Suhu Udara Semakin Panas, Pajak Karbon Bisa Jadi Solusi
Oleh: (Mario Gustovan), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Anda merasakannya, bukan? Siang yang semakin terik, malam yang tidak lagi sejuk, pendingin ruangan yang sepertinya tak cukup dingin lagi. Ini bukan perasaan Anda saja—data menunjukkan suhu Indonesia memang terus meningkat. Di beberapa kota, suhu menyentuh rata-rata 33°C. Sementara kita mengelap keringat dan mencari tempat teduh, pemerintah sedang mengimplementasikan sesuatu yang mungkin terdengar tidak berhubungan: pajak karbon. Namun percayalah, keduanya sangat berkaitan satu sama lain.
Karbon dioksida (CO₂) merupakan salah satu gas utama yang berperan besar dalam terjadinya pemanasan global. Gas ini dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil di pabrik, kendaraan bermotor, dan pembangkit listrik, serta dari penebangan hutan yang mengurangi kemampuan bumi menyerap CO₂.
Ketika CO₂ dilepaskan ke atmosfer, gas ini membentuk lapisan yang memerangkap panas dari sinar matahari. Panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa justru terperangkap di atmosfer, menyebabkan suhu rata-rata bumi meningkat. Proses ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Pajak Karbon: Instrumen Mencapai Target NDC
Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (dua puluh sembilan persen) dengan kemampuan sendiri dan 41% (empat puluh satu persen) dengan dukungan internasional pada tahun 2030 dan menuju net zero emission (NZE) paling lambat di tahun 2060. Target penurunan emisi dari sektor energi dan transportasi serta sektor kehutanan sudah mencakup 97% (sembilan puluh tujuh persen) dari total target penurunan emisi nationally determined contribution (NDC). Oleh karena itu, sektor-sektor tersebut menjadi prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca.
Pajak karbon merupakan salah satu instrumen nonperdagangan yang dapat dijadikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mencapai target NDC. Pasalnya, pajak karbon dapat digunakan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC. Bauran kebijakan pajak karbon, perdagangan karbon, dan kebijakan teknis sektoral di antaranya phasing out coal, pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau peningkatan keanekaragaman hayati.
Adapun phasing out coal merupakan proses menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap dalam pembangkitan listrik dan industri. Semua bauran tersebut diharapkan dapat mendukung pencapaian target NZE 2060 dengan tetap mengedepankan prinsip just and affordable transition (transisi yang adil dan terjangkau) bagi masyarakat dan memberikan kepastian iklim berusaha. Keselarasan antar kebijakan road map pajak karbon tersebut akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Definisi Pajak Karbon
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca, antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4). Sementara itu, dampak negatif bagi lingkungan hidup memiliki kriteria antara lain penyusutan sumber daya alam, pencemaran lingkungan hidup, dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Subjek Pajak
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Yang dimaksud dengan "barang yang mengandung karbon" adalah barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon.
Di sisi lain, yang dimaksud dengan "aktivitas yang menghasilkan emisi karbon" adalah aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon, antara lain yang berasal dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah. Termasuk dalam cakupan “membeli”, yaitu membeli barang yang menghasilkan emisi karbon di dalam negeri dan impor. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak badan.
Objek Pajak
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Saat terutang pajak karbon yaitu pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Perhitungan pajak karbon terutang atas keseluruhan nilai pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Perhitungan tersebut mempertimbangkan nilai faktor emisi yang ditetapkan oleh kementerian dan/atau badan/lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan pengukuran nilai faktor emisi. Adapun yang dimaksud nilai faktor emisi adalah nilai koefisien yang menghubungkan jumlah emisi rata-rata yang dilepaskan ke atmosfer dari sumber tertentu relatif terhadap unit aktivitas atau proses yang terkait pelepasan emisi karbon.
Tarif Pajak
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Klausul "setara" diartikan sebagai satuan konversi CO2e, antara lain ke satuan massa dan satuan volume. Dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon, perubahan tarif pajak karbon, dan/atau dasar pengenaan pajak, diatur dengan peraturan menteri keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pengendalian Perubahan Iklim
Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Dalam hal ini, pengendalian perubahan iklim terdiri atas dua kegiatan, yaitu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapan emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Sementara itu, adaptasi perubahan iklim merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim. Upaya ini ditujukan agar potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Pelunasan Pajak
Pajak karbon dilunasi dengan cara dibayar sendiri oleh wajib pajak atau dipungut oleh pemungut pajak karbon. Pemungut pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak karbon terutang atas penjualan barang yang mengandung karbon. Untuk menghitung besarnya pajak karbon yang terutang, wajib pajak dan pemungut pajak karbon wajib menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon.
Pelaporan
Wajib pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak karbon. SPT Tahunan Pajak Karbon disampaikan paling lama empat bulan setelah akhir tahun kalender. Di sisi lain, pemungut pajak karbon wajib melaporkan pajak karbon yang telah dipungut dengan menggunakan SPT Masa Pajak Karbon paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir. Kedua jenis SPT tersebut wajib disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik.
Penutup
Selain dapat menambah penerimaan negara dari sektor baru, pajak karbon ini diharapkan dapat benar-benar berdampak pada perlambatan perubahan iklim di Indonesia. Setiap ton CO2 yang berhasil dikurangi hari ini adalah investasi untuk udara yang lebih bersih, cuaca yang lebih stabil, dan kehidupan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Pajak karbon juga diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi karbon secara ekonomis sehingga dampaknya akan terasa—bukan hanya di angka APBN, melainkan juga di kehidupan nyata jutaan orang Indonesia.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 56 kali dilihat