Ekonomi Digital: Masa Depan Ekonomi dan Pajak

Oleh: Mhd. Ricky Karunia Lubis, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Mendorong produktivitas dan meningkatkan efisiensi adalah dua variabel dasar yang menjadi kunci keberhasilan menuju kehidupan yang lebih baik: modernisasi dan liberalisasi ekonomi. Dewasa ini, teknologi melekat pada dua hal tersebut: memperluas akses pasar dan menekan biaya-biaya. Dalam istilah ekonomi, kehadiran teknologi dikonsepsikan sebagai digital economy. Memang benar bahwa digital economy mengubah banyak hal, seperti preferensi, pemasaran, dan sistem pembayaran. Dalam hal preferensi misalnya, konsumen saat ini sangat mencintai jasa transportasi online yang tidak hanya karena pemesanannya yang praktis, tetapi juga tarifnya yang murah dibandingkan jasa transportasi offline.
Namun, pada dasarnya, digital economy tidak akan mengubah satu hal mendasar, yaitu barang atau jasa yang melekat di dalamnya (underlying products). Orang akan tetap berbelanja pakaian (sandang), membeli hunian (papan), dan mengonsumsi makanan dan minuman (pangan). Orang juga tetap membutuhkan moda transportasi untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, hiburan (entertainment), dan rekreasi (leisure). Dengan kata lain, digital economy sama sekali bukan suatu disrupsi bagi ekonomi, melainkan sebuah terobosan (breakthrough) untuk mendorong produktivitas dan meningkatkan efisiensi.
Perspektif ekonomi ini sama saja dengan perspektif pajak sehingga tidak ada pemajakan baru atas transaksi di digital economy ini. Yang ada hanya perlakuan adil antara pedagang konvensional dan pedagang online. Pajak memandang bahwa underlying products tidak berubah. Orang berdagang pakaian di pasar Tanah Abang tidak berbeda dengan yang berdagang di digital marketplace. Penjual tetap menerima penghasilan dan objek penyerahan barang dan/atau jasa masih sama. Dengan demikian, baik pedagang di pasar Tanah Abang dan di marketplace sama-sama punya kewajiban membayar pajak penghasilan dan memungut Pajak Pertambahan Nilai (bagi Pengusaha Kena Pajak).
Kue Legit E-commerce
Berdasarkan data Statista, ceruk pasar perdagangan elektronik (e-commerce) di dunia pada 2018 mencapai USD 2,84 Triliun atau setara Rp39.788 Triliun (kurs Rp14.000), 2,5 kali nilai PDB Indonesia. Nilai e-commerce ini diproyeksikan menembus USD 4,88 triliun pada 2021. Cina memimpin pangsa pasar e-commerce terbesar dengan nilai transaksi USD 636,1 miliar (22% dari total nilai), diikuti Amerika Serikat senilai USD 504,6 milliar (18%), dan Inggris senilai USD 86,5 Miliar (3%). Sementara itu, nilai transaksi e-commerce di Indonesia masih di bawah 1 persen, yaitu sebesar USD 8,6 Miliar dan diproyeksikan mencapai USD 22,6 miliar pada 2022.
Harian ini (Investor Daily) pernah mencatat UMKM yang melakukan aktivitas e-commerce pada 2018 diperkirakan kurang lebih 7 juta pelaku usaha. Badan Pusat Statistik (BPS) beserta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nation Population Fund memperkirakan jumlah pelaku UMKM di Indonesia sekitar 59 juta, yang berarti pelaku UMKM yang masuk ke dalam ekosistem e-commerce mencapai 11,8 persen. Nilai UMKM berkontribusi sebesar 64,5% dari nilai PDB pada 2017. Adapun nilai PDB Indonesia pada 2017 sebesar USD 1.016 triliun (setara Rp13.588 triliun dengan kurs Rp13.374), yang berarti nilai UMKM sebesar USD 654 miliar (setara Rp8.750 triliun).
