Biar Cepat Asal Selamat

Oleh: Bayu Arti Nugraheni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Anda pernah jalan-jalan ke Candi Prambanan? Candi yang sangat menarik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menarik candinya, menarik pula dongeng yang melatarbelakangi kisah terbentuknya candi tersebut. Alkisah Pangeran Bandung Bondowoso terpikat oleh kecantikan Rara Jongrang. Rara Jongrang bersedia dipersunting dengan dua syarat. Syarat pertama adalah pembuatan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda. Syarat kedua adalah pembangunan seribu candi hanya dalam waktu satu malam.
Singkat cerita, Bandung Bondowoso berhasil menyelesaikan 999 candi. Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa candi ke-1000 hampir selesai, ia berusaha menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi dengan antan, serta memerintahkan agar gundukan jerami dibakar di sisi timur. Suara antan yang bertalu-talu mengesankan bahwa aktivitas subuh telah dimulai, sementara cahaya dari timur memberi kesan bahwa sebentar lagi matahari akan terbit, sehingga para makhluk halus bersembunyi kembali ke perut Bumi. Akibatnya, hanya 999 candi yang berhasil dibangun sehingga usaha Bandung Bondowoso gagal.
Apa pesan moral dari dongeng itu? menurut saya, pesan moralnya tergantung sudut pandang Sang Pembawa Dongeng. Ketika Bapak saya menceritakan cerita rakyat itu, bisa jadi pesan moral yang beliau sampaikan akan berbeda dengan ketika Guru Bahasa Indonesia saya sedang membawakannya. Dan saat ini ketika saya mengulang cerita itu untuk anda semua, tentu saya akan menyampaikan pesan moral seperti yang ada dalam pikiran saya. Cinta seorang Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang membuatnya bersemangat untuk berjuang memenuhi syarat yang ditetapkan untuk dapat mempersunting Rara Jonggrang. Waktu yang diberikan hanya semalam. Tidak masalah. Toh Bandung Bondowoso sudah punya cara sendiri sehingga waktu semalam pun bagi Bandung Bondowoso adalah waktu yang lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan Sang Pujaan Hati.
Kalau Bandung Bondowoso membuktikan cintanya pada Roro Jonggrang dengan membangun seribu candi, Direktorat Jenderal Pajak juga punya cinta untuk Bendahara Instansi Pemerintah dengan menerbitkan PMK-231/PMK.03/2019 tanggal 31Desember 2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah. Tanda cinta itu tidak berupa gugusan candi, tetapi berupa beberapa perubahan penting yang dirancang untuk mempermudah Instansi Pemerintah dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Dari sekian banyak pokok perubahan yang diatur dalam PMK-231 ini, saya tertarik untuk menggarisbawahi Bab IV Bagian Pertama khususnya pada Pasal 23 tentang batas waktu penyetoran pajak. Berbeda dengan PMK-242/PMK.03/2014 yang menetapkan jangka waktu penyetoran pajak berdasarkan jenis Pajak yang dipotong (PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan sebagainya), PMK-231/PMK.03/2019 membedakan jangka waktu penyetoran berdasarkan kewenangan Instansi Pemerintah yaitu Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, dan Instansi Pemerintah Desa.
PMK-231/PMK.03/2019 Pasal 23, mengatur bagi Instansi Pemerintah Pusat dan Instansi Pemerintah Daerah wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut. Yaitu paling lama tujuh hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, atau pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Langsung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sedangkan bagi Instansi Pemerintah Desa wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong danjatau dipungut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah pelaksanaan pembayaran.
Batas waktu penyetoran PPh dan PPN bagi Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah tujuh hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan. Ya, hanya tujuh hari! Waktu yang terlalu singkat kah?
Sebagai ibu rumah tangga, yang katanya merangkap jabatan sebagai bendahara keluarga, tentu saya memiliki perencanaan khusus dalam mengatur anggaran keluarga. Tidak jarang dana yang sudah saya persiapkan untuk membayar listrik, tiba-tiba saya gunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang mendesak di awal bulan. Yaaa bayar listriknya nanti-nanti dulu lah, batas waktunya masih sampai tanggal sekian, uangnya bisa dipakai untuk yang lain dulu. Semakin Panjang jangka waktu pembayaran yang ditetapkan, akan semakin banyak kemungkinan yang terjadi dan kita akan memberikan semakin banyak toleransi pada diri sendiri untuk menunda-nunda melakukan kewajiban yang seharusnya bisa kita tunaikan secepatnya. Seandainya jangka waktu pembayaran rekening listrik itu diperpanjang, mungkin saya tetap akan membayarkannya di hari-hari menjelang batas akhir pembayaran.
Bandung Bondowoso ketika diberi jangka waktu untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu semalam, ia tidak menunda-nunda mengerjakannya dan terbukti 999 candi itu terselesaikan. Jika Roro Jonggrang tidak segera menggagalkan usaha Bandung Bondowoso, saya yakin 1000 candi itu akan terselesaikan sesuai batas waktu yang ditentukan. Tapi kisah dongengnya akan menjadi berbeda dari yang pernah kita dengar. Demikian halnya jika bendahara Instansi Pemerintah diberi waktu tujuh hari untuk segera melakukan penyetoran atas pajak yang telah dipungut dari transaksi yang dibayarkan menggunakan uang persediaan, tentu tidak banyak ruang bagi bendahara tersebut untuk berpikiran akan menggunakan uang pajak yang telah dipotong/dipungut untuk membiayai transaksi-transaksi lain yang mungkin juga merupakan prioritas bagi tugas instansinya. Semakin panjang jangka waktu yang diberikan akan membuka kesempatan bendahara untuk memanfaatkan uang yang tercatat sebagai saldo di Kas Tunai itu untuk membiayai transaksi yang lain, sehingga besar kemungkinan ketika tiba saatnya menyetorkan pajak tinggallah saldo di Buku Pembantu Pajak karena kas tunai telah berputar di transaksi yang lain.
Jadi, Apakah waktu tujuh hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran menggunakan Uang Persediaan itu terlalu singkat? Semakin cepat bendahara Instansi Pemerintah menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungutnya, semakin terselamatkanlah penerimaan pajak dari transaksi yang dilakukan Bendahara Instansi Pemerintah. Biar Cepat Asal Selamat!
Jika besarnya cinta Bandung Bondowoso mampu membuatnya mencukupkan waktu satu malam untuk membangun candi, terlebih lagi besarnya cinta kita (Bendahara Instansi Pemerintah, khususnya) kepada negeri ini yang mampu mencukupkan waktu tujuh hari untuk menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut ke kas negara.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja
- 270 kali dilihat