"Keberhasilan strategi administrasi perpajakan di satu negara tidak berarti akan menghasilan kesuksesan yang sama di tempat lain," tutur Head of Delegation Papua Nugini dalam Head of Delegation Sesi ke-4 di Pelataran Borubudur Heritage Convention Center pada pertemuan tahunan SGATAR ke-49 hari kedua (Kamis, 24/10).

Sam Koim memaparkan terkait update tax reform di Papua Nugini dan berdasarkan pengalamannya, setiap negara menyajikan serangkaian tantangan unik dalam mengatasi ketidakpatuhan.

“Papua Nugini memiliki berbagai tantangan unik sehingga reformasi harus dirancang kompatibel dalam mengatasi tantangan tersebut. Tantangan yang dihadapi antara lain tingkat kepatuhan yang berkisar pada angka 9%, gross under-reporting, utang sebesar K5 miliar, dan prevalent fraud dalam GST,” tambah Sam Koim.

Oleh karena itu, Papua Nugini menyusun Strategi Pendapatan Jangka Menengah (MTRS) 2018-2022, yang diadopsi oleh Pemerintah Papua Nugini pada November 2017. Pada MTRS tersebut, Papua Nugini menetapkan jalur untuk transformasi IRC menjadi administrasi pajak yang modern dan efisien untuk mendukung kebutuhan pembangunan Papua Nugini, didukung oleh IMF dan Bank Dunia.

“Papua Nugini telah melakukan beberapa reformasi, di antarnya Reformasi Legislatif UU Administrasi Pajak (“TAA”), penyederhanaan UU Pajak Penghasilan menggantikan UU 1959, peluncuran Pajak Keuntungan Modal dan Usaha Kecil Menengah, pendirian Kantor Wajib Pajak Besar (LTO), dan pembentukan sembilan proyek MTRS,” jelasnya.

Dalam paparan tersebut, terdapat beberapa hal yang digarisbawahi dari penilaian organisasi sebelum reform di antaranya adalah inefisiensi dalam pencatatan dan pengawasan, produktivitas yang rendah, sistem yang lemah, kurangnya keahlian, koordinasi dan monitoring, serta disrupsi perubahan.

“Dalam memanajemen disrupsi perubahan, dilakukan beberapa tahapan yaitu melalui RAS, SIGTAS, dan ITAS. Proses ini merupakan perubahan bertahap dari sistem manual menjadi kalkulasi otomatis dan sistem eportal,” tutup HoD Papua Nugini tersebut.