E-commerce tentu tidak lepas dari penggunaan internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta orang pada 2018 (57% dari jumlah penduduk) dan diproyeksi menyentuh 175 juta pada 2019 (64% dari jumlah penduduk). Berdasarkan survei APJII ini, pada 2017 jumlah pengguna internet di Indonesia yang mengakses layanan aplikasi percakapan (chatting) mendominasi sebesar 89,3%, disusul media sosial 87,13%, search engine 74,84%, dan aktivitas e-commerce 40,2%. Gambaran ini menunjukkan bahwa kue ekonomi dari transaksi e-commerce di Indonesia masih sangat besar. Penggunaan internet untuk aktivitas e-commerce juga belum sepenuhnya didominasi transaksi jual-beli. APJII mencatat aktivitas ini masih didominasi oleh aktivitas mencari harga, yaitu mencapai 45,14%, diikuti mencari informasi membeli 37,8%. Aktivitas membeli barang secara digital baru berkontribusi sekitar 32,19%. Di bawahnya menyusul aktivitas mencari pekerjaan di angka 26,19%.
Pemerintah sangat concern memperluas akses internet ke seluruh penjuru Indonesia untuk mendorong tercapainya industri 4.0 yang salah satunya berbasis Internet of Things (IoT). Penyediaan akses internet ke wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) ini diwujudkan melalui pasokan listrik (elektrifikasi) ke seluruh rumah tangga di Indonesia dan penyelesaian proyek penggelaran kabel fiber optic Palapa Ring yang akan menghubungkan jaringan internet 4G ke sepenjuru Indonesia. Rasio elektrifikasi saat ini masih di angka 97,5% dan ditargetkan mencapai 99% pada 2019. Proyek Palapa Ring diproyeksi akan selesai pada 2020 yang akan membuat seluruh masyarakat menjadi merdeka sinyal dan internet.
Data-data statistik di atas menegaskan begitu luar biasa besarnya potensi nilai ekonomi dari transaksi e-commerce yang dapat menjadi perhatian lebih bagi otoritas pajak untuk mengoptimalkan penerimaan negara agar rasio pajak tidak macet di angka 11 persen. Potensi ini dapat terealisasi jika ada konsistensi dukungan fiskal, regulasi, dan infrastruktur dari pemerintah yang akan semakin memperbesar aktivitas ekonomi lewat e-commerce, mulai dari perpindahan pelaku usaha dari pasar konvensional ke pasar digital, preferensi pengguna internet untuk beralih dari sekadar chatting atau bermedia sosial ke aktivitas jual-beli di platform marketplace, pemerataan akses internet ke sepelosok Tanah Air, hingga munculnya para pelaku UMKM baru yang mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Konfigurasi Pajak
Pemerintah lewat Kementerian Keuangan telah mengeluarkan payung hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang mulai berlaku pada 1 April 2019. Tidak ada pemajakan baru dalam aturan ini. Pada dasarnya, sejak 2013, pelaku UMKM dengan peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dikategorikan sebagai Wajib Pajak UMKM yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final 1% yang disetorkan setiap bulan.
Lalu, terhitung 1 Juli 2018, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 yang menurunkan tarif PPh Final dari 1% menjadi 0,5%. Harapannya, tax cut ini mampu mendorong kontribusi UMKM lebih besar terhadap perekonomian. Selain itu, insentif ini dianggap akan memenetrasi pelaku UMKM menjadi pelaku usaha besar yang omzetnya melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Selain sebagai stimulus, PP 23/2018 ini menjadi landasan untuk membenahi sistem perpajakan di Indonesia.
Tujuan akhirnya, wajib pajak akan melaksanakan pembukuan (berupa laporan keuangan) atau pencatatan (berupa norma penghitungan penghasilan neto) setelah lewat jangka waktu. Adapun jangka waktu pengenaan PPh Final yaitu paling lama 7 tahun pajak bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi, 4 tahun pajak bagi WP Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan 3 tahun pajak bagi WP Badan berbentuk PT. Namun, wajib pajak dapat memilih untuk dikenakan tarif pajak umum sesuai pasal 17 atau 31E UU Pajak Penghasilan sebelum batas waktu tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan ke Direktur Jenderal Pajak.
