Oleh: Edmalia Rohmani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kedaulatan negara kita sedang diuji. Sejak 10 Desember tahun lalu, puluhan kapal-kapal nelayan Cina memasuki perairan Laut Natuna, Kepulauan Riau. Tak hanya itu, untuk melancarkan aksinya, kapal-kapal  itu dikawal kapal penjaga pantai dan kapal perang Fregat. Meski telah berkali-kali diusir dan diperingatkan, mereka tak juga bersedia meninggalkan landas kontinen Indonesia, bahkan berani mematikan alat radar Automatic Identification System (AIS) miliknya. 

Ulah para nelayan itu merupakan salah satu bentuk dari Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, tidak dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang ada. Hal ini tentu saja merugikan bangsa Indonesia. 

Menurut hukum internasional yang disepakati oleh anggota United Nations Convention for The Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, wilayah ini termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.

Sebagai salah satu anggota dari UNCLOS, seharusnya Cina mematuhi hukum tersebut dan menghormati kedaulatan negara kita, tanpa sedikitpun berani memasuki apalagi mencuri kekayaan alam bawah lautnya.

Nyatanya, ini bukan aksi pertama mereka. Pada 2016 lalu, TNI AL pernah menembak dan menangkap kapal penangkap ikan asal Cina karena memasuki teritorial ini. Tindakan tegas ini rupanya tak membuat mereka kapok dan bahkan kini lebih banyak lagi kapal yang datang lengkap dengan pasukan penjaga dan kapal perang.

Semua bermula dari klaim pemerintah Cina yang mengakui 90% wilayah Laut Natuna adalah miliknya berdasarkan peta Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line). Menurut versi peta tersebut, sejak era Dinasti Han pada tahun 110 SM, ekspedisi pelaut Cina telah melakukan perjalanan maritim dari Kepulauan Paracel hingga Kepulauan Spratty.

Dalam konferensi pers 2 Januari 2020 lalu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang mengatakan bahwa Cina memiliki hak dan kepentingan yang relevan (relevant waters) di wilayah tersebut. Pernyataan ini tentu tak berdasar. Kenekatan mereka dalam melakukan pelanggaran ini merupakan bentuk pelecehan terhadap kedaulatan NKRI. Meski Negeri Tirai Bambu adalah mitra dalam hubungan diplomatik dan ekonomi, namun pemerintah harus bersikap tegas dan menunjukkan upaya maksimal hingga mereka hengkang dari wilayah itu.

Hingga Selasa (7/1), pemerintah telah mengirimkan enam kapal perang dan dua kapal penjaga pantai yang secara rutin berpatroli di Perairan Natuna. Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI hingga saat ini masih mengirimkan peringatan kepada kapal penjaga pantai Cina namun selalu dimentahkan oleh mereka.

Menurut sumber di media massa, pemerintah akan menempuh jalur diplomasi yang terdiri dari empat hal. Pertama, Indonesia menolak klaim Cina terkait klaim berlatar belakang historis versi mereka yang tidak memiliki landasan hukum. Kedua, menolak klaim atas penguasaan Laut Natuna Selatan. Ketiga, akan dilakukan operasi di Laut Natuna oleh TNI secara intensif. Keempat, peningkatan kegiatan ekonomi di Laut Natuna.

Opsi Terakhir

Apabila jalur diplomasi tersebut mengalami kebuntuan, bukan tak mungkin pemerintah akan mengambil opsi terakhir yaitu berperang. Menurut UUD 1945 Pasal 30 ayat (2) disebutkan bahwa, "Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung."

Untuk menjalankan tugas-tugasnya itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Indonesia dibekali dengan berbagai macam alat utama sistem senjata (alutsista). Beberapa jenis kapal perang yang diturunkan untuk menjaga wilayah Natuna antara lain kapal Korvet, kapal Fregat, kapal tanker, dan kapal jenis angkut tank.

Selain alutsista berbentuk kapal, TNI juga menerjunkan pesawat pengintai maritim yang mampu mendeteksi sasaran di permukaan laut dan udara sejauh 265 mil laut. Empat pesawat jet tempur jenis F-16 juga diterbangkan untuk melakukan patroli udara.

Semua pengadaan alutsista ini dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih dari tiga perempatnya bersumber dari pajak. Selain membiayai pembelian alutsista, dana APBN ini juga digunakan untuk membiayai gaji anggota TNI sehingga fungsi budgeter pajak dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara demi pertahanan dan keamanan NKRI.

Berdasarkan APBN 2020, pertahanan dan keamanan memang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Hal itu tercermin dari alokasi anggaran terbesar untuk Kementerian Pertahanan sebesar Rp131, 2 triliun. Artinya, dengan membayar pajak, wajib pajak secara tidak langsung telah ikut serta dalam upaya mempertahankan kedaulatan NKRI.

Lebih jauh lagi, pajak yang dibayarkan itu akan lebih adil apabila lebih banyak lagi wajib pajak yang melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan jujur dan membayar pajak sesuai dengan aturan yang berlaku. Nilai yang dipikul masing-masing wajib pajak akan terasa lebih ringan, sedangkan manfaat yang didapatkan akan terasa semakin besar, apabila wajib pajak menyadari bahwa membayar pajak merupakan bentuk kecintaan pada bangsa dan berkontribusi dalam upaya membela negara.

Oliver Wendell Holmes, Jr. pernah berkata, “Pajak adalah harga yang kami bayar untuk peradaban.” Tentu saja peradaban yang kita idamkan sebagai bangsa adalah yang sesuai dengan alinea keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu “…untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

File Artikel Terkait