurkan oleh bank berdasarkan jumlah seluruh dana yang telah bank himpun melalui layanan jasa kepada nasabah. Selain itu LDR menjadi cerminan bank dalam memperpanjang kredit yang sedang disalurkan (Buchory, 2014).

Selain LDR, terdapat indikator rasio Non Performing Loan (NPL). NPL adalah perbandingan kredit yang bermasalah terhadap total kredit yang disalurkan bank. Oleh karena itu, semakin besar NPL, maka bank dianggap semakin tidak sehat. Untuk dapat dikategorikan sehat, suatu bank harus memiliki NPL kurang dari 5% (Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP Tahun 2004). Untuk dapat menekan rasio NPL ini, maka bank dituntut dapat menyalurkan kredit secara hati-hati dan bijaksana dengan memerhatikan profil calon nasabah.  Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Riyanto (2001) bahwa untuk menilai risiko kredit secara umum memperhatikan “lima C”, yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economy.

Dengan adanya integrasi layanan antara DJP dan Himbara ini, maka akan dapat membantu bank dalam menilai seorang nasabah apakah layak atau tidak untuk disalurkan kredit. “Sistem validasi ini juga dapat menunjukkan riwayat kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan yang dapat digunakan bank dalam proses evaluasi risiko kredit. Paling tidak bisa juga untuk kurangi potensi NPL atau kredit macet,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Selain pendaftaran NPWP, bank juga dapat memvalidasi data NPWP nasabahnya. Hal ini akan meningkatkan kedekatan bank dengan nasabahnya atau prinsip Know Your Customer akan semakin baik. Bank tidak lagi tergantung pada kartu fisik NPWP dalam meneliti data nasabah sehingga tidak perlu menunjukkan kembali kartu NPWP yang mereka punya, melainkan bank dapat secara langsung terhubung pada sistem DJP.

Integrasi layanan ini juga mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melalui pemberian subsidi bunga/subsidi margin untuk kredit/pembiayaan UMKM. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020, kebijakan yang menyasar para debitur UMKM ini harus memenuhi beberapa ketentuan. Debitur yang dapat menerima subsidi bukan termasuk dalam Daftar Hitam Nasional dan memiliki kategori performing loan lancar. Selain itu, debitur juga dituntut harus memiliki NPWP. Sehingga atas ketentuan tersebut, sinergitas antara DJP dan Himbara sangat dibutuhkan untuk memudahkan pemanfaatannya oleh masyarakat. Data nasabah yang dimiliki bank dan data DJP dapat dikolaborasikan demi suksesnya program ini. Sedangkan nasabah yang belum memiliki NPWP tetap dapat memanfaatkan subsidi ini dengan mendaftarkan NPWP secara langsung melalui bank. Kemudahan ini akan membantu meningkatkan realisasi pemanfaatan subsidi bunga/subsidi margin untuk kredit/pembiayaan bagi UMKM yang sejauh ini masih rendah.

Momen 17 Agustus ini menjadi istimewa, di mana DJP menawarkan lagi terobosan untuk kemudahan wajib pajak dan masyarakat. Sinergitas antara DJP dan Himbara akan membawa jalannya reformasi perpajakan ke arah yang semakin matang demi pajak negara yang kuat. Mari kita doakan.

 *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja