Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memegang amanah untuk menghimpun penerimaan dari sektor pajak. Seperti telah diketahui, pajak selalu memegang peranan penting dalam penerimaan negara. Sebagai contoh, pada tahun 2019, target penerimaan pajak adalah sebesar 1.577,6 triliun rupiah, target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar 209,8 triliun rupiah dan target penerimaan negara bukan pajak 378,3 triliun rupiah. Dengan target penerimaan sebesar itu, tentu saja memerlukan bukan hanya upaya yang maksimal dari DJP, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan masyarakat.

Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target penerimaan tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah melalui peningkatan kualitas bagian Hubungan Masyarakat (Humas) organisasi. Humas mempunyai peran penting dalam organisasi, baik itu berkaitan dengan komunikasi ke dalam (internal) dan juga ke luar organisasi (eksternal). Humas berperan dalam membangun komunikasi positif kepada wajib pajak. Komunikasi inilah yang diharapkan akan berperan dalam meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada pentingnya kehumasan dalam hubungan eksternal. Penerimaan pajak, salah satunya adalah peranan dari kinerja humas yang berkualitas.

Humas, Good News is a Good News

Kehumasan adalah seni. Sebagai suatu seni, humas memerlukan bukan hanya kerja keras, namun juga memerlukan kreativitas dalam mencapai tujuan. Sebagai suatu seni, hasil dari kehumasan tidak bisa hanya dinilai dari kuantitas, namun juga dari kualitas dan peranannya bagi suatu organisasi. Kehumasan menjadi alat komunikasi yang efektif bila dijalankan dengan baik.

Keberhasilan humas, secara umum, akan berdampak pada hasil yang diharapkan oleh organisasi. Humas berperan dalam menciptakan pengertian dan pemahaman oleh pihak yang berkepentingan. Baik itu ke dalam maupun ke luar. Suatu organisasi, terutama organisasi pemerintah, harus mampu menghasilkan frekuensi pemahaman yang sama dengan publik. Dengan pemahaman yang sama, maka dukungan akan lahir dari jiwa.

Sehubungan dengan organisasi DJP, kehumasan menjadi jembatan antara fungsi yang diemban organisasi dengan wajib pajak. Organisasi yang bertugas menghimpun penerimaan negara harus mendapatkan frekuensi kesadaran yang sama oleh wajib pajak dalam hal urgensi pajak bagi negara. Pajak adalah tulang punggung penerimaan, tanpanya maka negara akan sulit berjalan. Oleh karenanya, wajib pajak harus memahami hal tersebut.

Patut disadari, sistem perpajakan kita menganut self assessment system. Sistem ini memerlukan keaktifan dari wajib pajak untuk mendaftarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Kunci utama dari sistem ini adalah kepatuhan sukarela. Ada beberapa hal yang menjadi alasan, namun salah satu alasan yang cukup nyata menurut penulis adalah terbatasnya jumlah fiskus yang mengawasi wajib pajak.

Sri Mulyani pernah memaparkan pada tahun 2017, jumlah pegawai DJP adalah sekitar 40 ribu pegawai, sedangkan jumlah wajib pajak telah mencapai 32 juta orang pada waktu itu. Dengan perbandingan seperti itu, cara yang penulis anggap sama utamanya dengan pengawasan yang berkualitas adalah melalui mendorong budaya patuh secara sukarela.

Kepatuhan sukarela timbul melalui persepsi yang tepat mengenai tugas DJP. Persepsi timbul melalui informasi positif yang diberikan. Melalui berbagai informasi positif tersebut, maka akan timbul tindakan kepatuhan. Informasi negatif menimbulkan rasa penolakan, sedangkan informasi positif menimbulkan keinginan untuk patuh. Good news is a good news bagi kehumasan.

DJP sebagai suatu organisasi pasti tidak sempurna. Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, namun bukan berarti tidak ada perbaikan harus diakui. Humas bekerja untuk memberitakan perbaikan dan nilai positif yang dilakukan DJP. Menjadi jembatan rasa antara negara dan masyarakat sesungguhnya yang dilakukan, bukan semata-mata antara DJP sebagai organisasi dan wajib pajak.

Rasa Keterikatan, Kunci Kepatuhan Sukarela

Patut diakui, banyak masyarakat yang masih merasa asing akan manfaat pajak bagi mereka. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah mendapatkannya, namun ‘rasa’ itu mungkin belum sepenuhnya terbit. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, namun yang lebih penting tindakan apa yang telah dilakukan untuk menerbitkan budaya keterikatan emosi antara manfaat pajak dan masyarakat.

DJP, khususnya melalui peran kehumasan telah berupaya menciptakan budaya karakter sadar pajak. Salah satunya melalui kegiatan Pajak Bertutur yang merupakan bagian dari “Inklusi Kesadaran Pajak”. Kegiatan yang terfokus pada para pelajar serta mahasiswa ini bertujuan mewujudkan generasi emas Indonesia yang bukan hanya cerdas namun juga sadar pajak. Selain itu telah ada upaya bersama DJP dan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti untuk menanamkan kesadaran pajak kepada peserta didik dan tenaga pendidik. Caranya melalui integrasi materi kesadaran pajak dalam pendidikan.

Kesadaran pajak itu bertitik mula pada lima nilai. Pertama, membayar pajak mengandung nilai religius. Hal ini adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ke dua, membayar pajak mengandung nilai nasionalis, bahwa tujuan pembayaran pajak adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pembangunan negara. Ke tiga, membayar pajak mengandung nilai mandiri. Dengan terkumpulnya pajak, maka diharapkan negara tidak perlu berutang untuk pembiayaan negara. Ke empat, membayar pajak mengandung nilai integritas. Dengan sistem self assessment, ada kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya. Kepercayaan tersebut memerlukan integritas bukan hanya dari fiskus namun juga dari wajib pajak itu sendiri. Dan yang terakhir, pajak mengandung nilai gotong royong. Dengan pembayaran pajak, maka ada semangat gotong royong dalam membangun perekonomian nasional.

Humas memegang peranan dalam mewujudkan masyarakat yang sadar pajak, khususnya pada generasi muda. Penciptaan karakter dan budaya sadar pajak bukan hanya pekerjaan satu atau dua tahun, namun memerlukan kesabaran dan konsistensi dalam melakukannya. Berbagai informasi positif yang ada di DJP harus diketahui masyarakat. Melalui peran humas, pesan itu harus sampai ke masyarakat.

Kerja Humas, Kerja DJP

Selain untuk tujuan mewujudkan generasi sadar pajak, humas juga berupaya meningkatkan pesan positif serta penjelasan tentang kerja DJP kepada masyarakat, khususnya pada wajib pajak. Pesan positif serta penjelasan yang disampaikan berulang, diharapkan akan meningkatkan kepatuhan sukarela.  Informasi yang benar tentang DJP wajib disampaikan, sehingga frekuensi organisasi dan masyarakat dapat berjalan seimbang.

Sebuah penelitian menunjukkan, kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dipengaruhi oleh sikap wajib pajak yang lain. Bila populasi kepatuhan besar dan menjadi budaya, maka akan mempengaruhi wajib pajak yang tidak patuh. Kerja humas memang sering kali tidak terlihat secara langsung pada penerimaan pajak, namun sesungguhnya ketika humas berhasil menciptakan budaya sadar pajak, di sanalah hasil kerja humas sesungguhnya.

Namun, humas tidak dapat bekerja sendiri. Pada dasarnya, setiap fiskus dan masyarakat yang peduli pajak adalah jembatan komunikasi kepada mereka yang belum sadar tentang pentingnya pajak. Fiskus yang bekerja dengan penuh tanggung jawab dan integritas menjadi cerminan dari karakter DJP. Pesan ini akan menjadi sangat kuat kepada masyarakat. Masyarakat yang sadar pajak, bisa menjadi penyampai pesan kepada masyarakat lainnya. Karena sesungguhnya, kerja humas adalah kerja DJP. Kerja DJP adalah untuk negara Indonesia. Yakni untuk mencapai tujuan sesungguhnya, kemakmuran untuk seluruh rakyat.  (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.