Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Terdapat dua kutub sistem pajak internasional yang dianut oleh negara-negara di dunia. Pertama, sistem pajak worldwide. Kedua, sistem pajak teritorial. Keduanya mempunyai karakteristik dan kekhasannya masing-masing. Sistem pajak yang dipilih setiap negara tentunya didasarkan pada preferensi masing-masing. Mana yang paling sesuai dengan kondisi negara tersebut dan dianggap paling efektif menyumbang penerimaan.

Sistem pajak worldwide menganut asas domisili. Negara yang menerapkan sistem ini mendasarkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) pada status domisili wajib pajak (residen)-nya. Artinya, yang menjadi objek PPh bagi wajib pajak dalam negeri (WPDN) adalah semua penghasilan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun, yang menjadi objek PPh bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) hanyalah penghasilan yang berasal dari negara tersebut.

Di kutub yang lain, sistem pajak teritorial menganut asas sumber. Negara yang menerapkan sistem ini mendasarkan pengenaan PPh pada sumber (dari mana) penghasilan berasal. Dalam sistem ini, PPh dikenakan hanya atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Artinya, yang menjadi objek PPh, baik bagi WPDN maupun WPLN, hanyalah penghasilan yang berasal dari dalam negeri. Penghasilan yang berasal dari luar negeri bukanlah objek PPh.

Namun perlu diketahui, tidak ada satu pun negara di dunia yang menerapkan sistem pajak worldwide ataupun sistem pajak teritorial secara murni. Tidak ada negara yang mutlak berada di kutub worldwide ataupun mutlak berada di kutub teritorial. Semuanya menerapkan sistem pajak antara (hybrid). Yang membedakan hanyalah negara tersebut lebih condong ke kutub yang mana. Ke kutub worldwide (hybrid worldwide) atau ke kutub teritorial (hybrid teritorial). Pasalnya, akan selalu ada—sekecil apa apun—‘cita rasa’ teritorial pada negara yang menerapkan sistem pajak worldwide. Begitu pula sebaliknya, akan selalu ada ‘nuansa’ worldwide pada negara yang menerapkan sistem pajak teritorial.

Indonesia sendiri menerapkan sistem pajak worldwide. Ini terlihat jelas dari UU PPh, khususnya pada Pasal 4 ayat (1), yang mendefinisikan penghasilan sebagai “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, …”. Jadi, wajib pajak Indonesia dikenai PPh atas semua penghasilannya, baik yang bersumber dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun, WPLN dikenai PPh hanya atas penghasilannya yang bersumber dari Indonesia.

Hijrah ke Teritorial

Sejak berlakunya UU Cipta Kerja pada 2 November 2020, bisa dibilang Indonesia telah hijrah dari sistem pajak worldwide ke sistem pajak teritorial. Mengapa? UU sapu jagat tersebut mengubah beberapa ketentuan dalam UU PPh, salah satunya ketentuan mengenai perlakuan pajak atas penghasilan dari luar negeri. Dalam UU PPh yang lama (sebelum UU Cipta Kerja berlaku), semua penghasilan dari luar negeri merupakan objek PPh. Namun, sejak UU Cipta Kerja berlaku (2 November 2020), dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dikecualikan dari objek PPh. Syaratnya, laba setelah pajak terkait dividen dan penghasilan tersebut diinvestasikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia minimal 30%. Dengan kata lain, kini, dividen luar negeri dan penghasilan dari BUT di luar negeri tidak lagi dikenai PPh di Indonesia.

Berdasarkan rilis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada laman resminya, pengecualian dividen luar negeri dan penghasilan dari BUT di luar negeri dari objek PPh bertujuan untuk meningkatkan pendanaan investasi. Hal itu dilakukan mengingat adanya isu lock-out capital. Disinyalir banyak dana yang diparkir di luar negeri dan tidak dibawa pulang (direpatriasi) ke Indonesia untuk menghindari pengenaan PPh di Indonesia. Dengan kebijakan dividen luar negeri dan penghasilan dari BUT di luar negeri tidak lagi dikenai PPh, diharapkan dana-dana tersebut akan dibawa pulang ke Indonesia. Dengan begitu, pendanaan investasi akan meningkat sehingga tersedia banyak dana untuk menggulirkan ekonomi Indonesia.

Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan UU Cipta Kerja, perubahan ketentuan di bidang perpajakan masuk dalam kalster kemudahan berusaha. Itu artinya, kebijakan dividen luar negeri tidak lagi dikenai PPh juga ditujukan untuk menciptakan kemudahan berusaha di Indonesia. Kalau kemudahan berusaha telah tercipta dan pendanaan investasi sudah meningkat, diharapkan lapangan kerja akan tercipta. Ini sejalan dengan cita-cita besar UU Cipta Kerja, yaitu menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.

