Oleh: Adityo Dwi Wicaksono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Investasi pada cryptocurrency atau aset kripto semakin populer, terutama di kalangan investor milenial saat ini. Cryptocurrency tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 return dari salah satu cryptocurrency dengan market capitalization terbesar yaitu Bitcoin mencapai 7.023% atau 1.404% p.a. Sebuah return yang fantastis apabila dibandingkan dengan return investasi lainnya seperti deposito yang hanya 3-6% p.a atau obligasi yang hanya 6-10% p.a.

Selain itu, fluktuasi harga cryptocurrency juga menjadi alasan bagi para investor untuk mengambil keuntungan dalam jangka pendek melalui trading atau jual-beli. Dalam sehari investor dapat meraup keuntungan atas capital gain mulai dari puluhan persen sampai dengan ratusan persen. Namun, sesuai prinsip dasar investasi yaitu high risk high return, investor juga dapat menelan kerugian sebanding dengan potensi keuntungannya.

Secara etimologis, cryptocurrency berasal dari kata crypto atau kriptografi yaitu bahasa persandian dalam dunia komputer dan currency yang berarti mata uang. Sesuai namanya, cryptocurrency awalnya diciptakan untuk menggantikan mata uang konvensional yang ada saat ini dengan menghilangkan pihak ketiga, dalam hal ini lembaga perbankan.

Dengan menghilangkan pihak ketiga, biaya menjadi lebih murah dan memberikan keamanan dengan teknologi blockchain, buku besar terdesentralisasi, untuk memastikan mata uang tidak dapat dipalsukan. 

Cryptocurrency tidak diterbitkan dan diawasi oleh lembaga perbankan atau pemerintah, tetapi didapatkan melalui aktivitas mining atau penambangan oleh penambang, dan peredarannya tidak diawasi oleh siapapun. Tingkat volatilitas dan fluktuasi yang tinggi murni dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran (supply and demand).

Sampai saat ini belum ada satu pun negara di dunia yang melegalkan cryptocurrency sebagai alat pembayaran. Bahkan, beberapa negara melarang aktivitas perdagangan dan penambangan cryptocurrency karena alasan risiko keuangan dan lingkungan.

Di Indonesia, cryptocurrency diperlakukan hanya sebagai aset yang dapat diperdagangkan atau komoditas (aset kripto), bukan sebagai alat pembayaran. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan, mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam industri aset kripto, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapepti) telah mengeluarkan Peraturan Bapepti tentang ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka, dan Peraturan Bapepti tentang daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto.

Menurut data dari Bapepti, jumlah investor aktif pada cryptocurrency kuartal satu tahun 2021 mencapai 4,2 juta orang dan nilai transaksi yang tercatat mencapai 126 triliun rupiah. Angka itu lebih besar daripada jumlah investor saham di pasar modal yang terdaftar pada Single Investor Identification (SID) yaitu 2 juta akun.

Melihat kenaikan jumlah investor dan kenaikan harga aset kripto yang fantastis, tentu terdapat potensi pajak yang dapat digali dari hasil keuntungan investor. Untuk menghindari potensi kerugian atas penerimaan negara, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan perlu segera merumuskan kebijakan pemungutan pajak atas cryptocurrency dan skema pemajakannya.

Namun, aturan perpajakan atas cryptocurrency perlu dilakukan analisis dan kajian mengenai aspek apa saja yang dapat dikenakan pajak agar tidak menggangu ekosistem bisnis aset kripto ini. Lalu, pajak apa yang dapat dikenakan atas cryptocurrency dan bagaimana skema pemajakan yang sebaiknya dilakukan?

 

Pajak Penghasilan

Dalam Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun 1983 s.t.t.d. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Kenaikan harga cryptocurrency yang dimiliki oleh investor adalah capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih harga beli dan harga jual. Sebagai contoh, Pak Budi membeli Bitcoin dengan modal Rp200 juta, pada saat pembelian harga satu Bitcoin senilai Rp100 juta. Kemudian, harga Bitcoin naik menjadi Rp200 juta, naik 100%.

Kenaikan harga Bitcoin, membuat modal Pak Budi juga mengalami kenaikan menjadi Rp400 juta. Pak Budi meraup keuntungan sebesar Rp200 juta. Keuntungan inilah yang menjadi objek pajak. Jenis pajak penghasilan yang dapat dikenakan atas keuntungan jual-beli cryptocurrency ini adalah PPh Pasal 25/29, yaitu wajib pajak secara mandiri (self assessment) membayar sendiri pajak yang terutang.

Namun, sistem pemungutan pajak atas cryptocurrency apabila dilakukan secara self assessment akan menjadi tidak optimal. Kendala yang dialami adalah masalah pencatatan, pelaporan, dan audit. Wajib pajak harus disiplin mencatat setiap transaksi untuk menghitung keuntungan, pada harga berapa aset kripto dibeli dan dijual. Hal ini tentu akan menyulitkan sehingga meningkatkan ketidakpatuhan wajib pajak.

Kemudian, peraturan perpajakan atas cryptocurrency yang belum jelas juga membuat wajib pajak kesulitan dalam melaporkan pajaknya. Yang terakhir, cryptocurrency diciptakan untuk transaksi yang aman tanpa melibatkan pihak ketiga, kerahasiaan data membuat otoritas pajak sulit untuk melakukan pengawasan.

Dengan adanya rencana dari Bapepti untuk membentuk Bursa Kripto, semakin memperjelas regulasi tentang ekosistem investasi cryptocurrency di Indonesia. Hal ini merupakan keuntungan bagi investor karena memberikan kepastian hukum dan keamanan dalam berinvestasi, dan juga lembaga lain khususnya otoritas pajak untuk melakukan penggalian potensi pajak.

Pemajakan cryptocurrency dapat dilakukan sebagaimana pengenaan pajak atas transaksi saham atau aset derivatif di bursa, yaitu dikenakan secara final sesuai Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan. Dengan adanya Bursa Kripto, skema pengenaan pajak dapat dilakukan secara withholding system agar penerimaan lebih optimal dengan Bursa Kripto sebagai pemungut.

Untuk saat ini, pemerintah dapat menunjuk pedagang aset kripto sebagai pemungut pajak sembari menunggu peresmian Bursa Kripto. Saat ini, terdapat tiga belas pedagang aset kripto yang sudah terdaftar dan diawasi oleh Bapepti.

 

Pajak Pertambahan Nilai

Potensi Pajak Pertambahan Nilai juga terdapat dalam transaksi cryptocurrency. Sudah jelas bahwa pemerintah menganggap cryptocurrency sebagai aset, bukan sebagai alat pembayaran. Aset kripto tidak termasuk dalam daftar negatif Pasal 4A UU PPN. Maka, transaksi atas penyerahan cryptocurrency dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pengenaan pajak atas cryptocurrency memang dapat berkontribusi bagi penerimaan negara. Namun, hal itu bukanlah segalanya, perlu dilakukan analisis dan kajian lebih mendalam agar pengenaan pajak tidak membuat ekosistem bisnis aset kripto menjadi lesu karena beban biaya bagi investor akan menjadi lebih banyak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.