Belajar dari Sepakbola Jepang

Oleh: Endra Wijaya Pinatih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Siang itu hujan sangat lebat. Walau dingin menusuk, kedai yang terkenal dengan harganya yang selangit itu tampak ramai. Sambil merenung sembari menggenggam segelas caramel macchiato di tangan kanan, sesekali saya melirik ke arah luar kedai, terlihat seluruh kaca berembun seolah mengafirmasi suhu dingin yang saya rasakan. Pikiran disibukkan oleh pertanyaan teman baik yang sedari tadi duduk saling berhadapan.
Dari sudut pandangnya, kantor pajak hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar Zona Integritas-Wilayah Bebas dari Korupsi, terlihat menggebu-gebu untuk meraih gelar Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani, melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dan menjelaskan tentang pajak ke para siswa, dan mempertanyakan mengapa energi sebesar itu tidak difokuskan untuk menggali potensi penerimaan pajak.
Belajar dari Jepang
Jepang dapat dianggap sebagai salah satu negara yang sangat memperhatikan sektor pendidikan. Pendidikan selalu mengajarkan untuk percaya kepada proses. Pengaplikasian proses itu diterapkan juga dalam dunia sepakbolanya.
Pada 2005, Presiden Federasi Sepakbola Jepang (JFA) saat itu, Aburo Kawabuchi dengan tegas mengumumkan target federasi yaitu menjadi tuan rumah Piala Dunia untuk kedua kalinya sekaligus menjuarai Piala Dunia 2050. Piala Dunia merupakan raihan tertinggi dalam dunia persepakbolaan. Target yang disampaikan Aburo bukan tanpa dasar, empat dari lima tahapan sejak tahun 1991 telah dipastikan berjalan dengan baik. Untuk benua yang tidak memiliki tradisi dalam dunia kulit bundar, target itu hanya terdengar sebagai janji manis semata. Namun faktanya, seperti dilansir FIFA World Rangking per 7 April 2021, Jepang menduduki peringkat 28 dunia sekaligus menahbiskan diri menjadi rangking pertama di Zona Asia.
Tahapan awal dimulai pada 1991 yaitu dengan menghapus liga semi pro dan mengubahnya dengan liga profesional bertajuk “J League”. Tahapan kedua, melakukan pembinaan dan mendidik ribuan bahkan puluhan ribu pelatih jepang dengan harapan pengetahuan dan kemampuan melatih mereka meningkat. Muaranya, jutaan anak-anak Jepang mendapatkan program latihan yang lebih berkualitas. Tahapan ketiga, pembentukan akademi-akademi yang berafiliasi dengan J League. Fase keempat yaitu melahirkan pemain berkualitas sehingga dapat berkompetisi di liga-liga top dunia. Jerih payah itu sebentar lagi akan mereka rasakan dan progresnya pun tampak nyata.
Edukasi Berkesinambungan
Seperti definisinya, menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwasanya pajak memiliki pengertian kontribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat imbalan secara langsung, dipergunakan untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menilik dari salah satu sifat pajak bahwa ketika membayar pajak, dampak atau manfaatnya tidak dapat secara langsung kita rasakan. Melainkan berubah ke dalam bentuk lain yaitu fasilitas-fasilitas negara. Fasilitas negara ini nantinya akan berfungsi untuk menopang mobilitas masyarakat sehari-hari.
Mengubah sesuatu tidak dapat dilakukan hanya dalam satu malam. Negara kita berpedoman pada sistem perpajakan yaitu self-assessment, sistem perpajakan yang menuntut partisipasi aktif wajib pajak dalam melakukan administrasi perpajakannya. Menurut sistem perpajakan ini, besarnya pajak yang terutang ditetapkan oleh wajib pajak. Dalam hal ini, kegiatan menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang dilakukan oleh wajib pajak. Institusi Pajak memiliki peranan hanya mengawasi melalui serangkaian tindakan pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan penyidikan pajak).
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak selaku institusi penghimpun penerimaan negara dari sektor pajak senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi. Mewujudkan tingkat kesadaran pajak diperlukan edukasi terus menerus. Bukan hanya menyasar wajib pajak yang akan membayar pajak, tetapi juga memberikan pemahaman para calon wajib pajak bahwa mereka dapat berkontribusi sekaligus merasa memiliki. Belajar dengan giat serta menjaga dan tidak merusak barang milik negara merupakan salah satu bentuk kontribusi generasi muda terhadap negaranya.
Budaya sadar pajak harus ditanamkan sejak dini untuk membentuk karakter generasi bangsa yang cinta tanah air dan bela negara melalui kesadaran melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bernomor MoU-21/MK.03/2014 dan nomor 13/X/NK/2014 tentang Peningkatan Kesadaran Perpajakan Melalui Pendidikan.
Di samping itu, pelayanan prima juga menjadi dasar dalam membangun kepercayaan dari wajib pajak. Langkah konkretnya adalah dengan membangun Zona Integritas (ZI) Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), yaitu predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen perubahan, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas kinerja. Juga Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang merupakan predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen perubahan, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan penguatan kualitas pelayanan publik.
Ihwal itu menjadi jaminan bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan optimal dan bebas dari praktik suap, gratifikasi, korupsi, dan segala jenis penyalahgunaan wewenang lainnya yang nanti akan berimplikasi kepada kesadaran pajak yang meningkat.
Generasi Emas Indonesia
Kuncinya adalah percaya pada proses. Mengumpulkan pajak memang sangatlah penting. Namun, edukasi perpajakan ke sekolah-sekolah dan pelayanan yang prima layaknya akar dan batang pada sebuah pohon. Dua hal itu menjadi dasar terciptanya kesadaran pajak yang bermuara pada partisipasi aktif masyarakat terhadap pajak sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak nantinya.
Pada 2045, Indonesia akan genap berusia seratus tahun dan memasuki generasi emas (golden generation). Dikatakan demikian, sebab data menunjukan bahwa pada 2045 Indonesia mengalami bonus demografi yaitu penduduk usia produktif mencapai angka mayoritas di Indonesia. Bonus demografi dapat dikatakan sebagai momentum yang pas jika budaya sadar pajak meningkat.
Selaras dengan Jepang melalui Federasi Sepakbolanya (JFA), Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak juga memiliki target dan peta jalan untuk mencapainya. Jika Jepang berani bermimpi meraih gelar piala dunia sepakbola pada 2050, Mengapa tidak dengan Generasi Emas Indonesia 2045?
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 181 kali dilihat