Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Fakta menarik hadir di tengah rencana usulan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas sembako yang memicu polemik itu. Dalam dokumen Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU-KUP) yang tersebar ke publik, ternyata ditemukan juga beleid lain disamping pajak sembako. Beleid itu terkait dengan Bantuan Penagihan Pajak Lintas Negara. Begitu pentingnya pengaturan ini, hingga diletakkan di bagian-bagian awal dalam dokumen RUU KUP yang tersebar.

Apabila pengaturan ini disetujui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan dapat menyita aset penunggak pajak hingga ke luar negeri. Lebih dari itu, Indonesia ternyata telah memiliki bantuan perjanjian penagihan pajak dengan tidak kurang dari 140 negara.

Terkonfirmasi melalui situs resmi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bahwa Indonesia tercatat mengikat perjanjian multilateral dengan negara-negara tersebut melalui Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC) atau Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan. Sebelumnya, Indonesia telah mengikat pengaturan serupa dalam perjanjian bilateral Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan Aljazair, Belgia, Filipina, Venezuela, dan lainnya.

Dengan jumlah negara sebanyak itu, alarm bahaya bagi wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak dan menyembunyikan asetnya di luar negeri. Pasalnya, 140 negara akan siap membantu DJP menyitakan aset pengunggak pajak ini di teritorial mereka. Pemulihan aset dapat dilakukan oleh para pegawai pajak dengan tidak terbatas lagi pada wilayah Indonesia karena luasnya jaringan dengan 140 negara-negara di seluruh dunia.

Hal yang sebelumnya sulit dilakukan DJP karena kendala asas kedaulatan yang telah berlaku umum di dunia internasional. Asas ini menyepakati bahwa suatu negara hanya boleh mengatur urusan pajak di wilayahnya masing-masing. Alih-alih merealisasikan penerimaan, masalah ini justru akan menjadi piutang tak tertagih hingga daluarsa penagihan jatuh tempo tiba. Sungguh disayangkan apabila terjadi sumbatan di leher botol hanya karena tidak kolaboratif dengan negara lain.

Selain itu, karena bersifat resiprokal, negara lain pun boleh meminta Indonesia untuk memulihkan aset warga negara mereka apabila terbukti memiliki aset di Indonesia. Platform kolaborasi ini membutuhkan prinsip simbiosis mutualisme. Kedua pihak harus merasakan manfaat dalam kerja sama ini.

Sebelumnya, Indonesia dipandang setengah hati dalam memberikan bantuan ini. Hal ini disebabkan karena ternyata Indonesia memilih hak untuk tidak menyediakan bantuan penagihan dalam reservasi  perjanjian tersebut. Padahal Indonesia telah memiliki aturan domestik pelaksanaan yang lebih rinci mengenai Bantuan Penagihan Pajak sampai pada level Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yaitu PMK Nomor 189/PMK.03/2020 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-42/PJ/2011. Sejatinya dengan menaikkan isu pengaturan ini pada tingkatan undang-undang menyiratkan tiga hal. 

Pertama, pemerintah berkomitmen dalam menguatkan kerja sama bantuan perpajakan global. Dengan kehadirannya di tataran undang-undang, lengkap sudah jenjang hierarki paket pengaturan sampai ke puncak. Konsekuensi logis dari hal ini dibutuhkan komitmen dalam perealisasiannya. Ada baiknya, pengaturan domestik ini ditindaklanjuti dengan pencabutan reservasi hak tidak menyediakan bantuan penagihan yang dipilih Indonesia dalam MAC. Hal ini akan menaruh kepercayaan masyarakat internasional bahwa Indonesia terbuka untuk membantu menagihkan utang pajak wajib pajak mereka di wilayah Indonesia.

Kedua, pemerintah serius dalam memburu penerimaan pajak. Tidak hanya jago kandang, pemerintah akan mengejar penunggak hingga ke pelosok bumi mana pun. Faktanya, para penunggak pajak yang besar-besar justru memang banyak menyimpan hartanya di luar negeri. Hal ini bertujuan agar aset mereka tidak terdeteksi oleh juru sita pajak. Keseriusan ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja mengenai Pembicaraan Pendahuluan RAPBN Tahun Anggaran 2022 dan RKP tahun 2022  antara Pemerintah dan BI dengan Badan Anggaran DPR pada 31 Mei 2021 lalu. Di sana Bantuan Penagihan Pajak masuk dalam program penguatan administrasi pajak.

Ketiga, agar tidak kehilangan momentum riuhnya era keterbukaan data dan informasi. Data Pertukaran Informasi secara Otomatis (AEoI) atas saldo keuangan yang didapat dari luar negeri tentu akan kontinu diterima DJP setiap tahunnya. Salah satu tindak lanjut dari data yang berisi aset keuangan wajib pajak Indonesia di luar negeri itu adalah dengan melakukan penagihan aktif melalui penyitaan. Ibarat memancing ikan di kolam, ikannya sudah jelas kelihatan banyak namun DJP tidak boleh masuk ke area kolam karena kolamnya dimiliki orang lain. Dengan hadirnya ketentuan ini dibarengi dengan pencabutan reservasi MAC, DJP akan leluasa mengambil ikan di kolam itu karena sudah memiliki izin dari pemilik kolam tersebut.

Mengingat manfaat lebih yang didapat lewat pengaturan ini, nampaknya untuk urusan ini, rakyat Indonesia akan mendukung RUU KUP dapat diketok palu. Terlepas dari polemik atas topik pengaturan lain yang bakal panjang untuk diperdebatkan, kita nantikan saja kelanjutannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.