Apakah Sepeda Wajib Dilaporkan dalam SPT Tahunan? Inilah Alasannya

Oleh: Rachmat Fadloli Zakaria, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan ini, sudah menjadi hal yang lazim bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengingatkan kewajiban Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi dan Badan.
Di sisi lain, hobi bersepeda sedang naik daun sehingga kesempatan ini dimanfaatkan DJP untuk memberikan edukasi pada Wajib Pajak agar sepeda, apapun jenis dan mereknya, harus dicantumkan dalam SPT Tahunan.
Namun, respon masyarakat cenderung salah persepsi. Ada yang beranggapan jika sepeda akan “dipajaki” lagi dan beberapa respons negatif lainnya yang beredar di masyarakat. Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan DJP terkait hal ini?
Kewajaran Penghasilan dan Harta
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009 menyebutkan, setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas.
Memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan, fungsi mengisi dan menyampaikan SPT adalah sebagai sarana pelaporan dan pertanggungjawaban penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang pelunasan pajak, penghasilan yang merupakan objek dan/atau nonobjek pajak, daftar harta dan kewajiban, serta pembayaran atas pemotongan atau pemungutan pajak.
Sementara itu, yang dimaksud benar, lengkap, dan jelas adalah melakukan penghitungan pajak yang benar berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, seluruh unsur yang berkaitan dengan objek pajak beserta unsur lain harus dilaporkan dengan lengkap, dan melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT dengan jelas.
Berdasarkan penjelasan diatas, dalam ihwal SPT Tahunan, seluruh harta harus didaftarkan dalam pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak sebagai wujud penyampaian kronologi seluruh kekayaan yang didapatkannya. Kenapa harus dicantumkan? Karena harta dalam SPT Tahunan adalah salah satu patokan bagi fiskus untuk menilai kewajaran penghasilan yang diperoleh dan harta yang dimiliki pada tahun pajak itu.
Jika harta yang dimiliki lebih besar dari penghasilan yang diperoleh, kemungkinan wajib pajak mendapatkan harta tersebut dengan cara mengangsur atau membelinya secara kredit. Jika harta yang dimiliki seimbang dengan penghasilan yang diperoleh, maka wajib pajak cenderung konsumtif dan penghasilan itu digunakan untuk menambah kekayaan yang bersangkutan. Sedangkan, jika harta yang dimiliki lebih kecil dari penghasilan yang diperoleh, maka bisa saja wajib pajak tidak melaporkan beberapa atau seluruh harta yang ia miliki.
Maka, semua asumsi tersebut harus dibuktikan dengan melaporkan seluruh penghasilan dan harta dengan benar, lengkap, dan jelas.
“Melatih” Literasi Keuangan
Menurut Dr. Mubyarto dalam bukunya yang berjudul Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia, setiap pertambahan pendapatan atau penghasilan akan menyebabkan pertambahan konsumsi dan tabungan. Maka, terdapat korelasi antara penghasilan wajib pajak dan harta yang dimilikinya. Jika penghasilan yang diperoleh tidak digunakan untuk menabung atau berinvestasi, maka pasti akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau melakukan kegiatan konsumsi.
Dalam SPT Tahunan, tersedia kolom untuk menjelaskan penghasilan, biaya, modal, harta, dan kewajiban wajib pajak. Secara sadar ataupun tidak sadar, wajib pajak dapat belajar untuk mengerti dan memahami kondisi finansialnya sendiri.
Memang, tidak semua wajib pajak mempunyai struktur pembukuan keuangan yang lengkap dikarenakan kondisi dan kemampuannya. Namun, DJP memberikan keleluasaan bagi wajib pajak untuk melakukan pencatatan sederhana hanya dengan mencatat penghasilan yang diperoleh, termasuk penghasilan nonobjek pajak dan/atau penghasilan yang bersifat final, dan seluruh harta beserta utang yang dimiliki dalam suatu tahun pajak.
Harta yang dimaksud bermacam-macam, mulai dari uang dalam rekening, tabungan, tanah dan bangunan, produk investasi, ponsel, kendaraan bermotor, termasuk sepeda.
Maka untuk menghindari kebingungan dalam mengisi kolom harta, sebaiknya wajib pajak menginventarisasi seluruh harta yang dimiliki dalam buku tersendiri, dapat menjelaskan apakah harta tersebut dimiliki dengan membeli secara tunai ataupun kredit, dan tentunya harta tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi ataupun untuk menambah modal agar dapat mendapatkan penghasilan.
Polemik Sepeda dalam SPT Tahunan
Kembali kepada permasalahan, banyak sekali respons dan pendapat masyarakat yang perlu diluruskan tentang pelaporan sepeda dalam SPT Tahunan. Perlu ditegaskan lagi bahwa tidak ada niatan DJP untuk “memajaki” sepeda sebagaimana perlakuan pajak pada kendaraan bermotor yang rutin kita setorkan setiap tahun kepada Pemerintah Daerah. Karena sejatinya, sepeda yang kita beli adalah buah dari penghasilan yang kita dapatkan, lalu kita memutuskan untuk mengalokasikannya untuk membeli sepeda impian. Oleh karena itu, perlu bagi DJP mengetahui penghasilan wajib pajak yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau untuk menambah aset dan kekayaannya.
Dengan dicantumkannya sepeda dalam SPT Tahunan, berarti DJP dapat menilai bahwa penghasilan yang diperoleh wajib pajak ada yang dialokasikan untuk membeli sepeda dengan jenis dan merek tertentu sehingga pajak yang disetorkan wajib pajak kepada kas negara menjadi wajar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak kurang dan tidak lebih.
Pada akhirnya, diharapkan DJP senantiasa memberikan edukasi kepada wajib pajak tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, dan untuk Wajib Pajak, hal ini dapat memberikan pelajaran untuk melaporkan SPT Tahunan dengan akuntabel sehingga terwujud wajib pajak yang patuh secara sukarela.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja
- 226 kali dilihat