Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Tengah II Etty Rachmiyanthi menjadi narasumber dalam Grand Seminar National Economic Events 2024 di Lantai 6 Laboratorium Terpadu FEB Unsoed, Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas (Selasa, 24/9).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Himesbang Unsoed).

“Pajak karbon ini merupakan paket kebijakan yang cukup baru di Indonesia dan menjadi trust issue bagi mahasiswa. Melalui seminar ini, harapannya, mahasiswa dapat lebih memahami tentang penerapan pajak karbon di Indonesia dalam kaitannya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050,” ungkap Arif Andri Wibowo, S.E., M.E., CRA. selaku moderator yang memandu jalannya acara.

Etty Rachmiyanthi sebagai narasumber seminar menjelaskan tentang fungsi pajak di Indonesia. “Pajak itu memiliki dua fungsi. Yang pertama, fungsi budgeter atau sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk kemakmuran rakyat dan fungsi regulerend atau mengatur, untuk menerapkan kebijakan pemerintah di masyarakat.”

Dilatarbelakangi oleh dampak perubahan iklim global, Indonesia berkomitmen untuk melakukan pengendalian perubahan iklim salah satunya melalui instrumen kebijakan fiskal. “Carbon pricing/ Nilai Ekonomi Karbon merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim,” terang Etty.

Lebih lanjut ia memaparkan, Nilai Ekonomi Karbon ini dilakukan melalui instrumen perdagangan berupa Perdagangan Ijin Emisi (Emission Trading System/ETS) dan Offset Emisi (Crediting Mechanism), dan instrumen nonperdagangan, berupa pajak atau pungutan atas karbon dan Result Based Payment atau pembayaran yang diberikan atas hasil penurunan emisi.

Pemberlakuan pajak karbon di Indonesia lebih ke arah fungsi regulerend atau mengatur karena bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ekonomi agar dapat beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang lebih rendah karbon, mendukung penurunan emisi gas rumah kaca dalam jangka menengah dan panjang, serta mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, serta ramah lingkungan.

Objek Pajak karbon hanya dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. “Selain menerapkan prinsip adil melalui polluters-pay-principle, penerapan pajak karbon juga memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas dan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat,” jelas Etty.

Lebih lanjut Etty menjelaskan, pajak karbon akan dikenakan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon di Indonesia. Peta jalan pajak karbon sudah dimulai pada 2021 melalui UU HPP dan di tahun 2022 dengan penerapan pajak karbon (cap & tax) secara terbatas pada PLTU Batubara dengan tarif Rp30.000/tCO2e. “Sedang, untuk peraturan pelaksanaannya, masih digodok karena harus sesuai dengan fundamental perpajakan Indonesia, yaitu membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel,” ujar Etty.

“Pajak karbon akan diberikan secara terbatas dan saat ini hanya diberlakukan kepada produsen, selain itu diharapkan pasar karbon juga dapat berkelanjutan, dengan begitu fungsi pajak sebagai sumber penerimaan dan fungsi regulerend untuk mengatur kehidupan terpenuhi,” pungkas Etty.

 

Pewarta: Meirna D
Kontributor Foto: Singgih DJ, Setyo Arif P
Editor:

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.