Pengalaman AS dan Jepang

Salah satu negara telah hijrah dari sistem worldwide ke sistem teritorial adalah Amerika Serikat (AS). Hal itu ditandai dengan disahkannya Tax Cut and Jobs Act (TCJA) pada 22 Desember 2020. TCJA tersebut berlaku efektif pada tahun 2018. Hijrahnya AS ke sistem teritorial dipandang mampu memecahkan persoalan lock-out capital yang terjadi di negara tersebut (Darussalam, Septriadi, dan Dhora: 2020).

Negara lain yang juga telah beralih dari sistem worldwide ke sistem teritorial adalah Jepang. Itu ditandai dengan reformasi pajak yang mulai berlaku pada bulan April tahun 2009 (Darussalam, Septriadi, dan Dhora: 2020). Rezim pajak baru yang diterapkan Jepang tersebut juga dianggap mampu mengatasi permasalahan lock-out capital di sana. Dalam sebuah laporan yang dimuat di Japan Journal pada Agustus 2009, disebutkan bahwa sejak diberlakukannya rezim teritorial, perusahaan-perusaan multinasional besar Jepang mulai melakukan repatriasi.

Ancaman BEPS

Hijrah dari sistem worldwide ke sistem teritorial memang dapat mendatangkan manfaat positif, seperti teratasinya masalah lock-out capital sehingga terjadi peningkatan investasi domestik. Namun di sisi lain, hal itu juga mendatangkan ancaman serius yang mesti diwaspadai. Wajib pajak jadi punya peluang lebih besar untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Bagaimana itu bisa terjadi?

Di bawah rezim teritorial, dividen luar negeri tidak dikenai PPh. Ini bisa menyebabkan terjadinya penggerusan basis pajak dan penggeseran laba (base erosion and profit shifting/BEPS) melalui praktik manipulasi transfer pricing. Skemanya, dengan membentuk perusahaan cangkang di negara tax haven. Dengan begitu, laba yang seharusnya diakui dan dikenai PPh di dalam negeri dapat digeser ke negara tax haven. Akibatnya, laba di dalam negeri menjadi lebih kecil, bahkan diakui rugi, sehingga PPh yang dikenai di dalam negeri pun menjadi lebih kecil atau bahkan nihil. Kemudian, keuntungan yang telah digeser ke negara tax haven dibawa pulang ke dalam negeri dalam bentuk dividen tanpa dikenai PPh.

Agar skema tersebut lebih mudah dipahami, mari simak contoh kasus berikut:

PT Aldebaran merupakan perusahaan tekstil yang biasa menjual produknya ke luar negeri. Produk tekstilnya biasa dijual dengan harga Rp1.000.000 per unit. Harga pokok penjualan (HPP) dan biaya-biaya lainnya Rp700.000 per unit. Pada tahun 2021, PT Aldebaran berhasil menjual produknya sebanyak 100.000 unit.

Penjualan: 100.000 unit x Rp1.000.000 = Rp100 miliar
HPP dan Biaya: 100.000 unit x Rp700.000 = (Rp70 miliar)
Laba Rp30 miliar
PPh Badan: 22% x Rp30 miliar = Rp6,6 miliar
Laba Setelah Pajak Rp24,4 miliar
Dividen Rp0
Total Laba Rp24,4 miliar

Untuk memaksimalkan keuntungannya, PT Aldebaran membentuk perusahaan cangkang bernama Andin Inc. di British Virgin Island (BVI).  Seluruh penjualan PT Aldebaran dilakukan melalui Andin Inc. terlebih dahulu, baru kemudian dijual ke pembeli sebenarnya. Harga jual produk dari PT Aldebaran ke Andin Inc. Rp800.000 per unit. Seluruh keuntungan Andin Inc. dibagikan sebagai dividen. Diasumsikan di BVI tidak ada pengenaan PPh. Dengan begitu, perhitungan PPh dan laba PT Aldebaran menjadi:

Penjualan: 100.000 unit x Rp800.000 = Rp80 miliar
HPP dan Biaya: 100.000 unit x Rp700.000 = (Rp70 miliar)
Laba Rp10 miliar
PPh Badan: 22% x Rp10 miliar = Rp2,2 miliar

Laba Setelah Pajak Rp8,8 miliar
Dividen dari Andin Inc. Rp20 miliar
Total Laba Rp28,8 miliar

Hijrahnya Indonesia dari sistem pajak worldwide ke sistem pajak teritorial bisa mendorong repatriasi (pemulangan) dana-dana yang selama ini diparkir di luar negeri ke Indonesia. Dengan begitu, investasi dalam dalam negeri Indonesia akan meningkat sehingga dapat menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Namun, ada ancaman serius yang timbul di balik itu semua, yaitu meningkatnya risiko terjadinya BEPS melalui praktik manipulasi transfer pricing. Oleh sebab itu, hijrahnya Indonesia ke sistem pajak teritorial mesti dibarengi dengan pemberlakukan ketentuan transfer pricing dan ketentuan anti-BEPS yang ketat dan efektif.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja