Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, sistem perpajakan juga dituntut untuk bertransformasi menjadi lebih adaptif dan inklusif. Pemerintah Indonesia menjawab tantangan ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). PMK 37/2025 mengatur penunjukan pihak lain, khususnya platform digital, sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Sekilas, ini tampak sebagai kebijakan teknis administratif. Namun jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini mencerminkan arah baru dalam membangun keadilan fiskal yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral dan etika sosial.

Melalui lensa teori keadilan John Rawls (1971), PMK 37/2025 dapat dipahami sebagai bentuk nyata dari keadilan sebagai fairness—konsep yang menekankan bahwa kebijakan publik harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kelompok paling rentan. Rawls menawarkan dua prinsip utama: jaminan kebebasan dasar yang setara bagi semua, serta pengakuan atas ketimpangan ekonomi sejauh hal itu memberikan keuntungan bagi pihak yang kurang beruntung. Dalam konteks perpajakan, prinsip ini mengandung makna bahwa kebijakan fiskal yang adil bukanlah yang membebankan kewajiban secara merata, melainkan yang mempertimbangkan daya dukung masing-masing pihak.

Penunjukan platform digital sebagai pemungut pajak bukan semata langkah administratif untuk meningkatkan kepatuhan. Ia juga merupakan penataan ulang relasi fiskal antara negara dan pelaku usaha. Dengan melibatkan platform sebagai mitra pemungut, pemerintah menyasar efisiensi sekaligus perluasan basis pajak, terutama di sektor digital yang selama ini sulit dijangkau. Namun yang menarik, PMK 37/2025 juga secara eksplisit memberikan pengecualian kepada pelaku usaha kecil orang pribadi dengan omzet tahunan sampai dengan Rp500 juta. Kebijakan ini bukan hanya bentuk keberpihakan, melainkan cerminan prinsip Rawlsian bahwa ketimpangan boleh ada sejauh menguntungkan kelompok lemah.

Baca juga:
PMK 37/2025: Bukan Pajak Baru

Simak! Baru Terbit PMK 37/2025, Pengelola Platform Lokapasar Kini Pungut PPh Pasal 22

 

Pengecualian ini menunjukkan bahwa negara tidak menutup mata terhadap fakta sosial bahwa pelaku usaha kecil memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi, informasi, dan dukungan administratif. Dengan tidak membebankan kewajiban yang berat kepada mereka, PMK 37/2025 menjadi kebijakan fiskal yang memahami konteks dan berempati terhadap keragaman kapasitas pelaku usaha. Di sinilah letak keadilan yang sebenarnya: tidak sekadar menyeragamkan kewajiban, melainkan menyusun perlakuan yang proporsional.

Di sisi lain, penyederhanaan sistem pelaporan dan penyetoran pajak melalui mekanisme digital memperkuat prinsip keadilan prosedural. Administrasi perpajakan yang transparan, mudah dipahami, dan tidak memberatkan adalah wujud nyata dari negara yang menjunjung kesetaraan akses. Dalam kerangka selubung ketidaktahuan yang ditawarkan Rawls, setiap perancang kebijakan seyogyanya membayangkan dirinya berada dalam posisi siapa pun—apakah itu pelaku usaha besar, kecil, atau bahkan warga biasa yang baru memulai. Jika dari posisi itu sebuah aturan tetap terasa adil dan layak, maka di situlah keadilan telah ditegakkan.

Pengenaan tarif sebesar 0,5% dari omzet bruto melalui platform digital adalah bagian dari mekanisme kolektif dalam membiayai kebutuhan bersama. Pajak, dalam hal ini, tidak semata menjadi alat negara untuk menghimpun dana, tetapi menjadi simbol tanggung jawab sosial yang dibagi secara proporsional. Platform digital, yang sebelumnya cenderung berada di luar jangkauan fiskus, kini menjadi bagian dari ekosistem kontribusi nasional. Namun, PMK ini juga menunjukkan bahwa kontribusi tersebut tetap dibingkai dalam kerangka akuntabilitas dan keterbukaan, di mana setiap rupiah yang dipungut disesuaikan dengan kapasitas pembayar.

Dengan memberikan ruang bagi pelaku UMKM untuk bertumbuh tanpa beban pajak langsung dari sistem ini, pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan fiskal bisa dirancang sebagai instrumen pemberdayaan, bukan sekadar kewajiban. Masyarakat kecil diberi waktu dan ruang untuk berkembang hingga siap berkontribusi lebih besar di kemudian hari. Ini bukan hanya bentuk belas kasih, tetapi strategi keberlanjutan jangka panjang untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari bawah.

Digitalisasi perpajakan juga membuka peluang yang lebih luas dalam hal pemerataan. Ketika prosedur perpajakan dapat diakses secara daring, maka batas-batas geografis, sosial, bahkan birokratis menjadi lebih cair. Pelaku usaha di pelosok memiliki peluang yang sama untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti halnya pengusaha di kota besar. Kesempatan yang setara inilah yang menjadi inti dari keadilan menurut Rawls: bukan hasil yang seragam, tetapi peluang yang adil bagi semua untuk mencapai potensi terbaik mereka.

Lebih jauh, kebijakan ini menyiratkan bahwa perpajakan tidak lagi sekadar urusan fiskal, melainkan juga urusan etika publik. Di sinilah negara menjalankan peran moralnya: tidak hanya memastikan pemasukan bagi APBN, tetapi juga menumbuhkan rasa kepercayaan di tengah masyarakat. Ketika sistem pajak dirancang dengan empati, transparansi, dan keberpihakan terhadap kelompok kecil, maka negara sedang membangun legitimasi dari bawah—dari rasa diterima, dipahami, dan dilibatkan oleh rakyatnya sendiri.

PMK 37/2025 menjadi tonggak penting dalam perjalanan reformasi perpajakan di Indonesia. Bukan hanya karena substansi teknisnya yang menjawab tantangan digitalisasi, tetapi karena semangat yang menyertainya: semangat untuk menghadirkan keadilan fiskal yang menyeluruh. Dalam kaca mata John Rawls, kebijakan ini menggambarkan bahwa keadilan bukan sekadar soal distribusi kekayaan, tetapi juga soal bagaimana prosedur disusun dan siapa yang paling diuntungkan oleh suatu ketentuan.

Dengan terus memperkuat pendekatan yang berakar pada nilai-nilai etika dan keadilan, sistem perpajakan Indonesia tidak hanya akan menjadi lebih efisien, tetapi juga lebih bermartabat. PMK 37/2025 memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral, dipahami oleh publik, dan diterima sebagai bagian dari perjanjian sosial antara negara dan warganya. Pajak, dengan demikian, bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan bagian dari kontribusi bersama untuk masa depan yang lebih adil dan setara bagi semua.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.