Taxpayers’ Charter: Saat Negara Hadir untuk Wajib Pajak

Oleh: (Dony Himawan), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Awal 2025 menjadi momentum penting bagi perjalanan reformasi perpajakan di Indonesia. Setelah implementasi Coretax DJP sebagai sistem administrasi baru, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menghadirkan gebrakan dengan meluncurkan Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter).
Piagam ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2025 tentang Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter) dan berisi delapan hak serta delapan kewajiban wajib pajak. Dokumen ini bukan hanya rangkaian pasal, melainkan simbol komitmen pemerintah untuk membangun sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Kesetaraan Hak dan Kewajiban
Kehadiran piagam ini sebetulnya menyederhanakan kompleksitas regulasi yang ada. Sebelumnya, hak wajib pajak tersebar dalam 272 aturan, sementara kewajibannya tersebar dalam 175 aturan. Dengan adanya Piagam Wajib Pajak, semua ketentuan tersebut dipadatkan dan dikodifikasi menjadi pedoman yang lebih sederhana, mudah dipahami, dan lebih komunikatif. Inilah bentuk konkret dari reformasi birokrasi: menyajikan regulasi dengan bahasa yang bersahabat, tanpa kehilangan ketegasan.
Isi piagam ini mencakup hak-hak mendasar yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Misalnya, hak atas informasi dan edukasi yang jelas, hak mendapatkan layanan tanpa pungutan, hak atas perlakuan adil, hak membayar sesuai jumlah yang terutang, hak perlindungan data, hingga hak untuk menyampaikan pengaduan. Semua itu menjadi landasan agar wajib pajak merasa dilayani dengan adil dan setara, tidak sekadar dipungut.
Di sisi lain, piagam ini juga menegaskan kewajiban yang tak kalah penting. Wajib pajak didorong untuk melaporkan surat pemberitahuan (SPT) dengan benar, jujur, dan transparan. Mereka juga dituntut bersikap kooperatif dalam penyampaian data serta dilarang memberikan gratifikasi kepada aparat pajak.
Kesetaraan antara hak dan kewajiban inilah yang diyakini mampu membangun ekosistem perpajakan yang sehat, kredibel, dan modern. Pajak bukan lagi soal beban, melainkan bentuk partisipasi aktif warga negara dalam pembangunan.
Selaras dengan Indonesia Emas 2045
Langkah ini juga selaras dengan cita-cita besar Indonesia Emas 2045. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menargetkan rasio pajak Indonesia berada di kisaran 18–22 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara realitasnya, pada 2023, rasio pajak baru menyentuh 10,21 persen dengan penerimaan Rp1.869,2 triliun.
Artinya, dalam dua dekade ke depan, Indonesia membutuhkan lompatan besar untuk memperkuat fondasi fiskalnya. Piagam Wajib Pajak hadir sebagai salah satu instrumen untuk memperkuat basis penerimaan melalui peningkatan moral pajak (tax morale) dan partisipasi masyarakat secara sukarela.
Praktik Dunia Internasional
Menariknya, konsep Taxpayers’ Charter bukan hal baru di dunia. Inggris, misalnya, melalui His Majesty’s Revenue and Customs (HMRC) Charter bahkan merilis laporan kinerja tahunan untuk menilai sejauh mana otoritas pajak memenuhi standar layanan. Australia juga memperbarui Australian Tax Office (ATO) Charter pada 2024, dengan menekankan hak wajib pajak atas mekanisme keluhan yang jelas jika pelayanan tidak memuaskan.
Amerika Serikat lebih dahulu memperkenalkan Taxpayer Bill of Rights yang berisi sepuluh hak dasar, termasuk hak atas sistem perpajakan yang adil. Di Prancis, piagam serupa bahkan diatur dalam hukum positif sehingga memiliki kekuatan mengikat terhadap administrasi perpajakan. Hong Kong menyajikan piagam dalam bentuk ringkas agar mudah dipahami publik, sedangkan India mengadopsinya ke dalam undang-undang melalui Finance Act 2020. Uni Emirat Arab juga meluncurkan Taxpayer Charter pada 2024, beriringan dengan reformasi pajak korporasi mereka.
Instrumen yang Nyata
Pengalaman internasional itu membuktikan bahwa piagam semacam ini bukan sekadar formalitas. Ia bisa menjadi standar etika sekaligus instrumen praktis untuk memperbaiki hubungan antara otoritas pajak dan masyarakat. Bahkan, penelitian Torgler dan Schneider (2006) menunjukkan bahwa kepercayaan pada sistem pajak dan pemerintah berkontribusi positif terhadap moral pajak. Penelitian lain oleh Butani dan Jha (2021) menekankan perlunya negara menghadirkan aspek moral dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, karena pajak pada dasarnya terkait erat dengan kualitas layanan publik.
Dengan kata lain, Piagam Wajib Pajak akan memiliki dampak nyata hanya jika ia benar-benar dihidupkan dalam praktik sehari-hari. Standar layanan yang tertuang dalam piagam harus diterjemahkan ke dalam indikator konkret, seperti kecepatan restitusi pajak, durasi penyelesaian administrasi, hingga perlindungan data wajib pajak yang terjamin. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan piagam dengan sistem Coretax DJP yang tengah berjalan. Digitalisasi memungkinkan DJP memantau kinerja secara real time, mengukur capaian layanan, dan membuka kanal pengaduan yang lebih mudah diakses.
Tentu, tantangan ke depan tidak sederhana. Membangun kepercayaan masyarakat membutuhkan konsistensi jangka panjang. Sekali saja otoritas pajak gagal memenuhi standar layanan, kredibilitas piagam bisa dipertanyakan. Oleh karena itu, pengawasan independen menjadi krusial, agar ada pihak luar yang memastikan piagam benar-benar dijalankan. Di sisi lain, sosialisasi juga harus terus dilakukan, agar masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka.
Jika dijalankan dengan konsisten, Piagam Wajib Pajak akan lebih dari sekadar deklarasi. Ia bisa menjadi kontrak sosial baru antara negara dan warga negara dalam bidang perpajakan. Keberhasilan mencapai rasio pajak 18–22 persen pada 2045 sangat bergantung pada seberapa jauh DJP menjadikan piagam ini sebagai instrumen reformasi yang nyata.
Fondasi Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Pada akhirnya, peluncuran Taxpayers’ Charter patut diapresiasi sebagai langkah progresif dan realistis. Di tengah meningkatnya kebutuhan penerimaan negara, pemerintah menunjukkan sikap menghormati hak-hak wajib pajak. Inilah sinyal bahwa negara hadir tidak hanya untuk memungut, tetapi juga untuk melayani. Jika konsistensi dijaga, maka piagam ini bisa menjadi pilar penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap perpajakan Indonesia.
Dengan fondasi seperti ini, mimpi besar Indonesia Emas 2045 bukan sekadar wacana, melainkan tujuan yang dapat dicapai. Pajak akan dipandang bukan hanya sebagai kewajiban formal, melainkan sebagai wujud kontribusi nyata setiap warga negara dalam membangun masa depan bangsa. Di titik itu, Piagam Wajib Pajak akan dikenang sebagai salah satu tonggak bersejarah reformasi fiskal Indonesia.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 73 kali dilihat