PMK 210/2018 adalah upaya meningkatkan kepatuhan pelaku e-commerce untuk membayar pajak penghasilan dan menghadirkan keadilan (equal treatment) bagi para usahawan baik yang berdagang di pasar konvensional maupun pasar digital. Selama ini, banyak anggapan bahwa transaksi pada e-commerce tidak dikenakan pajak. Ini keliru. Kembali ke bagian awal tulisan ini, pada dasarnya transaksi digital dan konvensional memiliki underlying products yang sama sehingga keduanya memiliki kewajiban pajak yang sama. Di samping itu, PMK 210/2018 juga menjadi dasar hukum untuk mendapatkan data transaksi selama periode tertentu dari penyedia platform marketplace.
Aturan ini menyasar dua hal. Pertama, pedagang dan penyedia jasa (seperti ekspedisi) yang bertransaksi di marketplace akan diminta untuk memberitahukan NPWP kepada penyedia platform marketplace. Jika belum memiliki NPWP, mereka dapat menyertakan NIK. Namun, keduanya tidak wajib dilampirkan jika memang memberatkan, terutama bagi pedagang pemula seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, atau pelajar yang penghasilannya dalam setahun masih di bawah PTKP. Kedua, pemilik atau pengelola marketplace wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh dari pedagang, penyedia jasa, dan penyedia platform marketplace itu sendiri. Selain itu, platform marketplace wajib melaporkan data rekapitulasi transaksi yang terjadi ke otoritas pajak.
Tindak Lanjut Otoritas Pajak
Anggapan bahwa selama ini otoritas pajak “kecolongan” dalam transaksi e-commerce tidaklah benar. Justru beralihnya model ekonomi dari konvensional menuju digital akan sangat mempermudah otoritas pajak dalam melaksanakan ekstensifikasi, pengawasan, dan pemeriksaan. Data rekapitulasi dari penyedia platform marketplace akan menjadi input bagi otoritas pajak untuk mengimbau pelaku e-commerce agar ber-NPWP (bagi yang belum ber-NPWP) dan menguji kebenaran materil atas penyetoran PPh oleh wajib pajak.
Hingga Desember 2018, jumlah pembayar PPh Final UMKM mencapai 1,7 juta wajib pajak dengan nominal penerimaan senilai Rp5,37 triliun. Dengan data statistik yang saya himpun dalam tulisan ini, kontribusi UMKM terhadap perekonomian yang mencapai 64%, atau setara Rp9.555 triliun (PDB sebesar Rp14.837 triliun) di tahun 2018, akan menghasilkan penerimaan PPh Final sebesar Rp47,7 triliun. Sementara itu, nilai ekonomi UMKM di e-commerce baru mencapai 11,8% atau setara Rp1.127 triliun. Asumsikan seluruh pelaku e-commerce memiliki NPWP dan menyetorkan PPh Final, paling tidak penerimaan dari e-commerce saja sebesar Rp5,67 triliun. Sungguh potensi pajak yang sangat besar untuk digali. Namun, ini hanyalah perhitungan yang disederhanakan.
Tajuk besar aturan ini adalah efisiensi dan keadilan. Efisiensi tercipta karena transaksi digital yang tercatat dengan jelas dan akurat akan memudahkan otoritas pajak untuk memperluas basis pajak dan menguji kebenaran dari pelaksanaan kewajiban perpajakan. Keadilan ditegakkan baik untuk pelaku usaha konvensional maupun pelaku e-commerce yang tidaklah berbeda. Keduanya mempunyai kewajiban pajak yang sama, yaitu PPh Final untuk wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp4,8 miliar dan PPN bagi wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selama ini, sistem self-assessment sangat memungkinkan hilangnya potensi pajak karena sulit menguji kepatuhan dan kebenaran atas nilai setoran pajak oleh wajib pajak. Selain menjalankan fungsi anggaran (budgetair) dan regulasi (regulerend), pajak juga mesti berfungsi sebagai alat menciptakan keadilan dan redistribusi kesejahteraan. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 180 kali dilihat