Oleh: (Fatikha Faradina), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dengan diluncurkannya Coretax pada awal tahun 2025, Indonesia tengah memasuki babak baru dalam modernisasi administrasi kependudukan dan perpajakan. Sebelumnya, per 14 Juli 2022, bertepatan dengan Hari Pajak Nasional, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK. 03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah memprakarsai reformasi sistem perpajakan di Indonesia.

Sejak saat itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberlakukan ketentuan mengenai pemadanan nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kebijakan ini merupakan langkah revolusioner menuju penerapan single national identity, satu identitas nasional yang digunakan lintas layanan publik.

Pemadanan ini merupakan bagian dari agenda besar reformasi birokrasi dan transformasi digital pemerintah. Dengan sistem yang terintegrasi, masyarakat tidak lagi harus memiliki banyak nomor identitas untuk berbagai keperluan administrasi. Cukup dengan NIK yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP), seseorang dapat dikenali dalam sistem perpajakan, kependudukan, maupun layanan publik lainnya.

Langkah strategis ini bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga tentang keamanan data, transparansi, dan kemudahan layanan. Melalui integrasi ini, DJP di bawah naungan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dalam membangun fondasi data-driven government, yaitu pemerintahan yang berbasis data tunggal, akurat, dan saling terhubung.

Menuju Era Tanpa Kartu NPWP

Walaupun hingga saat artikel ini ditulis, belum ada aturan yang secara resmi menyatakan bahwa kartu NPWP tidak perlu lagi dicetak, arah kebijakan DJP sudah jelas, kita sedang bergerak menuju era digitalisasi tanpa kartu fisik. Kini, DJP mulai melakukan diseminasi kepada penyedia layanan publik, mulai dari instansi pemerintah hingga perbankan, untuk tidak mensyaratkan NPWP fisik lagi. Cukup dengan KTP, semua urusan bisa diselesaikan karena NIK sudah berfungsi sebagai NPWP yang sah melalui pengecekan pada sistem Coretax.

Langkah ini bukan hanya tentang efisiensi, melainkan juga soal keamanan data pribadi. Dulu, tidak jarang kartu NPWP disalahgunakan, misalnya dipakai membuka rekening tanpa izin, atau bahkan digunakan dalam transaksi yang tidak benar. Dengan sistem baru yang berbasis NIK, proses validasi kini dilakukan langsung melalui basis data terpadu antara DJP dan Dukcapil. Artinya, setiap identitas bisa diverifikasi secara digital dan lebih akurat tanpa harus menyalin atau membawa kartu fisik ke mana-mana.

Namun, perjalanan menuju sistem tunggal ini tidak terjadi dalam semalam. DJP saat ini masih berada dalam fase transisi, di mana integrasi NIK sebagai NPWP tunggal sedang disempurnakan. Tahapannya meliputi pemadanan data wajib pajak, penyelarasan sistem di berbagai lembaga seperti perbankan dan pemerintah daerah, hingga pengujian melalui Coretax, sistem inti baru DJP yang menjadi fondasi transformasi digital perpajakan Indonesia.

Selama masa transisi ini, DJP masih menjalankan dua nomor secara paralel di database, NPWP 15 digit (format lama) dan NIK/NPWP 16 digit (format baru). Namun, ke depan, hanya NIK-lah yang akan berlaku sebagai identitas pajak tunggal.

Bagi masyarakat yang masih membutuhkan kartu NPWP fisik, misalnya karena lembaga tertentu belum memperbarui sistemnya, DJP tetap menyediakan opsi pencetakan kartu NPWP di kantor pajak terdekat dengan melengkapi dokumen yang disyaratkan. Namun, besar kemungkinan, layanan ini akan perlahan dihentikan setelah penerapan penuh sistem berbasis NIK secara nasional.

Pelajaran dari Negara Lain

Langkah Indonesia untuk mengintegrasikan NIK dan NPWP bukanlah hal baru di dunia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkan sistem identitas tunggal lintas sektor dan hasilnya terbukti mampu meningkatkan efisiensi pelayanan publik sekaligus mempersempit ruang penyalahgunaan data.

Korea Selatan, misalnya, telah menggunakan resident registration number (RRN) sejak tahun 1968. Nomor ini menjadi identitas tunggal warga negaranya untuk berbagai keperluan, mulai dari administrasi kependudukan, pajak, jaminan sosial, hingga perbankan. Sistem ini memungkinkan otoritas pajak mereka, National Tax Service (NTS), melakukan validasi data secara real time tanpa memerlukan kartu fisik tambahan.

Di Singapura, konsep serupa diterapkan melalui national registration identity card (NRIC). Nomor NRIC berfungsi sebagai nomor identitas nasional yang terhubung dengan berbagai lembaga, termasuk Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). Setiap wajib pajak cukup memasukkan nomor NRIC saat mengakses layanan pajak daring, tanpa harus memiliki kartu pajak terpisah.

Sementara itu, Finlandia menjadi salah satu pelopor integrasi identitas nasional di Eropa. Sejak tahun 1960-an, negara tersebut menerapkan personal identity code, satu nomor unik yang digunakan untuk keperluan perpajakan, layanan kesehatan, hingga pendidikan. Dengan integrasi data yang kuat, Finlandia berhasil menekan beban administrasi publik secara signifikan dan menciptakan sistem yang transparan, efisien, serta minim duplikasi.

Berkaca dari pengalaman negara-negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa integrasi identitas bukan hanya soal kemudahan teknis, melainkan juga bagian dari strategi besar dalam membangun tata kelola pemerintahan modern yang berlandaskan kepercayaan dan efisiensi.

Menuju Identitas Tunggal Nasional

Langkah Indonesia menuju single national identity melalui pemadanan NIK dan NPWP kini berada di jalur yang tepat. Tantangannya memang tidak mudah. Pemutakhiran data, penyelarasan sistem antarinstansi, dan peningkatan literasi digital masyarakat perlu dilakukan. Namun, jika melihat pengalaman negara lain, hasil akhirnya sepadan, yaitu terciptanya sistem yang lebih efisien, aman, dan dipercaya publik.

Integrasi NIK dan NPWP adalah langkah strategis dalam transformasi digital pelayanan publik. Tujuannya sederhana tetapi berdampak besar, yakni mempermudah wajib pajak, memperkuat akurasi data, dan membangun sistem perpajakan yang efisien, transparan, serta minim penyalahgunaan.

Mungkin dalam waktu tidak lama lagi, kita benar-benar tak akan lagi melihat kartu NPWP di dompet sebab satu identitas sudah cukup untuk semua urusan. Cukup dengan KTP, identitas pajak melekat langsung di dalamnya. Inilah arah masa depan administrasi perpajakan Indonesia: satu nomor, satu identitas, dan satu langkah besar menuju ekosistem digital yang lebih terpercaya.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.