Tetap Produktif Meski Bekerja Dari Rumah
Oleh: Nur Hasanah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Karakteristik penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) yang mudah, cepat, dan luas berdampak terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Hingga saat ini, belum ditemukannya vaksin dan terdapat keterbatasan pada alat serta tenaga medis memperparah dampak tersebut.
Tak hanya itu, efek domino yang ditimbulkan terjadi pada aspek lainnya, di antaranya aspek sosial, ekonomi, serta keuangan negara. Pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar membuat kegiatan sosial tertunda. Hal ini berimbas juga pada aspek lainnya.
Sebut saja aspek ekonomi. Pola konsumsi masyarakat berubah. Terhentinya aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja di berbagai kelompok usaha, membuat kinerja ekonomi menurun secara tajam.
Berbagai dampak tersebut secara langsung memberikan perubahan pada stabilitas ekonomi, tekanan pada penerimaan Negara dan kenaikan pada anggaran belanja Negara.
Untuk menangulanginya, Pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan pandemi tersebut. Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah diresmikan DPR sebagai undang-undang (UU) pada Selasa, 12 Mei 2020 lalu, memberi landasan hukum bagi pemerintah dalam menjalankan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19 dalam rangka menghadapi ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.
Pada kesempatan Live Streaming Townhall, Jumat (19 Juni 2020), Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyampaikan total biaya yang harus dikeluarkan Negara untuk penanganan Covid-19 total sebesar Rp695,20 triliun.
Jumlah tersebut meliputi sektor kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,90 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, serta sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah (Pemda) sebesar Rp106,11 triliun.
Tak hanya sisi negatif, Covid-19 secara langsung mendorong kita semua untuk terus bergerak dan bertahan. Ia menciptakan tantangan baru berupa perubahan pola kerja. Seluruh jajaran Kemenkeu harus saling membantu, produktif, dan terlibat dalam akselerasi penanganan Covid-19 ini.
Selain itu, pandemi ini diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas komunikasi publik menjadi lebih baik. Komunikasi publik yang baik akan mengajak semua stakeholder memberikan masukan konstruktif sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat dalam menggenjot pemulihan ekonomi nasional.
Sejatinya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah melakukan mitigasi risiko berbasis web dan mobile apps terhadap kasus penyebaran Covid-19 khususnya pada internal Kemenkeu sendiri. Sejak dinyatakan sebagai bencana nasional, Kemenkeu telah menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (Work From Home/WFH). Bagi sebagian orang, bekerja dari rumah memang menyenangkan karena tidak perlu terjebak kemacetan lalu lintas untuk perpindahan lokasi dari satu tempat ketempat lainnya.
Dalam masa transisi menuju Tatanan Kenormalan Baru, Kemenkeu melakukan survei aspirasi pegawai yang ditujukan untuk mengevaluasi sekaligus mengikutsertakan seluruh jajaran Kemenkeu secara langsung mengambil peran dalam pengambilan kebijakan.
Hasil survei terhadap 12.174 pegawai Kemenkeu baik di pusat maupun daerah, dengan keterwakilan dari berbagai karakter demografi yang ada di Kemenkeu, menyebutkan rata-rata pegawai bekerja saat WFH terbagi menjadi 3 (tiga) bagian. Sebanyak 24.84% lebih banyak dari jam kerja normal, 31.98% lebih sedikit dari jam kerja normal,dan 43.18% sesuai dengan jam kerja normal Kemenkeu (8,5 jam).
Sebanyak 51,90% responden menyatakan terjadi peningkatan efektifitas dalam bekerja sejak pemberlakuan WFH, sebanyak 34,82% menyatakan kurang lebih sama, sedangkan 13,28% sisanya menyatakan kurang efektif.
Hal ini membuktikan bahwa dalam bekerja, seluruh jajaran Kemenkeu tetap produktif walaupun bekerja dari rumah (WFH). Meski begitu, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapai dalam menjalankan kebijakan WFH ini. Tiga tantangan terbesar dalam perubahan pola kerja di Kemenkeu terjadi pada aspek komunikasi dan koordinasi (72%), proses bisnis yang belum sepenuhnya bisa dengan WFH (61%), dan disiplin diri dan memanajemen waktu (50%).
Selain itu, sebanyak 61,45% responden memilih pola Flexible Working Space (FWS) dan WFH sebagai pola kerja yang paling cocok saat ini. Dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa working arrangement yang paling tepat pada saat New Normal adalah dengan melakukan kombinasi antara WFH dan Work From Office (WFO).
Lantas, apa sajakah yang harus dipersiapkan agar tetap semangat saat WFH? Seluruh jajaran Kemenkeu harus mempersiapkan diri dengan budaya baru, regulasi baru, dan proses bisnis baru menyongsong era New Normal.
Hingga saat ini, jajaran Kemenkeu telah membuktikan bisa bekerja dari rumah. Tantangan ke depan yang harus segera diwujudkan adalah dengan menerapkan standar kinerja modern, sehingga Kemenkeu dapat bekerja secara WFO karena Kemenkeu sudah berbasis digital. Untuk mendukung hal tersebut, dibutuhkan penyesuaian alokasi sumber daya untuk mendorong inisiatif Kemenkeu Digital dan investasi IT. Nilai-nilai Kemenkeu sudah sangat mendukung budaya kerja yang baru, sehingga seluruh Jajaran Kemenkeu harus terus berpedoman dan saling bersinergi.
Pada akhirnya, semua kebijakan tersebut akan menjadi sia-sia dan hanya akan menjadi catatan usang jika semua jajaran Kemenkeu tak menjaga semangat bekerja, di manapun lokasinya. Dibutuhkan kolaborasi (sinergitas) yang baik antar pihak agar tetap produktif. Karena kita semua satu keluarga. Mari satu visi, mengawal pemulihan ekonomi.
#PajakKuatIndonesiaMaju
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 332 kali dilihat