Emas Perhiasan: Investasi Aman, Kontribusi Pajak Tinggi

Oleh: Trisha Aurel Carissa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan logam mulia (emas). Hasil tambang mineral logam berupa emas, menjadi sangat diminati oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu pilihan dalam berinvestasi yang aman. Logam mulia dipilih karena menjadi jenis investasi yang memiliki resiko paling kecil, tetapi memiliki harga jual yang relatif tidak fluktuatif.
Sejak tahun 2018, harga dunia atas logam mulia terus meningkat dari Rp635.000,00 hingga mampu mencapai Rp1.027.000,00 per gram. Logam mulia dipasarkan dalam berbagai bentuk, mulai dari emas batangan hingga dalam bentuk perhiasan. Bagi masyarakat Indonesia, investasi emas banyak diwujudkan dalam bentuk perhiasan. Selain sebagai investasi, emas perhiasan juga dapat meningkatkan rasa percaya diri pemiliknya dalam dunia mode.
Emas perhiasan sendiri menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83/KMK.03/2002 adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari emas dan atau logam mulia lainnya, termasuk yang dilengkapi dengan batu permata dan atau bahan lain yang melekat atau terkandung dalam perhiasan emas tersebut.
Tingginya minat masyarakat terhadap emas perhiasan menyebabkan banyak pengusaha emas perhiasan bermunculan. Semula pengusaha emas perhiasan hanya dikelola oleh orang pribadi, tetapi kini banyak badan usaha yang melakoni usaha tersebut.
Hal ini sejalan dengan pengertian dari pengusaha sendiri menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Oleh karena itu, pengusaha emas perhiasan di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu pengusaha emas yang dikelola oleh orang pribadi dan badan. Lalu, bagaimana pengenaan perpajakan bagi para pengusaha emas perhiasaan di Indonesia?
Pengenaan aspek perpajakan pada usaha emas telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.03/2002 yang membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Emas Perhiasan Pengusaha Toko Emas Perhiasan. Dalam kegiatan usahanya, seorang pengusaha emas perhiasan tidak hanya melakukan proses jual-beli. Namun, mereka juga memberikan jasa pembuatan dan/atau perbaikan bahkan perawatan emas perhiasan tersebut.
Penyerahan atas emas perhiasan yang dilakukan oleh pengusaha dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% dari nilai harga jual emas perhiasan tersebut. Pengenaan PPN ini dikarenakan emas perhiasan yang dijual oleh para pengusaha telah melalui tahap perubahan bentuk menjadi barang baru yang menyebabkan logam mulia emas mempunyai daya guna baru.
Sistem perpajakan di Indonesia yang mengenal sistem self assesment, yaitu wajib pajak menghitung, melaporkan, dan membayar kewajiban perpajakannya secara mandiri, membuat pemerintah selalu berupaya membuat proses pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi mudah bagi wajib pajak.
Salah satu upayanya adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 yang membahas tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan atas Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu. Melalui aturan tersebut dijelaskan bagaimana mekanisme penghitungan PPN bagi para pengusaha emas perhiasan dalam memenuhi kewajibannya.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk menghitung besarnya PPN yang seharusnya dibayarkan oleh para pengusaha ditentukan dengan rumus sebagai berikut: PPN yang terutang = 10% x 20% x total penyerahan emas perhiasan secara eceran.
Kemudahan ini diatur karena seluruh penyerahan emas perhiasan biasanya dilakukan secara eceran. Para pengusaha dapat melaporkan pembayaran PPN tersebut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN DM setiap bulannya. Selain terutang PPN, seorang pengusaha emas perhiasan juga memiliki kewajiban untuk melaporkan, menghitung, dan membayarkan pajak penghasilan yang diperoleh dari usahanya.
Sesuai dengan filosofi penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Mengacu pada hal tersebut, maka atas keuntungan yang diterima oleh pengusaha emas perhiasan wajib melaporkan, menghitung penghasilannya dengan menggunakan tarif Pajak Penghasilan pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ketika memiliki penghasilan bruto melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Lalu bagaimana jika penghasilan kurang dari Rp4,8 miliar?
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya memberikan dukungan kepada para pelaku ekonomi, tak terkecuali kepada para pengusaha emas perhiasan yang termasuk ke dalam Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro. Bagi pengusaha yang penghasilannya kurang dari Rp4,8 miliar diberikan tarif tunggal sesuai dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yaitu sebesar 0,5%.
Selain melakukan penghitungan dan pembayaran, wajib pajak dapat melaporkan pembayaran tersebut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dilaporkan setiap selesai akhir tahun pajak.
Dengan uraian di atas, diharapkan dapat membantu wajib pajak khususnya para pengusaha emas perhiasan mendapatkan gambaran akan kewajiban perpajakannya, yaitu cara menghitung pajak yang terutang dari usaha yang mereka miliki. Semakin wajib pajak memahami kemudahan dalam menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya, maka akan semakin tinggi kesadaran wajib pajak untuk berkontribusi kepada negara melalui pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 200 kali dilihat