Bendaharawan Tanpa Tanda Jasa
Oleh: Bayu Arti Nugraheni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ungkapan "Jer Basuki Mawa Beya" adalah ungkapan yang tidak asing bagi orang Jawa. Bahkan Provinsi Jawa Timur mengabadikan tulisan itu pada lambang daerahnya. Untuk mencapai kebahagiaan diperlukan pengorbanan, begitu terjemahan resminya. Saya lebih suka menerjemahkan dengan bahasa sederhana saya sendiri. "Basuki" artinya sejahtera, "mawa beya" artinya perlu biaya. Untuk mencapai kesejahteraan ya tentu ada biaya yang harus dikeluarkan, begitu terjemahan versi saya. Kata-kata itu seringkali saya ucapkan sekadar untuk mengingatkan saya dan anak-anak-saya bahwa segala sesuatu yang indah itu perlu perjuangan. Dunia saat ini memang menawarkan banyak hal yang serba instan, tetapi mie instan pun diseduhnya harus dengan air panas. Se-instan-instan-nya mie instan, dia tetap membutuhkan perjuangan untuk menikmatinya. Jadi ungkapan "Jer Basuki Mawa Beya" tadi tetaplah relevan di dunia yang serba instan saat ini.
Demikian juga sebuah negara, berdiri teguh dengan rakyat yang sejahtera, tentu ada harga yang harus dibayar. Lantas apakah saya harus menerjemahkan biaya itu sebagai pajak yang harus dibayar? Jangan berburuk sangka dulu. Saya tidak sedang ingin berbicara terlalu makro. Saya sedang ingin menghargai pahlawan-pahlawan kecil yang sedang bekerja mengoperasikan negeri ini. Orang-orang yang bekerja memastikan bahwa operasional di suatu satuan kerja, khususnya instansi pemerintah dapat berjalan dengan baik. Memikirkan bagaimana setiap Aparatur Sipil Negara yang menjadi bagian dari satuan kerjanya menerima hak atas gaji dan segenap tunjangan dengan perhitungan yang tepat dan di waktu yang tepat. Memastikan bahwa dana operasional di kantornya dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga setiap kebutuhan pegawai dan kebutuhan pihak-pihak lain yang menjadi stakeholder pada satuan kerjanya dapat terlayani dengan optimal. Meyakinkan pihak manapun yang sewaktu-waktu memeriksa setiap detail laporan pertanggungjawabannya akan menemukan akuntabilitas yang baik dari anggaran yang digunakannya. Karena "Jer Basuki Mawa Beya" dan segala tujuan yang ingin dicapai suatu instansi itu membutuhkan biaya, maka harus ada orang yang mengelola biaya-biaya tersebut. Dan pahlawan kecil yang saya maksudkan tadi bernama 'Bendaharawan'.
Suatu hari seorang bendaharawan menghampiri help desk tempat saya bertugas dan menyampaikan uneg-unegnya.
"Pekerjaan saya itu banyak. Kalau harus ribet dengan hitung-hitungan pajak belum lagi aplikasi eSPT, nanti pekerjaan saya yang lain nggak selesai," ungkapnya
"Transaksi jasa katering, potong PPh 23 titik. Nah kalau rekanannya Wajib Pajak Orang Pribadi, mestinya menggunakan perhitungan PPh 21 dong. Ah ribet! Mana yang lebih tinggi saja lah, biar nanti kalau diperiksa tidak dianggap merugikan negara," lanjutnya
"Transaksi Pembelian Barang di atas 1 juta tanpa faktur pajak. Supaya aman bila suatu hari nanti ada pemeriksaan internal maupun eksternal instansi, maka pajaknya harus dibayar. PPN yang mestinya disetor menggunakan NPWP pihak yang dipungut/rekanan akhirnya disetor menggunakan NPWP bendaharawan. Kan yang penting pajaknya disetor!"
"Transaksi pembelian kue-kue untuk seminar, pajaknya ikut PPh 23 jasa katering yang 2% atau dianggap pembelian barang PPh 22 yang 1,5%? Mana yang lebih tinggi sajalah, biar aman. Kan yang penting pajaknya disetor!" imbuhnya.
Saya hanya menyebutkan contoh-contoh kasus yang seringkali menjadi pergumulan dalam benak bendaharawan. Mana jawaban yang benar? Silahkan dikonsultasikan ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat!
Seperti berdiri dengan kedua kaki, kaki kanan dan kaki kiri. Ketika harus berjalan pun, kedua kaki juga dilangkahkan bergantian. Seiring seirama. Menjalankan aturan perbendaharaan tetapi juga harus memahami aturan perpajakan. Dan melangkahkannya bersama bergantian. Menjalankan tugas mengelola keuangan dengan berpedoman pada aturan perbendaharaan, kemudian menerapkan aturan perpajakan beriringan dengan aturan perbendaharaan yang dilaksanakan. Menguji setiap tagihan yang diajukan, membayar uang senilai yang ditransaksikan sekaligus juga mengamankan uang pajak dari setiap transaksi tersebut. Kemudian menceritakannya dalam Buku Kas Umum dan sederet buku-buku pembantu lainnya termasuk Buku Pajak. Melaporkan pembukuannya kepada instansi terkait dan melaporkan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak. Klop!
Alangkah indahnya jika pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan bendahara tersebut sesuai dengan aturan perpajakan. Bukan hanya sekadar 'cari aman', memang harus cari aturan. Direktorat Jenderal Pajak beserta jajarannya pasti siap mendampingi para bendaharawan untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Help desk Kantor Pelayanan Pajak dan Kring Pajak bahkan saluran-saluran konsultasi yang lain siap menanti Anda. Kesejahteraan negeri ini juga ditopang oleh rupiah demi rupiah yang dikelola bendahara. Tentu ada konsekuensi yang harus dihadapi untuk sebuah cita-cita mewujudkan kesejahteraan negeri ini. Termasuk konsekuensi logis bahwa bendahara akhirnya harus 'mau repot' untuk dapat mewujudkan pembukuan yang benar dengan pembayaran pajak yang tepat.
"Jer Basuki Mawa Beya!"(*)
*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja
- 228 views