Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Setiap tanggal 9 Desember, masyarakat dunia, termasuk Indonesia, memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Hari yang sebelumnya disebut HAKI itu diperingati dengan berbagai cara, namun dengan balutan yang sama, yaitu semangat pemberantasan korupsi. Peringatan Hakordia berawal dari ditetapkannya International Anti-Corruption Day oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 31 Oktober 2003. Penetapan tersebut bertujuan meningkatkan kepedulian organisasi dan negara-negara di dunia terhadap kasus korupsi yang marak terjadi.

Di Indonesia sendiri, gaung semangat pemberantasan korupsi semakin sering kita dengar. Salah satu yang teranyar, saat ramai-ramai UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Dalam sebuah diskusi di salah satu stasiun televisi, seorang pakar hukum yang juga dikenal sebagai aktivis antikorupsi mengkritisi ihwal gratifikasi sebagai objek pajak dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, hal tersebut tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Masih menurutnya, itu bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur bahwa gratifikasi merupakan salah satu jenis korupsi.

Kita semua tentu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan. Semangat itu pulalah yang pastinya dimiliki oleh pihak-pihak yang mengkritisi gratifikasi sebagai objek pajak. Namun, persoalan gratifikasi jadi objek pajak tidak boleh dilihat secara parasial. Itu harus dilihat dari berbagai sudut pandang secara utuh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Tak Melulu Haram

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Jika dicermati, tidak ada makna negatif dalam pengertian tersebut. Pun, tidak ada disebut bahwa gratifikasi merupakan bagian dari atau terkait dengan korupsi.

Memang, dalam UU Tipikor, khususnya pada Pasal 12B, gratifikasi dikaitkan dengan suap yang merupakan salah satu jenis korupsi. Namun, perlu diperhatikan, di sana diatur bahwa gratifikasi merupakan korupsi apabila memenuhi dua unsur. Pertama, gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kedua, pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas si pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Dalam memori penjelasan Pasal 12B UU Tipikor pun, gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Artinya, gratifikasi sesunggunya bersifat netral. Tidak ada yang salah dengan gratifikasi. Gratifikasi menjadi salah dan dikategorikan sebagai korupsi ketika itu diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di mana pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Lagipula, gratifikasi sudah jauh lebih dulu dikenal sebagai fee bisnis di swasta, sebelum UU Tipikor 1999 (Prastowo, 2020). Dengan kata lain, gratifikasi dapat dikatakan sebagai hal yang lumrah di sektor swasta. Itu menjadi bagian dalam interaksi bisnis sehari-hari sejak dulu.

Bahkan, di sektor pemerintahan sekalipun, ada gratifikasi yang “diperbolehkan”. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Meskipun berlaku hanya di lingkup kementerian keuangan, setidaknya itu bisa menjadi gambaran bahwa di sektor pemerintahan pun, tidak selalu gratifikasi menjadi barang haram. PMK tersebut mengklasifikasikan gratifikasi menjadi gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan.

Gratifikasi yang wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Termasuk di dalamnya, gratifikasi dari pihak yang mempunyai bentuiran kepentingan. Jenis gratifikasi inilah yang "dilarang".

Sedangkan, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan dapat diartikan sebagai gratifikasi yang “diperbolehkan”. Gratifikasi yang “diperbolehkan” ini bisa terkait dengan kedinasan maupun tidak. Yang terkait dengan kedinasan misalnya seminar kit, honor pembicara dalam workshop, dan fasilitas penginapan dalam kegiatan pelatihan. Kemudian, contoh gratifikasi yang tidak terkait dengan kedinasan antara lain diskon dan voucher belanja yang berlaku umum, serta hadiah perlombaan atau kejuaraan.

Kacamata UU PPh

UU Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia menganut konsep penghasilan dalam arti luas. Maksudnya, semua jenis penghasilan—dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dari mana pun sumbernya—merupakan objek pajak. Halal atau haram, legal atau illegal, tidak menjadi soal. Semuanya merupakan objek pajak.

Konsep inilah yang harus dipahami ketika melihat gratifikasi sebagai objek pajak. Gratifikasi merupakan penghasilan, terlepas itu boleh ataupun dilarang. Bahkan, kalau boleh lebih ekstrem, hasil korupsi pun sebenarnya objek pajak. Apa contoh ekstrem lainnya? Pendapatan dari bisnis prostitusi, hasil kejahatan, pesugihan, memelihara tuyul, dan masih banyak lagi. Semuanya itu merupakan objek pajak.

Malah, akan menjadi tidak adil apabila hanya penghasilan yang legal dan halal saja yang menjadi objek pajak. Tidak fair rasanya kalau koruptor, pelaku pembalakan liar, pelaku illegal fishing dan illegal mining, serta pelaku human trafficking melenggang bebas tanpa dikenai pajak. Masak orang yang kerja keras dan memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan yang halal dikenai pajak, sedangkan mereka tidak? Enak betul mereka!

Pro-Pemberantasan Korupsi

Seperti telah diuraikan, gratifikasi sebagai objek PPh tidak bertentangan dengan semangat antikorupsi. Itu hanya sebuah konsekuensi dari konsep penghasilan dalam arti luas yang dianut UU PPh. Justru, konsep penghasilan dalam arti luas tersebut sebenarnya pro-pemberantasan koprupsi. Maksudnya?

Semua penghasilan merupakan objek pajak, tidak peduli halal atau haram, legal atau illegal, boleh atau dilarang. Artinya, semua penghasilan tersebut, termasuk penghasilan dari tindak pidana korupsi, dikenai pajak dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan (SPT). Nah, kalau semua penghasilan dan harta dari tindak pidana korupsi dilaporkan dalam SPT, akan mudah sekali memberantas korupsi di negeri ini. Tinggal buka data SPT, semua koruptor bisa langsung di-OTT (operasi tangkap tangan).

Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan lembaga/otoritas pajak yang kuat dan kredibel. Otoritas pajak yang disegani. Otoritas pajak yang di satu sisi menerapkan standar pelayanan yang tinggi dan di sisi yang lainnya bersikap tegas serta adil dalam penegakan hukum. Otoritas pajak yang membuat semua orang, termasuk koruptor, takut untuk tidak patuh.

Di momen peringatan hari antikorupsi sedunia ini, mari berikhtiar mewujudkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang kredibel dan disegani. Dengan begitu, Pajak Kuat, Korupsi Minggat, Indonesia Hebat!

Selamat Hari Antikorupsi Sedunia!
#PajakKitaBerantasKorupsi

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja