Aspek Perpajakan atas Jasa Penyiaran

Oleh: Amirul Mukminin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Usaha yang dijalankan oleh badan hukum yang mempunyai usaha di bidang penyiaran antara lain radio, koran cetak, majalah cetak, media online, papan reklame, televisi dan lainnya. Badan hukum ini adalah lembaga penyiaran atau penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan PP Nomor 11 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik.
Dalam pasal 4A UU PPN, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan dikategorikan tidak kena PPN. Dalam penjelasan pasal, jasa ini meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. Penjelasan pasalnya hanya membahas penyiaran radio dan televisi saja, padahal ada juga koran, majalah dan lainnya. Sebagaimana kita ketahui, instansi pemerintah juga melakukan penyiaran, misalnya RRI (Radio Republik Indonesia), TVRI (Televisi Republik Indonesia) serta Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL).
Penjelasan berikutnya dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 155/PMK.03/2012 tanggal 17 Oktober 2012. Apabila disarikan, maka secara implisit jasa penyiaran ada tiga kelompok :
a. jasa penyiaran yang bersifat iklan, ini yang dikenai PPN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iklan adalah: 1. berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. 2. pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum. Maka jasa pemasangan iklan di surat kabar, buku, majalah, tabloid brosur, katalog kalender, billboard, poster, reklame, dan sejenisnya dikenai PPN oleh lembaga penyiaran kepada produsen yang memasang iklan. PPN atas jasa pemasangan reklame agar jangan disamakan dengan pajak reklame yang dikelola oleh pemerintah daerah.
b. jasa di bidang periklanan yang terkait dengan penyiaran yang tidak bersifat iklan, dikenai PPN. Ini untuk penyerahan jasa oleh perusahaan periklanan, rumah produksi (production house), atau pihak lainnya. Perusahaan periklanan (biro iklan) adalah perusahaan yang membantu pengiklan dalam menangani perumusan rencana periklanan (dan program promosi), membuat rancangan iklan, menyiapkan materi iklan hingga mengurus pemasangan iklan di media massa dan media periklanan lainnya. Menurut KBBI, rumah produksi adalah tempat memproduksi film atau klip video dan periklanan adalah hal yang berhubungan dengan iklan. Kita mungkin tidak asing dengan rumah produksi Multivision Plus, Rapi Film, RA Pictures, SinemArt, Frame Ritz dan lainnya.
c. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, tidak dikenai PPN. Ini untuk penayangan pesan layanan masyarakat atau rangkaian pesan layanan masyarakat dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak. Sebagian dari jasa penyiaran yang dilakukan oleh koran, majalah, radio dan televisi bisa masuk di dalam kelompok ini.
Contoh Kasus 1
Suatu perusahaan pemasangan billboard, pada saat peredaran usahanya lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun, maka harus mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ini sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013.
Dalam hal PKP tadi transaksi dengan instansi pemerintah, maka kewajiban pemungutan PPN berada pada instansi pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019. PKP tetap berkewajiban membuat faktur pajak terdiri atas 16 digit dengan kode 020.XXX-XX.XXXXXXXX. Kode depan 02 artinya penyerahan kepada Instansi Pemerintah Pemungut PPN, digit ketiga angka 0 artinya kode status faktur pajaknya normal, bukan faktur pajak penggantian. Instansi Pemerintah menyetorkan PPN yang telah dipungut dengan kode akun pajak 411211, kode jenis setoran 910, 920 atau 930. 910 apabila belanja dari dana APBN, 920 apabila belanja dari dana APBD dan 930 apabila dananya dari APBDes. NPWP dan nama yang tercantum dalam SSP harus menggunakan NPWP dan nama rekanan.
Instansi Pemerintah yang membayarkan tagihan atas iklan, harus memotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari DPP apabila rekanan memiliki NPWP atau 4% dari DPP apabila rekanan tidak memiiki NPWP. NPWP dan nama yang tercantum dalam SSP harus menggunakan NPWP dan nama instansi pemerintah dengan kode akun pajak 411124, kode jenis setoran 104 (jasa lain).
Sebagai ganti pemotongan PPh Pasal 23, Instansi Pemerintah melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018 dengan tarif sebesar 0,5% apabila Wajib Pajak memiliki Surat Keterangan. Surat Keterangan ini menunjukkan bahwa rekanan tadi adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). NPWP dan nama yang tercantum dalam SSP harus menggunakan NPWP dan nama rekanan, dengan kode akun pajak 411128, kode jenis setoran 423 (Final UMKM Pemotongan/Peungutan).
Contoh Kasus 2
Instansi Pemerintah membayarkan tagihan kepada PKP yang mengelola surat kabar atas pemasangan iklan layanan masyarakat, misal: pemberitahuan bahwa vaksin sudah datang atau vaksinasi tahap pertama sudah dimulai. Maka tidak ada PPN yang harus dipungut oleh instansi pemerintah karena jasanya berupa jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan. Adapun PPh-nya, harus dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atau PPh Final Pasal 4 ayat (2), seperti pada Kasus 1.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 3474 kali dilihat